Welcome to My Blog

Saran dan kritikan dari anda sangat dibutuhkan demi perbaikan mutu blog ini

15 Oktober, 2010

Tuhan sudah mati ; Sebuah telaah Kritis Atas Nietzsche

"Tuhan sudah mati" (bahasa Jerman: "Gott ist tot") adalah sebuah ungkapan yang banyak dikutip dari Friedrich Nietzsche. Ungkapan ini pertama kali muncul dalam The Gay Science, seksi 108 (New Struggles), dalam seksi 125 (The Madman), dan untuk ketiga kalinya dalam seksi 343 (The Meaning of our Cheerfulness). Juga muncul dalam buku klasik Nietzsche Also sprach Zarathustra, yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan ungkapan ini. Gagasan ini dinyatakan oleh 'The Madman' sebagai berikut:Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?


04 Oktober, 2010

Melawan Hegemoni Budaya Pop

Masih adakah martabat manusia yang luhur dan mulia sebagaimana secara kodrati manusia diyakini adalah mahkluk paling sempurna di muka bumi ini? Mari melihat kenyataan. Kemiskinan, yang karena sedemikian strukturalnya menjadi sangat sulit diuraikan benang merahnya, semakin hari semakin parah di negeri kita yang gemah ripah ini. Sejak masa Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, sampai SBY, masalah kemiskinan tetap tak menemukan solusi yang membuahkan hasil nyata. Kemiskinan jelas membuat kualitas kehidupan manusia terperosok dalam jurang kehinaan. Jangankan martabat yang luhur, makan saja harus mengais dari tong sampah atau mengemis di jalanan. Mengais tong sampah biasanya hanya dilakukan oleh anjing, tikus, atau kecoa got. Bukan oleh manusia. Mengemis? Mungkin hanya bisa dimaklumi pada kondisi-kondisi ekstrim yang dialami manusia.

Dalam sebuah pandangan sederhana, barangkali apa yang dikatakan oleh Dewi “Dee” Lestari, penulis Supernova, ada benarnya. Dee berpendapat bahwa “kemiskinan adalah masalah orang kaya yang tidak mau berbagi.” Sayang, kenyataannya; semakin kaya seseorang, semakin tak mau ia berbagi untuk sesamanya. Sekecil apapun. Keserakahan sepertinya melekat pada setiap pundit kekayaan. Ini yang membutakan mata hati kebanyakan orang kaya.

Selain kemiskinan yang mengandung kekejaman dan kejahatan terhadap manusia, kekejaman dan kejahatan yang sistematis juga terus memerosokan martabat manusia dalam kubangan kenistaan. Sebut saja kriminal-kriminal kelas kampung yang semakin kejam dalam melakukan operasi kejahatan mereka; merampok, menganiaya, memerkosa, sampai memutilasi korban, sampai para penjahat kemanusiaan kelas super kakap atau kelas hiu yang berlindung di balik ketiak kekuasaan yang mereka kangkangi. Semua benar-benar kejam dan tak sedikit pun menghargai harkat dan martabat manusia. Sejak peristiwa G-30-S tahun 65 sampai peristiwa Mei 1998, kekejaman yang meluluhlantakkan martabat manusia sampai pada dimensi penghancuran tubuh manusia sehingga mayat-mayat pun terkapar hangus tanpa bentuk.

Lalu bagaimana memiliki kembali martabat manusia yang sepantasnya? Belum tega rasanya mengajukan pertanyaan ini di saat bencana menghancurkan banyak kehidupan di negara ini. Terbilang sejak SBY naik tahta, cobaan yang luar biasa menghantam kehidupan sebagian rakyat Indonesia. Tentu hal ini tidak bisa serta-merta berhubungan secara langsung satu sama lain. Siapapun presiden yang berkuasa, bencana bisa saja terjadi. Jadi, pertanyaan di atas justru tetap harus diajukan dan dijawab karena menjadi sangat relevan dengan kondisi yang ada sekarang. Apalagi di saat kita dengan jelas melihat betapa orang masih tega mengkorupsi dana kemanusiaan untuk bantuan bencana. Menurut Andi K Yuwono dari Praxis, hal yang benar-benar nista senista-nistanya itu memang kerap terjadi dalam setiap bencana. Berbagai cerita dari Aceh tentang korupsi dana bantuan kemanusiaan, memang benar-benar mengoyak-oyak nurani.

Dalam pandangan yang optimistik, sebuah gerakan kebudayaan yang tepat bisa menjadi solusi dari terkikisnya martabat manusia dari hari ke hari dalam atmosfir kehidupan masyarakat modern kini. Dalam kehidupan yang materialistik, hedonistik, dan konsumtif, konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga bergerak menuju arah pergeseran yang sama sehingga dalam apa yang disebut sebagai budaya pop, karakter yang menonjol adalah instan, dangkal, egosentris, dan market oriented. Orientasi pada nilai-nilai kehidupan yang bersifat sosial-kemanusiaan, atau idealisme tertentu dalam hubungan sesama manusia atau hubungan antara manusia dan alam, menjadi sesuatu yang asing dalam kebudayaan popular atau budaya pop. Padahal, orientasi budaya seperti inilah yang sebenarnya mampu menjaga harkat dan martabat manusia.

Budaya pop baru berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan ketika misalnya terjadi bencana atau perang. Bentuk orientasinya pun tidak melekat dalam karya, tapi menjadi kemasan belaka, seperti misalnya konser amal. Budaya pop menjadikan kepedulian sebagai sebuah kemasan belaka, meski mungkin sejatinya mereka peduli. Dalam rentetan bencana yang menimpa sebagian rakyat Indonesia beberapa tahun terakhir ini, hal ini bisa kita lihat dengan jelas. Kepedulian akhirnya bisa terjebak menjadi sekadar sebuah komoditas yang dilekatkan pada produk budaya tertentu. Dalam bencana gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, para korban gempa bahkan sampai merasa penderitaan mereka dijadikan sebagai objek wisata. Tentu saja hal ini sangat menyakitkan hati. Kita melihat orang berbondong-bondong datang mengunjungi desa-desa yang menjadi korban terparah. Sebagian besar yang berniat membantu segera memasang bendera mereka (entah perusahaan, entah LSM, entah Partai Politik, entah lembaga apa lagi) tinggi-tinggi. “Kami peduli”.

Benarkah itu kepedulian? Mungkin benar, tapi mungkin bukan kepedulian yang seharusnya. Kepedulian yang seharusnya terhadap para korban bencana yang menghancurkan kehidupan adalah kepedulian tanpa bendera apapun. Kepedulian yang meniadakan segala kepentingan kelompok, segala macam egosentrisme, dan segala pamrih sekecil apapun. Kepedulian semacam inilah sebenarnya yang harus dibangun dan dihidupkan kembali melalui sebuah gerakan kebudayaan yang membumi dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan. Alatnya adalah kebudayaan. Karena kebudayaanlah yang mampu menggugah nurani secara tepat dan cepat. Hanya melalui sebuah gerakan kebudayaan dimungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau revitalisasi sebuah kehidupan yang hancur, baik dihancurkan oleh manusia dan sistem kekuasaan yang berlaku, maupun dihancurkan oleh peristiwa alam yang sebenarnya juga dipicu oleh keserakahan dan kegilaan manusia.

Sekarang tinggal menumbuhkan bentuk-bentuk kebudayaan yang berorientasi pada nilai-nilai sosial-kemanusiaan atau idealisme apa saja dalam hubungan antara sesama manusia maupun antara manusia dengan alam semesta. Sangat tidak mudah, memang, karena ini berarti harus berhadapan dengan para produsen budaya pop yang hanya peduli pada keuntungan pemilik modal. Namun, sejumlah nama yang menjadi tokoh budaya pop, sebenarnya masih memiliki orientasi pada nilai-nilai idealisme. Sebut misalnya penulis serba bisa Remy Sylado. Ia bergulat dengan budaya pop tapi sekaligus memanfaatkan budaya pop sebagai alat untuk menyampaikan “idealisme”-nya. Beberapa nama lain yang juga melakukan upaya serupa secara konsisten misalnya, Iwan Fals, Oppie Andaresta, Rieke Dyah Pitaloka, dan beberapa artis dari dunia pop lainnya. Ini juga adalah sebuah alternatif perjuangan untuk melawan hegemoni budaya pop, yaitu dengan cara memengaruhi budaya tersebut agar menjadi lebih idealis.

Jadi, meskipun tidak mudah untuk melawan hegemoni dan dominasi budaya pop dalam setiap segmen kehidupan, tapi perlawanan tetap akan selalu ada karena begitulah memang substansi kehidupan manusia. Selalu merupakan sebuah peperangan antara siang dan malam. Antara gelap dan terang. Antara putih dan hitam. Dan di tengah-tengah kancah peperangan itulah, martabat manusia setiap saat diuji, dipertaruhkan, dan diperjuangkan. Selalu seperti itu, karena martabat manusia memang bukan martabak yang gurih dan renyah untuk disantap. Martabat manusia adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan oleh setiap manusia. Martabat manusia adalah misi universal setiap kebudayaan di seluruh jagat raya. Dan untuk langkah awal sebuah gerakan kebudayaan yang berorientasi pada martabat manusia, setiap seniman/budayawan harus berkarya dalam konteks persoalan-persoalan yang melecehkan harkat dan martabat manusia di lingkungan mereka masing-masing. Langkah awal inilah yang akan dilakukan PSI (Perkumpulan Seni Indonesia) dalam setiap aktivitasnya, karena ini adalah sebuah perlawanan bersama.

Sekolah yang Mencerdaskan

Mencerdaskan anak bukanlah tugas utama sekolah. Tugas sekolah adalah membentuk pribadi yang memiliki integritas moral sangat tinggi, berakhlak mulia dan produktif dikarenakan kuatnya keyakinan yang berpijak pada fondasi bernama aqidah. Bersebab pada kuatnya aqidah, sekolah juga berkewajiban membakar semangat mereka sehingga akan lahir pemuda-pemuda yang hidup jiwanya dan jelas arah hidupnya. Begitu mereka memiliki motivasi yang kuat dan semangat yang menyala-nyala, maka mereka akan memiliki energi besar untuk mencapai apa yang sungguh-sungguh bermanfaat baginya. Ia memiliki daya tahan untuk terus gigih ketika yang lain sudah mulai berguguran. Ia memperoleh makna atas setiap tindakan yang secara sengaja dilakukannya untuk mencapai apa yang baik dan penting. Insya-Allah!
Semangat yang berkobar-kobar memungkinkan seseorang mencapai tingkat kecer¬dasan yang tinggi dan bermanfaat. Saya perlu menambahkan kata bermanfaat karena kepeka¬an terhadap apa yang sungguh-sungguh bermanfaat bagi diri sendiri dan terutama bagi umat manusia, hari ini sangat sulit kita dapati (bahkan mungkin pada diri kita sendiri). Sebabnya, mereka memang tidak memperoleh pengalaman belajar yang secara sengaja menumbuhkan kepekaan mereka. Alih-alih mengembangkan kapasitas mental, anak-anak itu justru mengalami penganiayaan akademik dalam bentuk pembebanan target-target penguasaan secara kognitif materi-materi pelajaran, terutama yang menjadi materi ujian nasional. Padahal penguasaan materi pelajaran seharusnya merupakan akibat saja dari berkobarnya semangat dan kepekaan terhadap apa yang bermanfaat bagi umat manusia.
Inilah yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita. Kita dorong mereka untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan karena itu mereka harus bersungguh-sungguh pada hal yang bermanfaat baginya. Ada sebuah hadis yang perlu kita renungkan. Rasulullah saww. bersabda, “Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Allah serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan “Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.” Katakanlah, “Allah telah menakdirkan dan apa yang Allah kehendaki, maka itu terjadi.” Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan.” (HR. Muslim).
Ya, bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu. Tapi mengapa anak-anak tidak peka terhadap apa yang bermanfaat bagi dirinya? Karena sekolah tidak mengajari mereka tujuan hidup, empati dan integritas. Mereka juga tidak belajar merumuskan visi hidup yang jelas. Mereka hanya dipacu untuk berhasil menciptakan nilai bagus saat ujian. Ironisnya, tidak sedikit orangtua maupun sekolah yang masih berorientasi pada ujian, sehingga tidak mendorong anak untuk “belajar” kecuali saat menghadapi ujian. Mereka tidak mendorong anak haus ilmu dan mengembangkan kecakapan yang bermanfaat. Apatah lagi alasan yang menggerakkan diri untuk berbuat sehingga setiap hal jadi bermakna, sangat jarang disentuh.
Para orangtua dan guru sering menyuruh anak belajar agar pintar. Tetapi mereka tidak mengajarkan untuk apa pintar, atau kepintaran itu seharusnya dipergunakan untuk apa. Lebih ironis lagi, pintar itu sama dengan angka 8, angka 9 untuk yang sangat pintar dan 10 untuk yang luar biasa pintar. Darimana angka itu diperoleh, tidak penting lagi. Dan di sinilah bencana itu bermula. Anak belajar melakukan penipuan bernama mencontek –satu bentuk kejahatan yang lebih sering kita sebut kelalaian.
Apa yang ingin saya sampaikan? Sudah saatnya kita merenungkan kembali pendidikan kita. Tugas sekolah adalah mengantarkan anak didik untuk menjadi manusia, mengerti tugas hidupnya dan mampu memberi manfaat bagi umat manusia. Kita rangsang mereka un¬tuk mampu memegangi nilai hidup yang menggerakkan mereka untuk bertindak. Artinya, nilai hidup itu haruslah menjadi daya penggerak bagi hidup mereka. Bukan sekedar untuk menjadi bahan hafalan yang dicerna secara kognitif belaka. Lebih-lebih jika hanya pada tataran kognitif terendah.
Sekedar menyegarkan ingatan, Benjamin S. Bloom membagi secara berjenjang kemampuan kognitif dalam sebuah taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Ada enam jenjang, yakni pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan jenjang tertinggi adalah penilaian. Kemampuan taraf terendah lebih mengacu pada kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari secara tepat. Pada taraf ini, meskipun kemampuan mengingatnya sangat tinggi sehingga mampu menjawab soal-soal yang diajukan, tidak membuat seseorang mampu memahami prinsip-prinsip serta mengembangkan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dengan mudah akan mengenali dan menguasai apa-apa yang prinsipnya sama maupun mirip.
Bimbingan belajar intensif umumnya hanya berurusan dengan kemampuan kognitif jenjang terendah. Mereka terlihat pandai, tetapi diam-diam membawa resiko serius, yakni tidak berkembangnya kemampuan kognitif pada jenjang di atasnya. Inilah yang sebenarnya tidak boleh terjadi! Itu sebabnya sekolah harus berpikir serius bagaimana memacu prestasi siswa tanpa melakukan penganiayaan akademik, yakni proses pembelajaran yang hanya memperhatikan kemampuan kognitif terendah sebagai pembebanan. Sangat berbeda nilainya antara pembebanan dengan motivasi. Mengejar anjing membangkitkan energi ketika nyaris berhasil. Tetapi dikejar anjing sangat menguras tenaga dan membunuh antusiasme, justru ketika berhasil.
Tentu saja bukan berarti ujian akhir nasional tidak boleh ada. Jika sekolah kita memang baik, tidak ada alasan untuk menangis mendengar genderang ujian nasional ditabuh. Justru kita ditantang untuk menunjukkan bahwa pola pendidikan yang kita jalankan, benar-benar mampu mengantarkan siswa meraih sukses secara akademik. Nilai ujian memang tidak boleh menjadi tujuan. Ini musibah besar kalau siswa belajar di sekolah selama enam atau tiga tahun hanya untuk mengejar nilai enam mata pelajaran. Tetapi ujian akhir nasional merupakan parameter sederhana seberapa baik kita menanamkan dasar-dasar kemampuan akademik pada siswa. Artinya, prestasi cemerlang di ujian akhir nasional hanyalah konsekuensi logis pendidikan yang baik.
Berkenaan dengan prestasi akademik ini, ada baiknya kita berbincang sejenak ten¬tang empat tujuan operasional pendidikan. Secara ringkas, mari kita cermati satu per satu:
1. Mastery Goals, proses pembelajaran membuat siswa mampu menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan sangat baik. Siswa mampu memahami prinsip-prinsip, teori dan konsep matematika sehingga mampu memecahkan problem matematika dengan baik.
2. Performance Goals, proses pembelajaran –apa pun mata pelajarannya—harus membuat siswa mampu melakukan aktivitas atau mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Artinya, apa pun mata pelajarannya harus menjadikan siswa sebagai orang yang mampu menyelesaikan tugas-tugas dengan baik, bukan hanya tugas akademik.
3. Social Goals, proses pembelajaran di sekolah secara keseluruhan dimaksudkan untuk membekali siswa dengan kecakapan sosial, termasuk di dalamnya kepekaan sosial dan hasrat untuk memberi manfaat secara sosial. Sekurang-kurangnya, proses pembelajaran menjadikan siswa mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sosialnya maupun orang-orang yang baru ditemui.
4. Affective Goals, pendidikan adalah proses yang membentuk kekuatan emosi siswa sehingga menjadi pribadi yang empatik, mampu mengendalikan emosi, dapat menunda kesenangan (delayed gratification) demi memperoleh tujuan yang jauh lebih besar di masa mendatang, mampu memotivasi diri sendiri dan memiliki peng¬hayatan nilai yang baik.
Prestasi yang paling mudah diukur adalah kemampuan akademik yang berkait de¬ngan tujuan operasional pertama, yakni mastery goals. Di sinilah letak kesalahan itu biasanya terjadi. Sekolah hanya menyibukkan pada proses pembelajaran yang memberi kecakapan pada siswa untuk mengerjakan soal –bahkan bukan untuk memahami dan menguasai mata pela¬jaran dengan baik—sehingga menyebabkan siswa kehilangan kesempatan untuk mengembang¬kan potensi dirinya secara utuh. Ini juga menyebabkan kemampuan kognitif siswa bahkan tidak berkembang secara optimal. Padahal, alur yang seharusnya justru kita mulai dari penguatan tujuan afektif dengan mengasah kepekaan, empati, membangun kecerdasan emosi, menata orientasi hidup serta meletakkan visi hidup yang kuat.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar anak-anak memiliki visi hidup yang kuat? Apa yang harus kita rombak dalam proses pendidikan di sekolah? Apakah kita perlu melaku¬kan reformasi total pada sistem pendidikan kita?
Tidak. Reformasi tanpa melakukan perubahan cara pandang dan sikap, hampir pasti tidak akan membawa hasil yang memadai. Perlu upaya terencana untuk mengubah cara pandang dan sikap pelaksana pendidikan secara keseluruhan, terutama guru, tidak terkecuali orangtua sebagai bagian yang tak terpisahkan. Kurikulum mungkin tidak berubah. Tetapi berubahnya cara pandang mampu menghasilkan perubahan dramatis pada antusiasme belajar, orientasi hidup, budaya belajar dan tentu saja akan berpengaruh pada prestasi akademik siswa. Proses perubahan yang lebih memusatkan perhatian pada cara pandang, sikap dan pada akhirnya perilaku inilah yang biasa disebut reinventing.
Saya ingin sekali membahas tentang reinventing sekolah bersama-sama dengan Anda. Tetapi kesempatan belum memungkinkan. Karena itu, izinkan saya menutup perbincangan kita kali ini. Satu hal, dari pembicaraan yang baru saja kita lalui, kunci untuk melejitkan kecerdasan bukan pada melatih kecakapan belajarnya, tetapi justru bagaimana menggerakkan jiwanya untuk memiliki tujuan hidup yang kuat dan kesadaran agar senantiasa menjadi manusia yang bermanfaat.
Sumber: http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/sekolah-yang-mencerdaskan.html

03 Oktober, 2010

Perempuan dan Politik

Sudah lama kaum perempuan di posisikan sebagai objek(korban), dimana negara mengadvokasi hak-hak mereka dengan tawaran perempuan boleh masuk ke panggung politik. Dalam beberapa momen kaum perempuan boleh ambil bagian dalam job deskription kaum laki-laki; seperti Politik(Politisi, Pejabat), profesi( sopir, Pilot,dosen) atau lain-lain. Dalam posisi ini, Negara memandang perempuan tetap sebagai warga negara klas dua yang karena ada kelebihan-kelebihan/skill maka mereka boleh menempati ruang-ruang yang mestinya untuk laki-laki. Karena jika di telusuri kedalam bahwa partisipasi perempuan ini sangat terbatas, hanya perempuan klas atas yang berpendidikan tinggi yang boleh masuk dalam panggung politik/Publik. Perempuan yang terlibat dalam profesi yang umumnya dianggap profesi laki-laki mendapatkan sterotipe yang buruk.

Paradigma jaman dulu selalu mendefenisikan politik sebagai kekuasaan, sedangkan kekuasaan sendiri merupakan aspek dari laki-laki(depolitisasi). Bahkan, ketika politik didefinisikan dengan perspektif baru sebagai; pembuatan keputusan yang transparan, kemampuan bernegosiasi, partisipasi dengan cakupan basis yang luas, keterbukaan terhadap perubahan, distribusi sumberdaya (kekuasaaan) yang adil dan ekonomi yang produktif, dikotomi antara dunia perempuan dan dunia politik tetap berlangsung. Ini adalah cara pandang yang di reproduksi oleh sistem patriarkhi yang masih dominan dalam kehidupan budaya masyarakat kita.

Ketika kaum perempuan menuntut hak yang sama dalam partisipasi Politik, maka negara menanggapi dengan belas kasihan “Seperti kouta 30% kaum perempuan” yang dalam politik realnya sama sekali tidak terbukti bahwa persoalan refresentasi politik kaum perempuan sudah terpenuhi. Hambatan-hambatan politis, idelogis, maupun hambatan teknis/prosedural di jejerkan untuk memberikan ruang luas bagi kaum laki-laki. Inilah bukti konkret bagaimana negara tetap menjaga dan melembagakan sistem patriarkhal.

Inilah hambatan utama gerakan perempuan untuk terlibat dalam medan perjuangan politik—Parlemen sekaligus mengembangkan/ memajukan---memperluas persepktif pembebasan perempuan.

Warisan Politik Lama berbau “ Patriarkhal”

Salah satu hambatan bagi kaum perempuan untuk masuk dalam ruang pertarungan politik saat ini adalah masih kentalnya warisan politik Lama yang berbau “Patriarkhi”, sebuah ideologi yang mengagung-agungkan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Penyebabnya adalah sistem politik demokratis-kapitalis di Indonesia tidaklah meremukkan semua bentuk-bentuk politik lama, malah dalam sistem yang baru ini (parlemen Borjuis) nilai-nilai politik lama terus di akomodir. Dalam teori “ revolusi Paradigama” Thomas Kuhn menyatakan bahwa di negara-negara dunia ketiga yang baru menyentuh modernisasi proses penghilangan paradigma lama oleh paradigma baru sangat lambat, karena mobilitas sosial masyarakat sangat lambat. Keberadaan budaya feodal dalam politik modern masih terlihat jelas saat demokasi liberal di atrasikan di pemilu 1955 dengan kemenangan kekuatan partai politik tradisional seperti Partai Nasionalis Indonesia(PNI), Nahdatul Ulama(NU), dan Masyumi. Partai-partai yang disebut diatas adalah partai-partai yang banyak mengekspresikan kepentingan politik kaum priayi dan tuan tanah yang bimbang. Sedangkan dua partai yang merefresentasikan modernisme yakni PKI (yang anti Feudalisme) dan Partai Sosiali Indonesia(yang di komandoi oleh intelektual klas menengah) tidak manpu berbuat banyak dengan isu keagaamaan, etnisitas, dan lokalitas.

Dalam perkembangannya, di jaman Orde baru bingkai politik(politics Frame) berbudaya feodal ini masih tertanam kuat, apalagi kecenderungan birokratisme-totaliterisme yang mengambil nilai-nilai tradisional Jawa( kesatuan dan stabilitas). Kemudian berhembus demokratisasi pada tahun 1999 lewat gerakan mahasiswa, merubah model politik otoritarianisme berubah menjadi lebih liberal. Namun di tengah, efuria kebebasan ber-politik ini justru kelompok-kelompok tradisional dan fundamentalis yang lama tersingkir oleh politik penyeragaman Orde baru muncul kembali dan manifes menjadi gerakan politik. Dalam pemilu 2004 perdebatan tentang Capres perempuan(meskipun kepentingan politik Megawati dan PDIP versus kelompok tradisional), namum kolerasinya dengan kepentingan kaum perempuan adalah bahwa partisipasi politik kaum perempuan masih terus di hambat.

Nilai-nilai tradisional yang mengagung-agungkan nilai-nilai ke(perempuan)nan yang berbudi pekerti halus, penurut, patuh terhadap suami atau ayah, dan cenderung pasrah pada pekerjaan domestik menjadi hambatan politik kaum perempuan untuk mengekspresikan kesadaran politiknya. Bagi kelompok tradisional masih tersisa dikotomi antara negara(sebagai refresentasi laki-laki) dengan pekerja domestik(perempuan).

Butuhkah Partai Politik Perempuan
Dalam negara demokrasi modern, Partai politik merupakan kendaraan politik untuk mengekpresikan kepentingan, program perjuangan, dan mengorganisasikan dukungan politik dari massa. Maka keinginan Mendirikan partai politik perempuan adalah sah-sah saja, sepanjang ada efektifitasnya dengan kepentingan menyeluruh kaum perempuan. Memang dari semua kekuatan politik yang ada sekarang tidak ada satupun yang mengekspresikan kepentingan perjuangan perempuan, atau memperjuangkan hak-hak kaum perempuan secara konsisten. Kaum perempuan yang diakomodir dalam partai politik sekarang hanyalah perempuan klas atas(perempuan ber-duit), sedangkan perempuan klas bawah belum kita jumpai dalam jajaran kepengurusan partai politik. Orang-orang seperti Angelina Sondakh( Partai Demokrat), Marissa Haque(PKS), megawati(PDIP), Khofifah Indarparawansyah(PPP), dan lain lain adalah orang-orang yang mapan secara ekonomis, dan tidak punya kepentingan langsung dengan persoalan perempuan yang sifatnya sosial ekonomi( Pelacuran, trafficking, Violence).

Tetapi apakah mendirikan partai politik sudah menjadi jawaban utuh untuk memuarakan perjuangan kaum perempuan karena kalau tidak jelas konsepnya, bisa saja jumlah konstituen perempuan yang sangat besar bisa menjadi landasan berdirinya partai politik kaum perempuan. Sekarang tinggal memikirkan alat politik apa yang efektif untuk memuarakan perjuangan perempuan; (1) Membangun partai sendiri, (2) bersama sektor rakyat lainnya membangun kekuatan politik bersama, (3) ataukah menyatukan diri dengan kekuatan Parpol yang sudah ada(sama saja menggadaikan diri).

Abad Revolusi

ADA banyak ciri dari peradaban modern, yang postif maupun yang destruktif, yang khas abad ke-20, baik karena ciri-ciri tersebut tidak ada di masa lalu, atau yang lebih lazim, karena ciri-ciri ini telah berubah di luar yang kita bayangkan. Kebanyakan narasi mengedepankan persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang asalnya bukan abad ini tetapi telah mengubah kumulatif seluruh pola keberadaan manusia dengan cara-cara yang tak terbayangkan pada akhir abad sebelumnya. Misalnya dikemukakan bahwa pada abad ke-20 terjadi perkembangan besar kekuatan-kekuatan produksi, yang menghasilkan peningkatan besar kapasitas umat manusia untuk memproduksi kekayaan, yang lebih besar daripada seluruh abad dan milenia sebelumnya. Perubahan teknologi yang pesat ini jelas terlihat dalam produksi industri dan teknologi informasi; bahkan dalam pertanian perubahannya begitu dramatis sehingga kaum tani dalam pengertian lama, pertanian pemenuhan kebutuhan sendiri dan produksi untuk digunakan secara lokal dengan alat-alat bukan industri, sekarang di sebagian terbesar dunia sedang menghilang. Pada ujung lain pencapaian ini, aspek destruktif teknologi mendatangkan ancaman pada lingkungan alam, yang untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia, sehingga tidak jelas apakah spesies, ataukah planet itu sendiri, bisa selamat dari kehancuran.

Dengan kata lain, secara anekdotal orang bisa mengisolasi ciri ini atau itu, menurut selera atau minatnya, atau orang bisa sekadar membuat daftar sembarangan ciri-ciri terisolasi itu. Banyak dari ciri itu sangat penting. Akan tetapi pertama-tama sangat penting membuat gambar yang koheren tentang zaman kita, meskipun abad ini berakhir di tengah-tengah deklarasi yang gegap-gempita tentang akhir dari begitu banyak yang lain: tamatnya ideologi, tamatnya sejarah, tamatnya modernitas, tamatnya sosialisme, tamatnya bangsa dan negara-bangsa, dan sebagainya. Saya dalam tulisan lain menggunakan istilah "Pasca Kondisi" suasana pemikiran pascamodern yang tampaknya berkubang dalam ketemaraman yang permanen. Tetapi, untuk membuat gambar yang koheren tentang abad yang sekarang mengabur ke masa lalu, paling baik mengingat kembali aspirasi-aspirasi dan perjuangan-perjuangan sentralnya; semuanya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa dipandang dalam perspektif yang tepat. Kemudian, dalam tulisan ini saya akan berkomentar dengan cara yang sangat umum tentang apa yang merupakan ciri pendefinisi abad ini. (Esai-esai selanjutnya dalam seri ini akan menyoroti soal-soal yang lebih khusus.) Ketika mulai merefleksikan abad ke-20, perlu sedikit pemahaman untuk mengerti bahwa apa yang membuat abad ini khas dalam seluruh abad milenium yang sekarang juga sedang mendekati akhirnya, dan seluruh milenium yang sebelumnya, adalah bahwa sosialisme muncul sebagai fakta sentral sekitar mana hampir semua aspirasi dan konflik pada skala global terbentuk: perjuangan untuk dan menentang sosialisme, pencapaian untuk mewujudkannya, kegagalan dan kekalahannya, sekutu-sekutu dan musuh-musuhnya, perang (panas dan dingin), penumpahan darah tetapi juga kebesarannya.

Itu adalah salah satu cara untuk mengatakannya. Sama bisa dimengertinya, orang bisa mengatakan bahwa abad ini dibentuk sebagai segi tiga oleh kekuasaan imperialis di satu sisi, dan perjuangan menentang kekuasaannya pada sisi lain, yang dilancarkannya, utamanya oleh kekuatan-kekuatan sosialisme dan pembebasan nasional. Tidak satupun dari kekuatan-kekuatan ini berasal dari abad ke-20. Sejarah kapitalisme kolonialis merentang sepanjang setengah milenium, dan tak satupun rakyat yang disapu-bersih oleh kolonialisme tanpa melakukan perjuangan; dalam pengertian ini anti-kolonialisme itu sama tuanya dengan kolonialisme itu sendiri. Dan, sejumlah gagasan awal tentang sosialisme muncul pada akhir abad ke-18, di dalam kawah Revolusi Prancis. Karena itu gagasan sosialisme itu sama tuanya dengan gagasan tentang revolusi itu sendiri, dalam pengertian modern; dan, pada pertengahan abad ke-19, Marx dan Engels telah mulai merumuskan teori tentang revolusi proletariat yang diwarisi oleh abad ke-20. Akan tetapi, semua kekuatan ini – kapitalisme dan kolonialisme, serta sosialisme dan pembebasan nasional anti-kolonial – mengalami perubahan besar-besaran selama abad ke-20. Mengingat beberapa rinciannya memberi kita perspektif yang baik tentang perubahan-perubahan yang sangat penting ini.

Partai-partai massa kelas buruh memang muncul di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19, dan pada dasawarsa 1920-an partai-partai itu telah menduduki posisi-posisi penting di Parlemen, bahkan memenangkan pluralitas suara di negeri-negeri seperti Jerman, Austria, Belgia, Swedia, Norwegia, Findlandia, Italia, dan Negeri Belanda. Akan tetapi Revolusi Bolshevik adalah peristiwa kunci yang mengajukan persoalan perubahan revolusioner pada agenda di sejumlah negeri. Kombinasi partai-partai massa kelas buruh dan kemungkinan revolusi di seluruh benua [Eropa] inilah yang menghasilkan gejala fasisme. Tidak mengherankan bahwa fasisme paling ganas di empat negeri ini – Spanyol, Jerman, Italia, dan Austria – yang gerakan buruhnya paling kuat. Juga tidak mengejutkan bahwa kecenderungan-kecenderungan fasistis Kanan Jauh terus menjadi kecenderungan yang tepat waktu di zaman imperialisme sepanjang abad ini pada tingkat global.

Tetapi Revolusi Bolshevik juga mengubah politik sosialis dari gejala Eropa menjadi gejala internasional, gejala global. Transformasi ini disebabkan oleh lima faktor. Bahwa pemutusan revolusioner pertama kali terjadi di masyarakat Russia yang umumnya agraris menghasilkan perubahan besar dalam teori revolusi, menempatkan persekutuan buruh-petani sebagai prasyarat bagi politik proletariat, yang dengan demikian membuka jalan bagi kaum tani untuk muncul sebagai kekuatan revolusioner. Semua revolusi yang meletus sesudah Revolusi Bolshevik terjadi di masyarakat yang umumnya petani. Kedua, teori Bolshevik, seperti yang dikemukakan oleh Lenin dan kawan-kawannya, serta menentang semua arus pemikiran borjuis Eropa, mengakui keabsahan persoalan nasional dan kolonial, yang dengan demikian mengakui perlunya perang pembebasan nasional di seluruh Asia, Afrika, Amerika Latin dan di sudut-sudut Eropa sendiri. Semua revolusi sosialis sesudahnya punya hubungan intrinsik dengan nasionalisme revolusioner dan anti-imperialisme, sedang politik komunis punya pengaruh yang besar pada banyak gerakan nasionalis, dari India sampai Afrika Selatan. Ketiga, Komunis Internasional (Komintern) selama dua dasawarsa atau lebih merupakan tempat banyak orang revolusioner belajar mengenai teori dan praktek revolusi sosialis dan sebagai forum kaum militan dari seluruh dunia untuk belajar satu sama lain secara langsung, dengan sedikit halangan bahasa, ras, wilayah atau agama. Keempat, teori dan praktek sosialisme menjunjung tinggi gagasan bahwa perubahan revolusioner diperlukan tidak hanya oleh kelas-kelas yang terbentuk di wilayah pemilikan dan produksi – dengan kata lain, buruh dan petani – tetapi juga oleh seluruh kelompok sosial yang menghadapi berbagai macam penindasan: kaum perempuan sebagai kaum perempuan, kaum minoritas sebagai kaum minoritas, golongan pengrajin yang diluluh-lantakkan oleh pasar kapitalis, kelompok-kelompok bahasa, satuan-satuan budaya, dan sebagainya; bahwa perempuan seluruh bangsa atau agama punya kepentingan yang sama – gagasan tentang Internasional Perempuan, misalnya, pertama tumbuh di medan sosialis, jauh sebelum feminisme modern terbersit di benak siapapun. Kesatuan sosialis dipandang sebagai percaturan dialektis antara seluruh kepentingan partikular, golongan dengan kepentingan bersama, universal – karena itulah muncul konsepsi terkenal Gramsci tentang partai Komunis sebagai "intelektual kolektif."

Terakhir, semua ini diterjemahkan menjadi kebudayaan universalis yang kuat. Kebudayaan ini terdiri dari lembaga-lembaga – partai-partai politik, serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi massa perempuan dan pelajar/mahasiswa, kelompok-kelompok teater, perhimpunan-perhimpunan penulis, komite-komite anti-fasis, dan seterusnya – dan nilai-nilai. Bertentangan tajam dengan globalisasi kapitalis yang secara intrinsik bersifat rasis, nilai utama yang dijunjung tinggi dalam internasionalisme sosialis adalah kesetaraan radikal universal. Maka, dalam pengertian ini, gerakan sosialis menjadi pendukung utama nilai-nilai rasional dan egaliter Pencerahan abad ke-18. Karena itu, dengan sangat tepat Eric Hobsbawm menyebut arus sosialis kumulatif sebagai "Kiri Pencerahan." Karena itu pulalah serangan pascamodernis terhadap Marxisme bergandeng-tangan dengan serangan terhadap Pencerahan.

Postmodernisme

Tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat dalam berbagai bidang ilmu termasuk dalam pemikiran keagamaan Islam. Kini tidak sedikit konsep, metode, dan pendekatan yang digunakan cendekiawan Muslim dalam studi Islam berasal dari atau dipengaruhi Barat.

Barat dapat diidentifikasi menjadi dua periode dan paham penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis (baca: Agama), dan sebagainya. John Lock, filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, persamaan, adalah inti modernisme. Tapi yang menonjol adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrem.

Sedangkan postmodernisme, adalah gerakan yang mengritik modernisme yang elitis menjadi populis. Hasilnya adalah paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, persamaan, pluralisme, dan umumnya anti-worldview. Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme. Keduanya membawa konsep-konsep penting dengan kendaraan globalisasi.

Pengaruh modernisme
Pengaruh Barat dalam pemikiran Islam dapat dilihat dari model pembaruan pemikiran keagamaan Islam atau tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas.

Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori (alm) Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme.

Tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.

Nurcholish mencoba membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Batasnya adalah kepercayaan terhadap Hari Kemudian dan prinsip ketuhanan. Namun, pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dikotomis. Ini tidak beda dari prinsip orang-orang sekuler di Barat. Mereka percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, tapi tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka. Agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh masuk ruang publik. Padahal, dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).

Fazlur Rahman, pembimbing tesis Nurcholish di Chicago, mengakui bahwa Muslim modernis terpengaruh oleh Barat ketika menekankan penggunaan akal dalam memahami masalah agama, demokrasi, dan wanita. Prof Dr HM Rasjidi (lulusan Universitas Sorbone, Paris) yang banyak tahu konsep-konsep Barat, bahkan mengritik konsep pembaruan Nurcholish yang saat itu ia baru lulus S1. Sayangnya, kritik itu tidak direspons dan tidak menelurkan suasana dialogis yang produktif. Komunitas intelektual kita belum memiliki tradisi kritik.

Contoh lain dari pengaruh modernisme adalah gagasan pembaharuan Dr Harun Nasution. Tidak beda dari Nurcholish ia mengusung konsep rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Namun, berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul ‘Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh’. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Kanada dijadikan buku teks terutama di lingkungan IAIN.

Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologi Mu’tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash’ariyyah. Asumsinya bahwa teologi yang dipakai umat Islam di masa kejayaannya, di zaman kekhalifahan Abbasiyah, adalah teologi rasional Mu’tazilah. Ia juga mengatakan bahwa selama umat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash’ariyyah, maka hampir mustahil dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash’ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu’tazilah.

Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu’tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu’tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.

Pengaruh postmodernisme
Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadopsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Liberalisasi membawa paham pluralisme agama, relativisme, feminisme-gender, demoktratisasi dan yang lain, dan tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.

Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme.

Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.

Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, bahkan terminologi Barat.

Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.
republika.co.id

ADA DARI TIADA

Pertanyaan tentang bagaimana alam semesta   berasal, ke mana bergeraknya, dan bagaimana hukum-hukum mempertahankan keteraturan dan keseimbangan selalu menjadi topik yang menarik. Para ilmuwan dan pakar membahas subyek ini dengan tiada henti dan telah menghasilkan beberapa teori. Teori yang berlaku sampai awal abad ke-20 ialah bahwa alam semesta mempunyai ukuran yang tidak terbatas, ada tanpa awal, dan bahwa terus ada untuk selama-lamanya. Menurut pandangan ini, yang disebut ‘model alam semesta statis’, alam semesta tidak mempunyai awal ataupun akhir.Dengan   mengacu filsafat materialis,   pandangan   ini menolak adanya Pencipta seraya masih berpendapat bahwaalam semesta merupakan sekumpulan zat yang konstan, stabil, dan tidak berubah. Materialisme ialah sistem pemikiran yang menganggap bahwa zat itu merupakan suatu makhluk yang mutlak danmenolak segala keberadaan kecuali keberadaan zat. Dengan berakar pada   filsafat Yunani Kuno dan semakin diterimanyamaterialisme ini di abad ke-19, sistem pemikiran ini menjadi terkenal dalam bentuk materialisme dialektis Karl Marx.Seperti yang telah kita nyatakan tadi, model alam semesta abad ke-19 menyiapkan landasan bagi filsafat materialis.George Politzer, dalam bukunya yang berjudul Principes Fondamentaux de Philosophie, menyatakan berdasarkan modelalam semesta statis bahwa "alam semesta bukan merupakan obyek yang diciptakan", dan katanya lagi:Kalau begitu, alam semesta pasti diciptakan sekaligus oleh Tuhan dan dijadikan dari ketiadaan. Untuk menghasilkan ciptaan, maka di tempat pertama, Penciptanya harus menghasilkan keberadaan tersebut pada waktu alam semesta tidak
ada, dan bahwa segala sesuatu muncul dari ketiadaan. Inilah yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Ketika Politzer menyatakan bahwa alam semesta tidak terbuat dari sesuatu yang tidak ada, ia berpijak pada modelalam semesta statis abad 19 tersebut, dan mengira bahwa ia berpandangan ilmiah. Namun  begitu, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memutarbalikkan konsep -konsep lama seperti model alam semesta statis yang menjadi dasar   5 bagi ilmuwan yang menganut materialisme. Kini, di awal abad ke-21, dengan eksperimen, observasi dan perhitungan, fisika modern telah membuktikan bahwa alam semesta memiliki suatu awal dan diciptakan dari ketiadaan melalui ledakandahsyat.
Bahwa   alam   semesta   memiliki   suatu   awal   berarti kosmos bukan dihasilkan dari sesuatu yang tidak ada, melainkan diciptakan. Jika ciptaan itu ada (yang sebelumnya tidak ada), maka tentu saja ada Pencipta alam semesta. Ada dari tiada ialah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh benak manusia. (Manusia tidak dapat memahaminya karena tidak berkesempatan untuk mengalaminya). Karena itu, ada dari tiada itu sama sekali bukan pengumpulan obyek -obyek untuk membentuk obyek baru sekaligus (seperti karya seni atau penemuan teknologi). Alam semesta sendiri merupakan ayat Allah yang menciptakan segalanya sekali-jadi dan dalam satu peristiwa saja dengan sempurna, karena benda-benda yang diciptakan itu sebelumnya tidak bercontoh dan bahkan tidak ada waktu dan ruang untuk menciptakannya.  Munculnya alam semesta dari tiada   menjadi ada tersebut merupakan bukti terbesar diciptakannya alam semesta.
Mempelajari fakta ini akan mengubah banyak hal. Ini membantu manusia memahami arti kehidupan dan memperbaiki sikap dan tujuannya. Karena itu, banyak kalangan ilmuwan berupaya mengabaikan fakta penciptaan yang tidak dapat mereka pahami sepenuhnya, meskipun buktinya jelas bagi mereka. Kenyataan bahwa semua bukti ilmiah mengarah pada keberadaan Pencipta telah memaksa mereka untuk mencari alternatif-alternatif yang bagi alam pikiran orang awam membingungkan. Meskipun demikian, bukti ilmu pengetahuan sendiri jelas-jelas mengakhiri perjalanan teori -teori ini. 

Teori-Teori Revolusi

Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Revolusi mempunyai dua wajah yang saling bertolak belakang. Wajah pertama menggambarkan revolusi sebagai sebuah mitos, sedangkan wajah kedua memberikan gambaran revolusi sebagai sebuah konsep dan bahkan teori dalam ilmu sosiologi. Kedua wajah ini mempunyai kesaling terkaitan bahkan dialektika diantara keduanya menjadi suatu bentuk kewajaran.
Sejarah Munculnya Revolusi
Konsep revolusi pada awalnya merujuk pada pengertian gerakan melingkar pada benda langit. Tidak mengherankan apabila kita mengenal istilah revolusi bumi terhadap matahari. Namun kemudian penggunaan konsep revolusi juga menyentuh pada bidang sosial politik. Perkembangan selanjutnya memberikan gagasan tentang pentingnya revolusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih “sempurna”. Marx menggunakan konsep revolusi sebagai alat untuk menumbangkan dominasi kapitalis dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis.
Secara berangsur-angsur, mitos revolusi mengalami kemunduran. Ini terjadi tidak lepas dari “kegagalan” revolusi itu sendiri. Revolusi dipandang sebagai suatu proses yang tidak pernah berakhir. Tatanan kehidupan yang lebih baik seperti yang dijanjikan tidak dapat terwujud. Sejarah telah membuktikan bahwa sebagian besar revolusi menghasilkan bentuk ketidakadilan, ketimpangan, eksploitasi dan penindasan yang lebih parah. Selain itu revolusi seringkali harus diiringi dengan tindak kekerasan, peperangan dan kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa tidak sedikit. Revolusi dianggap sebagai sebuah bencana dibandingkan sebagai sebuah usaha penyelamatan kehidupan manusia.
Konsep revolusi dapat dibahas dalam dua perspektif, yaitu filsafat sejarah dan sosiologi. Konsep revolusi berdaarkan filsafat sejarah mempunyai ari sebagai bentuk terobosan radikal terhadap kesinambungan jalannya sejarah. Perspektif sosiologi memandang revolusi sebagai bentuk penggunaan kekuatan massa terhadap penguasa untuk melakukan perubahan mendasar dan terus-menerus. Revolusi dapat dianggap sebagai upaya membentuk ulang sejarah dengan menggunakan kekuatan krativitas manusia.
Kedua perspektif tersebut turut mempengaruhi pendefinisian konsep revolusi hingga pada akhirnya mengerucut pada tiga kelompok. Revolusi dapat diartikan sebagai lawan dari pembaruan. Perhatian utamanya adalah pada proses transformasi fundamental masyarakat. Selain itu, revolusi dapat dimaknai sebagai lawan dari evolusi. Tekanan yang diberikan adalah pada penggunaan kekerasan, perjuangan dan kecepatan perubahan yang terjadi.
Aliran-aliran teori Revolusi
Terdapat empat aliran dalam teori revolusi, yaitu tindakan, psikologi, struktural dan politik.
1. Aliran tindakan disampaikan oleh Sorokin yang menitikberatkan pengamatan pada peran tindakan individu dalam revolusi. Secara garis besar terdapat dua kondisi yang mendorong terjadinya revolusi, yaitu tekanan dari bawah dan kelemahan dari atas.
2. Aliran psikologi mengabaikan tindakan reflek atau naluriah dan beralih pada bidang orientasi sikap dan motivasi. Revolusi disebabakan sindrom mental yang menyakitkan yang terbesar di kalangan rakyat, diperburuk karena menjangkiti banyak orang sehingga memotivasi perjuangan kolektif untuk meredakannya.
3. Teori struktural memusatkan pada tingkat struktur makro dengan mengabaikan faktor psikologi. Revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural dan terutama bentuk hubungan khusus tertentu antara rakyat dengan pemerintah. Revolusi dicari penyebabnya berdasarkan konflik antar kelas, antar kelompok.
4. Teori Politik melihat revolusi sebagai sifat fenomena politik yang muncul dari proses yang khusus terjadi di bidang politik. Revolusi dilihat sebagai akibat pergeseran keseimbangan kekuatan dan perjuangan perebutan hegemoni antar pesaing untuk mengendalikan negara.
Revolusi dianggapnya sebagai wujud dari perubahan sosial yang paling spektakuler, yang merupakan suatu pertanda perpecahan mendsar suatu proses histories, pembentukkan ulang masyarakat dari dalam, dan pembentukan ulang manusia. Revolusi tidak menyisakan apapun seperti keadaannya sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru. Di saat terjadi suatu perubahan sosial besar, suatu revolusi, masyarakat mengelami puncak agenya. Bagi Sztompka pada saat itulah terjadi meledaknya potensi transormasi dirinya sendiri.
Secara ringkas Sztompka juga memberikan kerangka definisi tentang revolusi yang dikerucutkan dari beberapa ahli seperti C. Johnson (1968), Gurr (1970), Giddens (1989) yang pada akhirnya menemukan tiga komponen utama yang mendasar dari revolusi yaitu:
1. Revolusi mengacu pada perubahan fundamental, menyeluruh dan multidimensional, menyentuh inti tatanan social.
2. Revolusi melibatkan massa rakyat yang besar jumlahnya yang dimobilisasi dan bertindak dalam satu gerakan revolusioner. Seperti yang terjadi di Jepang dengan restorasi Maiji, revolusi Attaturk di Turki, Reformasi Nasser di Mesir, Perestorikanya Gorbachev).
3. Revolusi memerlukan keterlibatan kekerasan dan penggunaan kekerasan. Walaupun ada proses revolusi di India oleh Ghandi atau gerakan sosial di Eropa Timur dan Tengah yang memaksa kematian komunisme. Seperti juga revolusi damai Solidaritas di Polandia dan revolusi Beludru di Ceko.
Tujuan Revolusi
Proses selanjutnya dari revolusi adalah suatu tatanan masyarakat yang seperti dihidupkan kembali, harapannya adalah dengan revolusi terjadi suatu perubahan yang lebih baik, dan masyarakat menemukan kesejahteraannya. Menurut Sztompka revolusi merupakan suatu proses perubahan sosial yang paling tinggi dan menimbulkan dampak yang luar biasa jika dibandingkan dengan proses perubahan sosial yang lainnya, yaitu:
1. menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, budaya, politik, organisasi social, kehidupan sehari-hari masyarakat, dan perubahan kepribadian manusianya.
2. perubahan yang terjadi dan dihadilkan adalah perubahan yang menyentuh inti dari bangunan dan fungsi social masyarakatnya.
3. Jika proses kesejarahan dianggap sebagai suatu proses yang relative lambat, maka proses revolusi merupakan suatu proses perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, seperti ledakan bom atom.
4. Dalam seni pertunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam bingkai revolusi merupakan suatu pertunjukkan perubahan yang paling menonjol, waktunya luar biasa cepat, dan karena itu sangat mudah diingat.
Revolusi dapat membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan, perasaan hebat dan perkasa, keriangan dan aktivisme dan menggapai kembali makna kehidupan, melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan. Revolusi terjadi secara tidak merata di sepanjang sejarah. Kebanyakan terjadi dalam periode modern. Revolusi Besar seperti di Inggris pada tahun 1640, revolusi perancis pada tahun 1789 yang melahirkan epos modern, revolusi komunis di Rusia pada tahun 1917 dan di Cina pada tahun 1949, dan revolusi yang anti komunis di Eropa Timur, dan Tengah pada tahun 1989 revolusi ini mengakhiri periode komunis.
Cakupan Revolusi
Sztompka (2005) menjelaskan revolusi sosial kedalam lima hal yaitu; (1) menimbulkan perubahan dalam cakupan terluas, menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat, (2) dalam semua bidang tersebut perubahannya radikal, fundamental, menyentuh inti bangunan dan fungsi sosial, (3) perubahan yang terjadi sangat cepat, tiba-tiba, (4) membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa, antusiasme, kegirangan, kegembiraan, optimisme, dan harapan.
Berbagai konsep revolusi yang telah disampaikan didepan mempunyai sebuah gagasan yang sama yaitu sebagai bentuk perubahan sosial yang dahsyat dan bersifat fundamental dalam merubah tatanan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. Terdapat faktor pencetus yang menyebabkan revolusi dapat berjalan dalam suatu masyarakat. Berbagai teori menyampaikan pendapatnya tentang faktor penyebab ini, namun kesemuanya dapat disimpulkan sebagai sebuah hasil dari ketidakadilan dalam masyarakat. Kondisi ketidakadilan atau penyimpangan inilah yang melahirkan semangat revolusi.
Akibat dari revolusi secara garis besar dapat dilihat dari tumbangnya penguasa lama dan digantikannya oleh tatanan penguasa baru. Selain merubah tatanan kepemimpinan, revolusi mampu merubah segala aspek kehidupan masyarakat.
Acuan pustaka
Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Coleman, James S. Dasar-Dasar Teori Sosial.
Godechot, Jaques (ed.). 1989. Revolusi di Dunia Barat (1770-1799). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mengenai Saya

Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia
Science is My Way of Life