Welcome to My Blog

Saran dan kritikan dari anda sangat dibutuhkan demi perbaikan mutu blog ini

18 Mei, 2011

“Membedah Pemikiran Pluralis Di Indonesia” Islam dan Pluralitas(isme) Agama


 
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.  Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.
Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS, al-Mumtahanah [60]: ayat 8  Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.
Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan.  Namun, perbedaan syari`at itu tak menyebabkan Islam kehilangan apresiasinya terhadap para nabi. Dalam pandangan Islam, semua nabi adalah bersaudara. Nabi Muhammad bersabda, “tak ada orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku”. Ia bersabda, umat Islam yang mengimani Nabi Isa dan Muhammad SAW akan mendapatkan dua pahala. Nabi Muhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, ”sesungguhnya perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang membangun sebuah rumah. Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada tempat bagi sebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumah itu dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin itu tidak dipasang. Nabi bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup para nabi”. Umat Islam pun diperintahkan meyakini dan menghargai seluruh para nabi plus kitab suci yang dibawanya. Jika para nabi yang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan Muhammad sebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu disebut sebagai Ahli Kitab.
Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangan dan menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukan gambar Bunda Maria (Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam Ka`bah. Dengan menutupi gambar tersebut dengan jubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan kecuali gambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yang diselamatkan itu bukan hanya gambar Isa al-Masîh dan ibunya (Maryam), melainkan juga gambar Nabi Ibrahim. Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung Nabi Isa di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak. Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaan Muhammad terhadap Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim. Ini menunjukkan, sikap saling menghargai telah dikukuhkan Nabi semenjak awal kehadiran Islam. tulah sikap teologis al-Qur’an dalam merespons pluralitas agama dan umat beragama. Sementara sikap sosial-politisnya berjalan dinamis dan fluktuatif Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain, sangat tegang. Ketika Romawi yang Kristen kalah perang melawan Persia, umat Islam ikut bersedih. Satu ayat al-Qur’an turun menghibur kesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula, ketika Muhammad SAW mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budak pemeluk agama Kristen bernama `Uddâs di Ninawi Irak (kota asal Nabi Yunus). Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Uddâs yang memberikan setangkai anggur untuk dimakan.
Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan. Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân) atau ayat kulliyât.  Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang damai.   Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas membutuhkan tafsir al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum, Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam, tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian  Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain. Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan, tak seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal saleh dan beriman kepada Allah. Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.[]
Oleh Abd Moqsith Ghazali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia
Science is My Way of Life