ADA banyak ciri dari peradaban modern, yang postif maupun yang destruktif, yang khas abad ke-20, baik karena ciri-ciri tersebut tidak ada di masa lalu, atau yang lebih lazim, karena ciri-ciri ini telah berubah di luar yang kita bayangkan. Kebanyakan narasi mengedepankan persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang asalnya bukan abad ini tetapi telah mengubah kumulatif seluruh pola keberadaan manusia dengan cara-cara yang tak terbayangkan pada akhir abad sebelumnya. Misalnya dikemukakan bahwa pada abad ke-20 terjadi perkembangan besar kekuatan-kekuatan produksi, yang menghasilkan peningkatan besar kapasitas umat manusia untuk memproduksi kekayaan, yang lebih besar daripada seluruh abad dan milenia sebelumnya. Perubahan teknologi yang pesat ini jelas terlihat dalam produksi industri dan teknologi informasi; bahkan dalam pertanian perubahannya begitu dramatis sehingga kaum tani dalam pengertian lama, pertanian pemenuhan kebutuhan sendiri dan produksi untuk digunakan secara lokal dengan alat-alat bukan industri, sekarang di sebagian terbesar dunia sedang menghilang. Pada ujung lain pencapaian ini, aspek destruktif teknologi mendatangkan ancaman pada lingkungan alam, yang untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia, sehingga tidak jelas apakah spesies, ataukah planet itu sendiri, bisa selamat dari kehancuran.
Dengan kata lain, secara anekdotal orang bisa mengisolasi ciri ini atau itu, menurut selera atau minatnya, atau orang bisa sekadar membuat daftar sembarangan ciri-ciri terisolasi itu. Banyak dari ciri itu sangat penting. Akan tetapi pertama-tama sangat penting membuat gambar yang koheren tentang zaman kita, meskipun abad ini berakhir di tengah-tengah deklarasi yang gegap-gempita tentang akhir dari begitu banyak yang lain: tamatnya ideologi, tamatnya sejarah, tamatnya modernitas, tamatnya sosialisme, tamatnya bangsa dan negara-bangsa, dan sebagainya. Saya dalam tulisan lain menggunakan istilah "Pasca Kondisi" suasana pemikiran pascamodern yang tampaknya berkubang dalam ketemaraman yang permanen. Tetapi, untuk membuat gambar yang koheren tentang abad yang sekarang mengabur ke masa lalu, paling baik mengingat kembali aspirasi-aspirasi dan perjuangan-perjuangan sentralnya; semuanya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, bisa dipandang dalam perspektif yang tepat. Kemudian, dalam tulisan ini saya akan berkomentar dengan cara yang sangat umum tentang apa yang merupakan ciri pendefinisi abad ini. (Esai-esai selanjutnya dalam seri ini akan menyoroti soal-soal yang lebih khusus.) Ketika mulai merefleksikan abad ke-20, perlu sedikit pemahaman untuk mengerti bahwa apa yang membuat abad ini khas dalam seluruh abad milenium yang sekarang juga sedang mendekati akhirnya, dan seluruh milenium yang sebelumnya, adalah bahwa sosialisme muncul sebagai fakta sentral sekitar mana hampir semua aspirasi dan konflik pada skala global terbentuk: perjuangan untuk dan menentang sosialisme, pencapaian untuk mewujudkannya, kegagalan dan kekalahannya, sekutu-sekutu dan musuh-musuhnya, perang (panas dan dingin), penumpahan darah tetapi juga kebesarannya.
Itu adalah salah satu cara untuk mengatakannya. Sama bisa dimengertinya, orang bisa mengatakan bahwa abad ini dibentuk sebagai segi tiga oleh kekuasaan imperialis di satu sisi, dan perjuangan menentang kekuasaannya pada sisi lain, yang dilancarkannya, utamanya oleh kekuatan-kekuatan sosialisme dan pembebasan nasional. Tidak satupun dari kekuatan-kekuatan ini berasal dari abad ke-20. Sejarah kapitalisme kolonialis merentang sepanjang setengah milenium, dan tak satupun rakyat yang disapu-bersih oleh kolonialisme tanpa melakukan perjuangan; dalam pengertian ini anti-kolonialisme itu sama tuanya dengan kolonialisme itu sendiri. Dan, sejumlah gagasan awal tentang sosialisme muncul pada akhir abad ke-18, di dalam kawah Revolusi Prancis. Karena itu gagasan sosialisme itu sama tuanya dengan gagasan tentang revolusi itu sendiri, dalam pengertian modern; dan, pada pertengahan abad ke-19, Marx dan Engels telah mulai merumuskan teori tentang revolusi proletariat yang diwarisi oleh abad ke-20. Akan tetapi, semua kekuatan ini – kapitalisme dan kolonialisme, serta sosialisme dan pembebasan nasional anti-kolonial – mengalami perubahan besar-besaran selama abad ke-20. Mengingat beberapa rinciannya memberi kita perspektif yang baik tentang perubahan-perubahan yang sangat penting ini.
Partai-partai massa kelas buruh memang muncul di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19, dan pada dasawarsa 1920-an partai-partai itu telah menduduki posisi-posisi penting di Parlemen, bahkan memenangkan pluralitas suara di negeri-negeri seperti Jerman, Austria, Belgia, Swedia, Norwegia, Findlandia, Italia, dan Negeri Belanda. Akan tetapi Revolusi Bolshevik adalah peristiwa kunci yang mengajukan persoalan perubahan revolusioner pada agenda di sejumlah negeri. Kombinasi partai-partai massa kelas buruh dan kemungkinan revolusi di seluruh benua [Eropa] inilah yang menghasilkan gejala fasisme. Tidak mengherankan bahwa fasisme paling ganas di empat negeri ini – Spanyol, Jerman, Italia, dan Austria – yang gerakan buruhnya paling kuat. Juga tidak mengejutkan bahwa kecenderungan-kecenderungan fasistis Kanan Jauh terus menjadi kecenderungan yang tepat waktu di zaman imperialisme sepanjang abad ini pada tingkat global.
Tetapi Revolusi Bolshevik juga mengubah politik sosialis dari gejala Eropa menjadi gejala internasional, gejala global. Transformasi ini disebabkan oleh lima faktor. Bahwa pemutusan revolusioner pertama kali terjadi di masyarakat Russia yang umumnya agraris menghasilkan perubahan besar dalam teori revolusi, menempatkan persekutuan buruh-petani sebagai prasyarat bagi politik proletariat, yang dengan demikian membuka jalan bagi kaum tani untuk muncul sebagai kekuatan revolusioner. Semua revolusi yang meletus sesudah Revolusi Bolshevik terjadi di masyarakat yang umumnya petani. Kedua, teori Bolshevik, seperti yang dikemukakan oleh Lenin dan kawan-kawannya, serta menentang semua arus pemikiran borjuis Eropa, mengakui keabsahan persoalan nasional dan kolonial, yang dengan demikian mengakui perlunya perang pembebasan nasional di seluruh Asia, Afrika, Amerika Latin dan di sudut-sudut Eropa sendiri. Semua revolusi sosialis sesudahnya punya hubungan intrinsik dengan nasionalisme revolusioner dan anti-imperialisme, sedang politik komunis punya pengaruh yang besar pada banyak gerakan nasionalis, dari India sampai Afrika Selatan. Ketiga, Komunis Internasional (Komintern) selama dua dasawarsa atau lebih merupakan tempat banyak orang revolusioner belajar mengenai teori dan praktek revolusi sosialis dan sebagai forum kaum militan dari seluruh dunia untuk belajar satu sama lain secara langsung, dengan sedikit halangan bahasa, ras, wilayah atau agama. Keempat, teori dan praktek sosialisme menjunjung tinggi gagasan bahwa perubahan revolusioner diperlukan tidak hanya oleh kelas-kelas yang terbentuk di wilayah pemilikan dan produksi – dengan kata lain, buruh dan petani – tetapi juga oleh seluruh kelompok sosial yang menghadapi berbagai macam penindasan: kaum perempuan sebagai kaum perempuan, kaum minoritas sebagai kaum minoritas, golongan pengrajin yang diluluh-lantakkan oleh pasar kapitalis, kelompok-kelompok bahasa, satuan-satuan budaya, dan sebagainya; bahwa perempuan seluruh bangsa atau agama punya kepentingan yang sama – gagasan tentang Internasional Perempuan, misalnya, pertama tumbuh di medan sosialis, jauh sebelum feminisme modern terbersit di benak siapapun. Kesatuan sosialis dipandang sebagai percaturan dialektis antara seluruh kepentingan partikular, golongan dengan kepentingan bersama, universal – karena itulah muncul konsepsi terkenal Gramsci tentang partai Komunis sebagai "intelektual kolektif."
Terakhir, semua ini diterjemahkan menjadi kebudayaan universalis yang kuat. Kebudayaan ini terdiri dari lembaga-lembaga – partai-partai politik, serikat-serikat buruh, organisasi-organisasi massa perempuan dan pelajar/mahasiswa, kelompok-kelompok teater, perhimpunan-perhimpunan penulis, komite-komite anti-fasis, dan seterusnya – dan nilai-nilai. Bertentangan tajam dengan globalisasi kapitalis yang secara intrinsik bersifat rasis, nilai utama yang dijunjung tinggi dalam internasionalisme sosialis adalah kesetaraan radikal universal. Maka, dalam pengertian ini, gerakan sosialis menjadi pendukung utama nilai-nilai rasional dan egaliter Pencerahan abad ke-18. Karena itu, dengan sangat tepat Eric Hobsbawm menyebut arus sosialis kumulatif sebagai "Kiri Pencerahan." Karena itu pulalah serangan pascamodernis terhadap Marxisme bergandeng-tangan dengan serangan terhadap Pencerahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar