Welcome to My Blog

Saran dan kritikan dari anda sangat dibutuhkan demi perbaikan mutu blog ini

18 Mei, 2011

Siasat Perang


Siasat perang berarti strategi peperangan agar kemenangan berpihak pada umat Islam dan kekalahan menimpa pihak musuh. Di dalamnya ditampakkan dimensi  praktis yang aktual. Dalam kondisi perang, agama memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang, dan melarang hal-hal yang sebelumnya diperbolehkan. Contoh; dalam situasi perang, agama membolehkan berbohong pada musuh, padahal hal itu dilarang dalam kondisi damai. Agama juga melarang bersikap lunak pada tentara, padahal di luar perang sikap itu dianjurkan. Demikianlah, Siasat perang membuat ketentuan-ketentuan khusus dalam peperangan. Ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan cara memperlakukan musuh, berkaitan dengan kode etik perang, berkaitan dengan tentara Islam dan hal-hal yang lainnya.
Untuk hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana memperlakukan musuh, Islam memberikan kewenangan pada khalifah dan umat Islam untuk melakukan apa yang di lakukan musuh kepada mereka, termasuk menghalalkan tindakan yang mereka lakukan terhadap umat Islam. Allah berfirman: “dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”(Q.S. Al-Nahl: 126). Disebutkan, sebab turunnya ayat diatas adalah ketika orang-orang musyrik berbuat semena-mena terhadap kaum muslimin; membelah perut, memotong alat kelamin, dan mengoyak hidung. Tak satupun yang lepas dari kekejian mereka kecuali Handzalah bin Al-Rohib. Nabi Muhamad berdiri dan melihat pemandangan yang menggidikan ketika didepannya terbaring jenazah Hamzah yang mengalami hal yang serupa; perut terbelah dan hidung rata. Kemudian Nabi bersabda: “ketahuilah, saya bersumpah, jika Allah memberikan kemenangan padaku, aku akan melakukan hal serupa pada 70 orang sebagai gantinya kamu”. Dan turunlah ayat diatas dalam kondisi perang. Ayat tersebut, meskipun melarang melakukan pembalasan yang lebih dari perlakuan musuh, tetapi secara tegas membolehkan melakukan balasan yang serupa dengan perbuatan mereka. Termasuk melakukan yang mereka lakukan—dan tidak boleh lebih— terhadap korban perang, meskipun tindakan memperburuk bentuk itu diharamkan. Beberapa hadits menyebutkan keharaman al-tamtsil (memotong anggota tubuh, seperti hidung dan telinga). Namun keharaman tersebut jika pihak musuh tidak melakukan hal itu terhadap kaum muslim. Tetapi jika musuh melakukan hal demikian terhadap korban umat Islam, maka bagi umat Islampun boleh melakukan hal yang serupa. Contoh lagi adalah berhianat dan melanggar perjanjian. Jika pihak musuh melanggar perjanjian atau dikhawatirkan akan melakukan itu, maka kitapun boleh melakukannya. Jika tidak, maka kitapun tidak boleh melakukannya. Meskipun terdapat larangan melanggar perjanjian, tetapi itu menjadi boleh dan sah demi kepentingan dan strategi perang. Karena, larangan itu berlaku jika pihak musuh tidak melakukannya. Namun jika mereka melakukan, maka umat Islampun  boleh melakukannya. “dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (Q.S.Al-Anfal: 58).
Dengan demikian, senjata nuklir boleh digunakan umat Islam dalam peperangan melawan musuh meskipun musuh belum menggunakannya, sebab semua negara telah melegalkan penggunaan senjata nuklir dalam peperangan, maka kitapun boleh menggunakannya. Meski sebenarnya penggunaan senjata nuklir dilarang karena dapat memusnahkan umat manusia secara massal, sementara jihad adalah untuk melestarikan dan menambah populasi umat manusia, bukan sebaliknya.
Dalam kaitannya dengan etika perang, umat Islam boleh membakar dan menghancurkan pepohonan, makanan, perkebunan dan rumah-rumah milik orang-orang kafir. Allah berfirman “apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah, dan karena Dia hendak memberikan kehinaan keada orang-orang fasik”(Q.S. Al-Hasyr: 05). Dan Nabi pernah membakar pohon kurma milik Bani Nadlir, meskipun diyakini kurma itu akan menjadi miliknya. Sementara riwayat  —yang telah diakui para sahabat dan tak seorangpun menentangnya— dari Yahya bin Said al-Anshory yang menyatakan bahwa Abu Bakar al-siddiq RA berkata pada pemimpin perang yang diutus ke Syam, “jangan menyembelih domba dan unta kecuali untuk dimakan, jangan membakar pohon kurma dan jangan pula membenamkannya”, itu adalah etika dasar dalam perang; yaitu tidak boleh merusak lingkungan dan menebang pohon. Tetapi jika khalifah atau panglima perang melihat bahwa untuk dapat memenangkan pertempuran atau mempercepat menguasai keadaan, mesti melakukan pengrusakan lingkungan dan penebangan pohon, maka hal itu boleh dalam siasat peperangan, seperti yang pernah dilakukan Rasululloh saw.
Contoh lain adalah membunuh hewan dan membakarnya, juga membakar apa yang dimiliki musuh. Ketika strategi peperangan menuntut hal itu, maka boleh dilakukan, meskipun pada awalnya dilarang. “dan tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh”(Q.S. At-Taubah: 120).
Ayat ini sifatnya umum, dan tak ditemukan sesuatu yang mempersempit keumuman makna ayat diatas, baik oleh ayat lain maupun hadits. Karenanya, makna ayat tetap pada keumumannya. Bahkan terdapat beberapa hadits shohih tentang diperbolehkannya membakar rumah, membakar pohon dan menebangnya. Dari Ibn Umar disebutkan bahwa Rasululloh SAW. menebang pohon kurma Bani Nadlir dan membakarnya. Dan untuk itu, Hassan berkata:
Dan menjadi mudah di pusat Bani Luay  kebakaran yang mengitari tanah buwairoh”
Pada saat itulah turun ayat  “apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya”(Q.S. Al-Hasyr: 05).
Jarir ibn Abdillah berkata; Rasululloh SAW. berkata padaku; apakah kamu ingin membuat hatiku senang tentang daerah Dzul Khalasoh? kemudian kami bertolak bersama 150 pasukan berkuda dari suku Ahmas. Dzul Khalasoh adalah rumah ibadah milik suku Khats’am dan Bajilah di Yaman. Rumah itu disebut juga dengan Ka’bah Yaman yang didalamnya terdapat patung untuk disembah. Kemudian Jarir mendatangi tempat tersebut lalu membakarnya dan menghancurkannya. Dan diutuslah seorang dari suku Ahmas, yang dijuluki Abu Artho’ah, kepada Nabi saw. untuk menyampaikan berita gembira. Setelah sampai, berkatalah ia pada Rasululloh saw.; wahai Rasululloh; demi dzat yang telah mengutusmu dengan hak, aku tidak datang kemari sampai saya tinggalkan Dzul Khalasoh seperti unta yang terkena penyakit·. Nabi saw. kemudian mendoakan keberkahan terhadap kuda dan pasukannya sampai lima kali. Ahmad, Abu Daud dan Ibn Majah meriwayatkan dari Usamah ibn Zaid, ia berkata; Rasululloh SAW. mengutusku ke sebuah daerah yang bernama Ubnai, lalu beliau berkata; “datanglah kesana dan bakar!”, Ubnai inilah yang merupakan Yubna Palestina. Dan dari wasiatnya Umar RA yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwatho’nya, dan dipadukan dengan hadits-hadits ini, jelaslah bahwa membakar dan menebang pohon, juga merobohkan rumah itu dilakukan jika strategi kemenangan menuntut hal itu. Dan ini masuk dalam siasat perang.
Sementara yang berkaitan dengan tentara Islam, seorang pemimpin atau panglima perang boleh melarang keikut sertaan orang-orang munafik, fasik, orang-orang terlantar, atau yang sejenisnya. “tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka; tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu. Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju kemuka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu”(Q.S. At-Taubah: 46).
Orang fasik dan orang munafik pada dasarnya tidak dilarang masuk dalam barisan tentara Islam. Tetapi ketika siasat perang menganggap perlu untuk melarang mereka terlibat dalam peperangan, melakukan aksi tertentu atau juga mengendalikan urusan tertentu, maka pemimpin atau panglima perang berhak melakukan itu semua.
Adapun yang berkaitan dengan selain hal-hal diatas; memperlakaukan musuh, etika perang atau tentara Islam, maka apa yang terjadi pada Rasululloh SAW. ketika kembali dari perang Bani al-Mushtholaq. Beliau kembali bersama umat Islam dengan bergegas. Siang-malam beliau berjalan dengan penuh semangat sampai tiba di Madinah, sehingga hal itu membuat stress para tentara karena kelelahan. Padahal semestinya adalah bersikap lunak terhadap tentara. Dari Jabir; ia berkata: “Rasululloh SAW.  berjalan di belakang untuk menolong, mengikuti dan mendoakan yang lemahdiriwayatkan oleh Abu Daud. Tetapi, karena melihat gelagat tidak baik dari Abdullah bin Ubay bin Salul dengan menyebarkan fitnah di antara kaum muhajirin, maka strategi perang memandang perlu agar berjalan secara seimbang antara prajurit yang terlemah dan yang terkuat sehingga tidak memberikan peluang untuk mengobrol atau berdebat.
Demikianlah, dalam strategi perang, seorang pemimpin di tuntut untuk membuat kebijakan-kebijakan bagaimana menguasai medan pertempuran dan melumpuhkan musuh. Namun semua itu jika tidak ditemukan nash yang mengarahkan pola tertentu. Sebaliknya jika terdapat nash khusus maka tidak boleh keluar dari nash tersebut dengan dalih siasat peperangan, tetapi harus mengikuti ketentuan nash. Jika nash bersifat mengikat dan tidak disertai alasan, maka tidak boleh melakukan kebijakan-kebijakan atas dasar perang. Tetapi jika disertai alasan, maka hukum ditetapkan sesuai alasan yang ada. Jika terdapat nash yang melarang suatu hal, sementara disaat-saat tertentu, Nabi justru melakukannya, maka hal itu hanya boleh dilakukan pada saat-saat itu. Beberapa teks membicarakan tindakan-tindakan yang dilarang oleh syara’, maka tindakan-tindakan itu dilarang sesuai yang disebutkan teks itu, dan tidak boleh dilanggar dengan dalih peperangan. Karena, strategi perang bersifat umum, kecuali jika terdapat nash yang mempersempit keumuman tersebut, maka disesuaikan dengan teks pada hal yang khusus tadi. Ahmad meriwayatkan dari Shofwan bin ‘Asal, ia berkata; Rasululloh SAW. mengutus kami dalam suatu peperangan. Beliau bersabda; “berjalanlah dengan nama Allah dan atas jalan Allah, perangilah orang yang mengingkari Allah, jangan melakukan tamtsil, jangan berhianat, dan jangan pula membunuh anak-anak”. Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibn Umar, dia berkata; :”saya menemukan seorang perempuan, terbunuh dalam sebagian peperangan Rasululloh, lalu beliau melarang membunuh perempuan dan anak-anak” Ahmad meriwayatkan dari Al-aswad bin Sari’, ia berkata; Rasululloh SAW. bersabda “kenapa beberapa kelompok berlebihan dalam membunuh, sampai –sampai mererka membunuh anak-anak? seorang lelaki menjawab, wahai Rosul, mereka hanyalah anak-anaknya orang musyrik, lalu Nabi bersabda; ingatlah!orang-orang yang pilihan dari kalian adalah anaknya orang musyrik”. Abu Daud menceritakan dari Anas bahwa Rasululloh SAW. bersabda: “mulailah dengan nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasululloh, jangan membunuh kakek tua renta, anak kecil dan perempuan, jangan berlebihan, kumpulkan hasil rampasanmu, berdamailah dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”. Hadits-hadits diatas melarang aksi-aksi tertentu dalam perang. Karenanya tidaklah sah melakukan hal tersebut atas dasar peperangan, tetapi hal itu dilakukan berdasarkan teks yang ada. Terdapat pula teks-teks yang membolehkan melakukan aksi diatas dengan meledakan bom dan apapun yang diledakkan dari tempat yang jauh dengan menggunakan alat berat. Boleh pula membunuh anak-anak dan perempuan ketika tidak dapat dihindari karena mereka berbaur dengan pasukan orang-orang kafir. Imam Bukhori meriwayatkan dari Sha’ab bin Jutsamah “bahwa Rasululloh SAW. ditanya mengenai keluarga yang tinggal bersama orang-orang musyrik sehingga kaum wanita dan keturunannya ikut terbunuh, Nabi menjawab; mereka termasuk dari orang-orang musyrik”. Dalam Shohih ibn Hibban dari Sha’ab, ia berkata: “saya bertanya pada Rasululloh tentang anak-anak orang musyrik apakah boleh kami membunuh mereka bersama orang-orang musyrik? Beliau menjawab; “ya, karena mereka termasuk golongan orang-orang musyrik”. Imam Turmudzi mengeluarkan hadits dari Tsur ibn Yazid “bahwa Nabi saw. memasang manjaniq (alat pelontar batu, alat perang jaman dulu) pada kaum Thaif”. Dan manjaniq ketika dilemparkan, maka ia tidak dapat membedakan antara kaum wanita, anak-anak, pepohonan dan sebagainya. Ini berarti bahwa senjata berat seperti bom dan artileri ketika digunakan dalam perang maka apapun konsekuensinya itu bisa dibenarkan, seperti membunuh, merobohkan dan merusak segala yang ada. Demikian pula ketika tidak dapat menembus orang-orang kafir tanpa membunuh anak-anak dan ibu-ibu. Jika mereka terkena sasaran karena sulit dihindari maka hukumnya boleh. Adapun melakukan tindakan-tindakan diatas selain menggunakan manjaniq dan tidak dalam kondisi yang sulit untuk menghindari mereka dari orang-orang kafir maka hukumnya tafsil sesuai nash yang ada. Anak-anak tidak boleh dibunuh dalam keadaan apapun selain pada dua situasi diatas. Demikian pula tawanan, karena mereka adalah orang-orang yang lemah. Hal ini karena ada larangan keras membunuh keduanya dan tidak disertai alasan apapun. Sementara kaum ibu, maka harus dilihat terlebih dulu, kalau terlibat dalam peperangan, maka boleh dibunuh, jika tidak, maka tidak boleh. Karena ada hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud dari Rabah ibn Robi’ bahwa dia keluar bersama Rasululloh dalam suatu peperangan. Dan di depan barisan adalah Kholid ibn Walid. Kemudian Rabah dan sahabat-sahabat melihat wanita terbunuh akibat luka bagian mukanya, mereka lalu berhenti dan nampak keheranan melihat rupa wanita tadi. Lalu muncullah Rasululloh SAW., dan para sahabat memberikan jalan kepada beliau. Rasululloh SAW. berdiri di depan jenazah wanita tadi dan bekata; wanita ini tidak ikut berperang. Lalu beliau berkata pada salah satu sahabat; “susullah Kholid dan katakan padanya; jangan membunuh anak-anak dan tawanan. Sabda nabi ‘wanita ini tidak ikut berperang’ berarti kalau ia terlibat dalam peperangan, maka boleh dibunuh. Dan ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abud Daud dari ‘Ikrimah bahwa Nabi SAW. menemukan wanita yang terbunuh dalam perang Hunain, lalu beliau berkata: siapa yang membunuh wanita ini? Salah seorang menjawab; saya menjadikannya sebagai ghonimah ya Rasululloh, lalu saya bawa dia di belakang saya. Tetapi ketika dia melihat kekalahan menimpa kami, dia berusaha mengambil pedang  untuk membunuhku, kemudian aku membunuh wanita itu. Dan Nabi tidak mengingkari perbuatan sahabat tadi. Dari sini, menjadi jelas bahwa wanita jika ikut berperang maka boleh dibunuh, tetapi jika tidak, maka tidak boleh dibunuh. Sementara kakek-kakek yang tidak memberikan andil kepada pihak musuh atau madlorot bagi umat Islam, maka tidak boleh di bunuh karena ada larangan membunuhnya. Seperti hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Turmudzi dari Samroh bahwa Nabi SAW. bersabda; “bunuhlah kakek-kakek dari kaum musyrik dan biarkan hidup remaja-remajanya”. Dan hadits Bukhori yang meriwayatkan haditsnya Abi Musa bahwa Nabi SAW. usai perang Hunain mengutus Abu ‘Amr ke tentara Authas. Lalu dia bertemu dengan Duraid ibn as-Shimah yang berusia lebih dari 100 tahun. Mereka membawa sang kakek untuk dilatih perang oleh Abu ‘Amr, namun kemudian dia malah membunuh sang kakek tadi. Dan Rasululloh tidak mengingkari kejadian itu. Karena itu hadits Anas dimaksudkan kakek-kakek yang tidak berpengaruh sama sekali, yaitu kakek-kakek tua renta seperti dalam hadits diatas.
Semua tindakan yang terdapat teks yang melarangnya, tidak boleh dikerjakan kecuali sebatas apa yang disampaikan teks. Selain itu maka hukumnya adalah boleh. Dan tidak dianggap keji apa yang dilakukan umat Islam terhadap musuhnya, orang kafir selama perbuatan itu dilakukan dalam situasi perang, baik perbuatan itu halal atau haram pada situasi bukan perang. Dan tidak ada pengecualian selain tindakan yang jelas-jelas dilarang oleh nash dalam kondisi perang.

 


Berbohong dalam Perang


Berbohong secara tegas hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an yang qoth’i. Dan keharamanya termasuk persoalan-persoalan agama yang diketahui secara pasti. Tidak ada perbedaan antara berbohong demi kemaslahatan umat Islam, agama atau karena yang lain. Banyak nash menyatakan keharamannya secara umum, mutlak dan pasti serta tidak disertai illat. Allah berfirman; “sesungguhnya yang mengada-ada kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah”(Q.S. Al-Nahl: 105), dan ayat “dan marilah kita bermubahalah/ saling berdoa  kepada Allah dan kita minta supaya laknat ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (Q.S. Al-Imron: 61). Larangan keras, mutlak dan umum ini tidak diillati, dibatasi dan ditakhsis kecuali oleh nash yang lain. Peranan akal hanya untuk memahami nash, dan tidak lebih dari itu. Dan tak ditemukan nash yang menunjukkan penta’lilan atau pentaqyidan, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Tetapi terdapat nash lain yang mentakhsis nash diatas. Dalam nash tersebut ada beberapa kondisi tertentu yang dikecualikan dari keharaman berbohong, dan ini tidak boleh keluar dari yang telah disebutkan dalam beberapa hadits. Kondisi itu adalah; situasi perang, berbicara terhadap sang istri agar dia senang dan untuk mendamaikan orang yang sedang berselisih, karena ada nash yang menjelaskan itu. Ahmad, Muslim dan Abu Daud meriwayatkan dari Ummi Kultsum ibn ‘Aqobah, ia berkata; “saya tidak pernah mendengar Nabi SAW memberikan keringanan terhadap sesuatu dari yang diungkapkan manusia kecuali 3 hal; situasi perang, mendamaikan orang, perkataan sang suami terhadap istrinya dan perkataan istri terhadap suaminya” dari Asma bint Yazid, ia berkata; Rasululloh bersabda; “wahai umat manusia apa yang mendorongmu selalu berbuat kebohongan sebagaimana laron yang berturut-turut masuk kedalam api”.
 Berbohong bagi anak-cucu adam hukumnya haram kecuali 3 hal; seseorang yang berbohong kepada istrinya demi ingin melihat istrinya senang, seseorang yang berbohong dalam situasi perang, karena perang itu penuh muslihat dan seseorang yang berbohong untuk mendamaikan mereka yang sedang bertikai”. Ketiga hal ini adalah pengecualian dari keharaman berbohong dengan nash yang shohih. Maka tidak boleh berbohong selain 3 kasus diatas. Karena tidak ada pengecualian dari keumuman satu nash kecuali yang telah ditentukan oleh dalil. Kata –kata “saat perang” dalam hadits diatas hanya mempunyai makna satu, tidak lebih dari itu. Yaitu situasi perang nyata dalam persoalan perang. Maka sama sekali tidak diperbolehkan berbohong dalam keadaaan bukan perang.
Sementara riwayat yang menyatakan “bahwa Nabi ketika hendak berperang, beliau menyembunyikannya dengan yang lain”, itu yang dimaksud adalah bahwa ketika menginginkan suatu hal, beliau tidak menampakkan hal itu. Seperti saat beliau berperang melalui arah timur, beliau malah bertanya tentang satu hal di arah barat dan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Sehingga orang yang melihat dan mendengarnya menduga ia akan melewati arah barat. Dan tidak ada pernyataan yang tegas bahwa beliau ingin ke barat sementara maksudnya ke timur, artinya beliau tidak memberikan informasi yang berlawanan dengan realita, tetapi ini termasuk dari tauriyah (hal melahirkan diluar yang dimaksudkan). Lebih dari itu, kasus diatas termasuk dalam kondisi peperangan dan  dalam urusan perang, karena pergi menuju medan pertempuran untuk memerangi musuh. Dan itu termasuk khid’ah, tipuan yang terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “perang adalah tipu muslihat”.
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Jabir  bahwa Rasululloh SAW bersabda: siapa yang mau membunuh Ka’b ibn Al-Asyrof? Ia telah menyakiti Alloh dan Rosul-Nya, berkata Muhamad ibn Musallamah, apakah engkau ingin aku membunuhnya wahai Rasululloh? Nabi menjawab; ya. Lalu beliau memberiku izin dan aku berkata; aku telah melakukannya. Lalu Muhamad ibn Musallamah mendatangi Nabi saw. dan berkata; sungguh laki-laki ini —maksudnya adalah Rasululloh saw.— telah membebaniku dan meminta kepadaku sedekah. Diapun mengatakan; “Demi Allah, kami selalu mengawasinya, dan  tidak mau meninggakannya sampai kami melihat apa yang akan terjadi padanya”. Dia terus menerus mengatakan kalimat itu sampai dia meminta izin pada Nabi saw, lalu membunuh Ka’b ibn Al-Asyrof”. Kasus ini terjadi saat perang. Meskipun teks hadits menyatakan bahwa ucapan Muhamad ibn Musallamah adalah benar, dan bukan bohong, tetapi sebenarnya itu adalah ungkapan ta’ridl (sindiran). Dia meminta kepada Nabi saw. untuk dapat mengatakan apapun, dan Nabi saw. memberinya izin mengatakan apapun, termasuk berbohong secara talwih dan tasrih. Dan itu terjadi saat perang.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ahmad dan An Nasa’I dari haditsnya Anas dalam kasus Al-Hajjaj ibn ‘Ilath yang meminta izin pada Rasululloh untuk dapat mengatakan apa yang dia kehendaki demi untuk menyelamatkan hartanya dari kaum Makkah, lalu Nabi memberinya izin dan menginformasikan kepada kaum Makkah bahwa kelompok Khaibar telah mengalahkan umat Islam, itu karena dianggap dalam kategori perang, karena penduduk Makkah sedang terjadi kontak senjata dengan umat Islam. Al-Hajjaj ibn ‘Ilath adalah orang Islam. Dia berjalan diantara orang-orang kafir yang sedang melakukan kontak senjata dengan umat Islam, maka boleh berbohong kepada mereka. Karena, diperbolehkannya berbohong tidak hanya terbatas pada mereka yang ikut berperang, tetapi juga boleh bagi umat Islam lainnya untuk berbohong kepada para musuh, orang-orang kafir yang sedang berperang dengan umat Islam. Sementara hadits yang diriwayatkan At-Thobroni dalam kitab Al-Ausath “berbohong semuanya dosa kecuali yang bermanfaat bagi orang Islam dan yang bisa digunakan untuk menjaga diri dari hutang”. Riwayat Al-Bazzar menyebutkan,             berbohong itu sudah dicatat kecuali yang bermanfaat bagi orang Islam dan bisa melindunginya. berkata pemilik kitab Majma’ul zawaid: dalam sanad hadits diatas terdapat nama Rusydin dan Abdur Rahman ibn Zayyad ibn An’am. Keduanya lemah, dan haditsnya menjadi do’if  (lemah). Dengan begitu hadits tersebut ditolak dan tidak bisa dijadikan dalil.
Dari uraian diatas, berbohong itu semuanya haram, dan tidak diperbolehkan kecuali dalam 3 hal; saat perang, mendamaikan orang lain, perkataan seseorang terhadap istrinya dan perkataan istri terhadap suaminya. Selain itu secara tegas haram, karena dinyatakan dalam al-Qur’an dengan menggunakan bahasa yang ‘Amm yang mencakup seluruh jenis bohong, yang kemudian muncul hadits yang mentakhsis ayat diatas pada selain kondisi perang, mendamaikan, perkataan suami kepada istrinya dan sebaliknya. Ketiganya ini dikecualikan dari keharaman berbohong. Maka hanya dalam 3 kasus itulah, berbohong menjadi halal, selain itu tetap hukumnya haram. Apalagi hadits Nabi secara eksplisit menyatakan pengecualian itu terbatas hanya pada 3 hal diatas, “berbohong semuanya haram bagi anak cucu Adam kecuali dalam 3 permasalahan. Dan juga hadits “saya tidak pernah mendengar Nabi SAW memberikan keringanan terhadap sesuatu dari yang diucapkan manusia kecuali 3 hal; perang..” Pembatasan ini berarti bahwa selain yang disebutkan hukumnya adalah haram. Semua hadits diatas terjadi dalam kondisi perang. Selain itu berarti hukumnya adalah hadits dlo’if yang harus ditolak dan tidak boleh dijadikan argumen.
Tauriyah selain saat perang, jika dipahami oleh pendengar sebagai yang berlawanan dengan fakta, seperti penggunaan kalimat yang tidak menunjukkan pada fakta dan lainya baik secara etimologi mauapun terminologi dan itu diyakini kedua belah pihak; pembicara dan pendengar, maka itu adalah kebohongan yang tidak diperbolehkan. Contohnya seperti satu golongan yang membuat terma tertentu, kemudian mereka ungkapkan pada orang yang tidak mengerti istilah itu, atau itu adalah istilah khusus bagi pembicara yang tidak dimengerti oleh si pendengar, maka itu adalah kebohongan. Sebab, meskipun bagi pembicara itu adalah tauriyah, tetapi pendengar memahaminya sebagai ucapan yang bertabrakan dengan realita, maka hal itu tdiak bisa dikategorikan sebagai tauriyah. Berbeda jika lafadz tersebut bisa dipahami oleh realita dan lainnya, maka itu termasuk dari seni bahasa (balaghoh), dan itu bukan suatu kebohongan. Seperti ungkapan orang Arab pada seseorang yang bermata satu, “mudah-mudahan kedua matanya sama”, kalimat ini bermakna ganda, bisa mendoakan kesembuhannya (kedua matanya bisa melihat), tetapi bisa pula berarti mendoakan jelek (kedua matanya menjadi buta).
Tauriyah adalah kalimat yang mengandung makna ganda;. Makna dekat (mudah ditangkap) dan makna jauh (sulit dijangkau). Dan pembicara menghendaki makna yang jauh, sementara pendengar memahaminya makna yang dekat. Maka dalam kasus ini, meskipun pendengar menangkap makna yang tidak dimaksud pembicara, tetapi ia tidak memahaminya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan realita. Nabi pun pernah melakukan tauriyah. Dalam Shohih Bukhori disebutkan bahwa Anas ibn Malik RA berkata; berjalan Nabi Allah SAW menuju Madinah, beliau mengikuti Abu Bakar, Abu Bakar adalah seorang kakek yang terkenal, sementara Nabi Allah SAW seorang pemuda yang belum dikenal. Anas berkata: lalu salah seorang menemui Abu Bakar dan bertanya: wahai Abu Bakar, siapakah pemuda yang bersamamu? Lalu Abu Bakar menjawab; dialah yang menunjukkanku jalan. Anas berkata: orang mengira bahwa yang dimaksud adalah jalan dalam arti yang sebenarnya, meskipun maksud Abu Bakar adalah jalan kebaikan.


Spionase


Spionase adalah menyelusuri berita-berita. Disebutkan, seseorang memata-matai berita, ketika Ia mengamatinya. Artinya ketika ia melakukan penyelidikan terhadap berita, berarti ia sedang memata-matainya. Ia adalah seorang mata-mata baik pada hal-hal yang terbuka atau yang tersembunyi. Jadi  data-data yang akan diteliti, tidak harus data-data yang masih tersembunyi atau rahasia, sehingga disebut dengan spionase, karena spionase adalah meneliti dan mengamati data-data baik yang tersembunyi ataupun yang nyata, yang bersifat rahasia maupun bukan. Adapun ketika seseorang melihat hal-hal secara alamiah tanpa penelitian dan tanpa pengamatan terhadap data atau mengumpulkan data untuk disebar luaskan atau juga berkepentingan dengan data-data itu, maka semuanya tidak dianggap sebagai spionase selama tidak ada pengamatan dan penelitian terhadap data-data itu dan tidak ada unsur pengawasan dalam tindakanya itu. Sehingga meskipun ia telah meneliti data-data, tapi dengan tujuan-tujuan diatas, maka itu belum dikategorikan sebagai spionase. Karena pengamatan terhadap berita-berita yang dianggap sebagai spionase itu melalui penelitian dengan tujuan menguak data tersebut.  Berbeda dengan mereka yang mengamati berita dengan tujuan mengumpulkannya, ia tidak akan melakukan penelitian secara mendalam untuk mengetahui lebih jauh, tetapi hanya sebatas mengumpulkan data yang kemudian disebar luaskan kepada orang lain. Dengan begitu, orang-orang yang meneliti berita dan mengumpulkannya seperti koresponden sebuah surat kabar atau media laiinya tidak disebut sebagai mata-mata, kecuali kalau semua tindakanya adalah memang untuk memata-matai dan menjadikan pekerjaan koresponden sebagai alat semata. Maka dalam kasus ini ia dianggap sebagai mata-mata, bukan karena ia adalah koresponden yang mengamati berita-berita, tetapi karena pekerjaannya adalah memata-matai dan statusnya sebagai koresponden hanya sebagai alat untuk menutup-nututpi keberadaannya, seperti yang banyak terjadi pada sekian banyak koresponden, terutama orang-orang kafirnya. Sementara para staff yang bertugas di lembaga penelitian dan yang sejenis, yakni orang-orang yang memang bertugas mengamati berita-berita yang masuk, itu disebut dengan mata-mata atau jasus, karena kegiatannya adalah memata-matai.
Itulah realita spionase dan pelakunya. Sementara hukumnya itu berbeda sesuai  objek pengintaiannya. Jika objeknya adalah umat Islam atau ahl dzimi yang mendapat hak lindung, maka hukumnya haram dan tidak dibolehkan. Sementara jika objek pengintaiannya adalah kafir harbi, baik secara hakikat mauapun secara hukum, maka boleh bagi umat Islam untuk melakukan mata-mata, dan wajib bagi khalifah.
Kegiatan spionase terhadap umat Islam dan mereka yang mendapat jaminan negara Islam dihukumi haram berdasarkan ayat Al-qur’an yang tegas (shorih). Allah berfirman: “hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari kesalahan-kesalahan orang lain” (Q.S Al-Hujurat; 12). Dalam ayat ini, Allah secara tegas melarang melakukan spionase, dan larangan ini bersifat umum, meliputi semua jenis spionase, baik demi kepentingan sendiri atau orang lain, baik untuk negara, perorangan atau kelompok, baik dilakukan seorang hakim atau terdakwa (mahkum). Jadi pembahasan ini sifatnya umum yang mencakup semua yang termasuk spionase, dan semuanya adalah haram.
Dari sini muncul pertanyaan, bolehkan orang Islam bekerja dalam lembaga penyelidikan, lembaga inteljen, atau lembaga-lembaga lainnya yang seluruh atau sebagian kegiatannya mengandung unsur spionase? Jawabannya tergantung objek sasarannya; kalau objek dari kegiatannya itu adalah umat Islam atau mereka yang mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintahan Islam (dzimmi), maka hukumnya haram berdasarkan ayat diatas. Dan larangan ini berlaku tidak hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi ahl dzimmi, karena mereka tetap dituntut untuk mengaplikasikan hukum-hukum Islam kecuali hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan dan ritual ibadah, dan spionase tidak termasuk bagian akidah dan ibadah.
Sementara jika kegiatan itu ditujukan pada orang-orang kafir harby  —baik mereka yang meminta jaminan keamanan (must’min) atau yang membuat perjanjian (mu’ahid)—  yang memasuki wilayah kita maka hukumnya boleh. Karena kita diperbolehkan melakukan spionase terhadap orang-orang kafir harby, baik berdasarkan kenyataan bahwa mereka adalah kafir harby atau ditetapkan berdasarkan hukum, baik di wilayah mereka atau di wilayah kita. karenanya keberadaan biro penelitian, penyelidikan atau yang sejenis bukanlah suatu hal yang haram, bahkan wajib. Yang tidak boleh adalah melakukan spionase terhadap umat Islam dan ahl dzimmi. Karenanya, pemerintah tidak boleh membuka biro atau departemen yang melakukan praktek spionase terhadap umat Islam dan rakyat lainnya, bahkan hukumnya haram. Dan tidak bisa dibenarkan demi kepentingan negara, maka diperlukan melakukan pengawasan terhadap seluruh aktifitas rakyat agar bisa terhindar dari konspirasi dan dari tindak kriminal. Sebab hal itu bisa didapat dari perangkat negara polisi, dan bukan  menggunakan mata-mata. Karena, apa yang ditetapkan akal akan manfaat atau tidaknya suatu tindakan tidak bisa dijadikan dasar bahwa tindakan itu haram atau tidak, tetapi Syara’lah yang mempunyai otoritas untuk menentukan maslahatnya suatu hal. Ketika al-Alqur’an menetapkan hukum haram pada suatu hal, maka tidak ada celah membicarakan kemaslahatan didalamnya membalik statusnya menjadika halal, karena tak ada yang lebih berharga ketika dihadapkan dengan nash al-Qur’an yang shorih. Dalam ayat disebutkan “jangan melakukan tindakan spionase”, artinya larangan spionase, dan tak ada celah untuk mengalihkan pada selain makna yang ditunjukkan oleh ayat diatas dengan bahasanya yang lugas dan tegas. Dan tidak ditemukan dalil satupun yang mentakhsis atau mengecualikan  sesuatu dari keumuman ayat diatas. Karenanya ayat diatas tetap pada keumumannya, yakni spionase terhadap rakyat hukumnya haram.
Ketentuan diatas jika objeknya adalah umat Islam dan ahl dzimm. Tetapi tindakan spionase umat Islam dan ahl dzimmi terhadap orang kafir, maka hukumnya adalah boleh bagi umat Islam, bahkan bagi pemimpin negara menjadi wajib. Dalam buku sejarahnya Ibn Hisyam disebutkan bahwa Nabi SAW mengutus Abdullah ibn Jahsy dan mengutus 8 kabilah dari kaum muhajirin bersamanya. Nabi memberikan kepadanya sebuah surat yang tidak boleh dilihat sebelum melakukan perjalanan dua hari. Titah itu ia jalankan, dan ia tidak mencurigai salah seorang dari sahabatnya. Setelah melakukan perjalanan selama dua hari, Abdullah ibn Jahsy membuka dan membaca surat yang isinya adalah; “kalau kamu membaca suratku, maka teruslah berjalan sampai kamu tiba di sebuah pohon kurma antara Makkah dan Thaif, maka disana intailah gerak-gerik kaum Quraisy dan sampaikan kepada kami”. Dalam  surat itu, Rasululloh memerintahkan Abdullah ibn Jahsy untuk memata-matai kaum Quraisy yang kemudian dilaporkan kepada beliau. Dalam hal ini Rasululloh memberikan kebebasan kepada para sahabat Abdullah untuk mengikutinya atau tidak, sementara pada Abdullah agar tetap melakukan pengintaian itu. Dengan kata lain, Rasululloh meminta kepada semuanya melakukan spionase, tetapi beliau menitik beratkan pada Abdullah, sementara pada yang lainnya beliau berikan kebebasan. Ini menunjukkan bahwa tuntutan terhadap pemimpin golongan itu sifatnya mengikat (jazim atau pasti), sementara bagi yang lainnya tidak mengikat. Dan itu menunjukkan bahwa kegiatan spionase umat Islam terhadap musuh adalah boleh dan tidak diharamkan, sementara bagi pemerintah maka hukumnya adalah wajib, karena pengintaian terhadap musuh merupakan hal yang mutlak diperlukan oleh tentara umat Islam. Sehingga tidaklah sempurna membentuk pasukan tentara tanpa adanya badan intelejen yang mengawasi musuh. Dengan begitu keberadaan badan tersebut mutlak diperlukan, masuk dalam kategori “sesuatu yang menjadi kesempurnaan hal yang wajib adalah wajib”.
Itu adalah hukum spionase dari segi haram, boleh atau wajib. Sementara hukuman bagi mata-mata yang melakukan spionase demi kepentingan orang kafir ditentukan berdasarkan intensitas dan agamanya. Kalau dia seorang kafir harby, maka hukumannya adalah hukuman mati, dan tidak ada hukum lain. Ia dibunuh hanya karena diketahui sebagai mata-mata, karena ada hadits yang diriwayatkan Al-Bukhori dari Salmah ibn Al-Akwa’ berkata: Seorang mata-mata dari orang musyrik menemui Nabi yang sedang dalam perjalanan, ia duduk diantara para sahabat sambil bercakap-cakap, lalu pergi secara diam-diam. Lalu Nabi berkata: cari dan bunuh dia! Maka aku mendahului yang lain untuk mendapatkan dia, lalu aku membunuhnya, kemudian Rasululloh saw. memberikan barang rampasannya kepadaku”. Dan versi Muslim dari riwayat ‘Ikrimah “maka dia mengeluarkan tali dari kantongnya dan mengikat untanya. Lalu dia makan bersama kaum lalu dia mulai mengamati. Dan kami dalam keadaan lemah dan lelah, sebagian dari kami berjalan kami kaki, ketika dia keluar dengan kencang” dan sebuah riwayat Abi Na’im dalam al-Mustakhroj, melalui Yahya al-Hamani dari Abi Al-‘Amis “ kejar dia!ia adalah mata-mata”. jelaslah bahwa dengan hanya didapati ia seorang mata-mata, Nabi berkata; “cari dan bunuh!” sebagai indikasi bahwa perintah itu pasti, dan hukumannya hanya satu, dibunuh. Dan ini berlaku pada semua orang kafir harby, baik mu’ahid (yang mempunyai perjanjian dengan kita), atau musta’min (orang kafir yang minta suaka), atau bukan keduanya. Semuanya adalah kafir harby yang hukumannya adalah mati, ketika didapati ia sebagai mata-mata.
Sementara kafir dzimmi yang menjadi mata-mata, maka ketika pertama kali masuk sebagai ahli dzimmah disyaratkan untuk tidak melakukan mata-mata, dan kalau melakukannya akan dibunuh, hukumannya adalah dibunuh sesuai dengan perjanjian. Tetapi kalau tidak ada perjanjian diatas, maka bagi khalifah boleh menetapkan vonis mati ketika dia melakukan mata-mata, karena ada hadits yang diriwayatkan Ahmad mengenai Furraat ibn Hayyan “bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuhnya, dan dia adalah seorang dzimmi dan mata-mata sekaligus sekutunya Abi Sufyan. Lalu ketika dia melewati kelompok orang-orang Anshor, dia berkata; “aku orang Islam”, para sahabat berkata; “dia mengaku sebagai orang Islam”, lalu Rasululloh bersabda; “diantara kalian terdapat orang-orang yang kami bersandar pada  keimanannya, diantaranya adalah Furaat ibn Hayyan”. Secara tegas hadits ini menyatakan bahwa Rasululloh memerintahkan membunuh mata-mata dzimm. Namun begitu, vonis mati itu sifatnya jawaz bagi seorang pemimpin dan bukan wajib seperti halnya yang diberlakukan pada mata-mata kafir harby. Dalil bahwa vonis itu sifatnya jaiz, bukan wajib adalah tidak qorinah (indikator) dalam hadits diatas yang mengarah pada makna wajib, dan bahkan sebaliknya, terdapat qorinah yang menunjukkan makna tidak wajib, yaitu teks hadits yang menyebutkan bahwa nabi tidak langsung segera membunuh Furaat dengan hanya diketahui ia sebagai mata-mata. Ini berbeda dengan kasusnya kafir harby dalam hadits Salmah ibn Al-Akwa’, dimana nabi memerintah untuk membunuhnya hanya karena ia diketahui sebagai mata-mata, dan berkata pada para sahabat “carilah kalian semua dan bunuhlah dia”. Sementara bukti bahwa Nabi tidak segera memberikan vonis mati, karena Nabi sudah mengetahuinya, dan itu tercermin dari teks hadits “dia seorang dzimmi dan mata-mata”, artinya setatusnya sudah diketahui, dan juga teks hadits “diantaranya adalah Furat ibn Hayyan”. Disamping itu Rasululloh mengatakan “cari dan bunuh” pada kasus kafir harby, sementara dalam kasus dzimmi, beliau memerintahkan untuk membunuhnya, tapi tidak menyuruh umat Islam untuk mencarinya. Jelaslah perbedaan diantara keduanya; vonis hukuman mati terhadap kafir harby sifatnya wajib, sementara dzimmi tidak. Ia boleh divonis mati dan boleh tidak.
Bagi  orang muslim yang melakukan mata-mata untuk pihak musuh, maka ia tidak divonis mati, karena Rasululloh pernah memvonis mati pada orang dzimmi, tapi setelah dipastikan dia telah masuk Islam, beliau mencabut vonis itu. Ini terjadi ketika Rasululloh memberikan perintah membunuh Furat ibn Hayyan, seorang mata-mata dzimmi, tetapi  setelah para sahabat mengatakan, “ya Rasululloh, ia beranggapan dirinya seorang muslim”, Nabi berkata: “diantara kalian terdapat orang-orang yang kami bersandar pada  keimanannya”. Jadi illat pencabutan vonis itu adalah statusnya sebagai muslim. Imam Bukhori meriwayatkan: dari Ali ibn Abi Tholib RA, ia berkata: Rasululloh mengutus aku, Zubair dan Al-Miqdad ibn Al-Aswad, beliau berkata; pergilah kalian sampai telaga Khokh, disana ada seorang perempuan yang membawa sepucuk surat, maka ambillah surat itu!. Lalu kami berangkat dengan cepat. Dan sampailah kami di telaga itu. Tampaklah seorang perempuan, lalu kami berbicara padanya; keluarkan surat itu!, dia menjawab; tak ada surat padaku. Lalu kami berkata lagi; keluarkan surat itu atau tanggalkan baju!, lalu dia mengeluarkan surat itu dari gelungan rambut. Kemudian kami menyerahkan surat itu pada Nabi SAW yang isinya adalah; dari Hatib ibn Abi Balta’ah untuk masyarakat Ahli Makkah yang menginformasikan sebagian urusan Rasululloh SAW. Lalu Nabi berkata; apa ini wahai Hatib? Dia menjawab; wahai Rasululloh, tenanglah dulu, jangan terburu-buru. Saya adalah orang yang lekat dengan masyarakat Quraisy, dan bukan bagian dari Quraisy. Dan orang yang bersama tuan, sahabat muhajirin, mempunyai kerabat yang tinggal di Makkah. Mereka menjaga keluarga dan harta bendanya. Maka saya ingin, ketika tidak lagi bersama mereka, untuk mengulurkan tangan menjaga kerabatku. Dan saya tidak melakukan perbuatan kufr, murtad, dan senang dengan kekufuran setelah saya masuk Islam. kemudian Rasululloh SAW berkata; “dia telah meyakinkan kalian semua”. Umar RA berkata; wahai Rosul, biarkan aku memenggal lehernya orang munafik ini, Rasululloh berkata: dia telah menyaksikan perang Badr, tahukah kamu, semoga Allah memberikan anugerah kepada ahl Badr, lalu Nabi berkata; lakukanlah terserah kalian, aku telah mengampuni kalian semua”.  Dalam hadits ini disebutkan bahwa Hatib telah terbukti telah memata-matai kaum muslimin, dan Rasululloh tidak membunuhnya. Ini menunjukkan bahwa mata-mata muslim tidaklah di jatuhi hukuman mati. Dan tidak bisa dikatakan bahwa hal ini khusus pada ahli Badr, melihat hadits diillati dengan statusnya sebagai Ahl Badr. Karena, meskipun terdapat lafaz yang mengindikasikan penta’lilan, tetapi haditsnya Ahmad mengenai kasus Furat ibn Hayyan  yang tidak dibunuh karena ia telah menjadi seorang muslim, menafikan sifat illiyah (sababiyah) pada hadits ini, mengingat Furat ibn Hayyan tidak termasuk Ahli Badr. Dan juga tidak boleh dijadikan alasan bahwa dalam hadits Furat ibn Hayyan versi Abi Daud terdapat rawi Abu Hammam ad-Dalal Muhamad ibn Muhabbib yang haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah karena ia meriwayatkan dari Sufyan as Tsauri. Karena, Ahmad meriwayatkan hadits itu dari Sufyan Basyar ibn as-Sirry al-Bishri, dan ia termasuk orang yang telah disepakati keabsahan haditsnya oleh Bukhori dan Muslim. Jadi hadits itu bisa dijadikan hujjah bahwa mata-mata muslim tidak dihukum mati, tetapi dihukum penjara atau lainnya sesuai kebijakan qodli atau khalifah.
Ketentuan diatas, berlaku pada spionase terhadap komunitas muslim dan dzimmi untuk kepentingan musuh kafir harby. Tetapi kalau tidak untuk kepentingan musuh, mungkin untuk kepentingan spionase semata, atau kepentingan kaum muslimin, atau kepentingan negara, maka, disamping hukumnya haram, pelaku tetap dikenai ta’zir, dan syara’ tidak menetapkan hukuman tertentu.


Genjatan Senjata

Melakukan genjatan senjata antara kaum muslimin dan kafir hukumnya adalah jawaz, karena Rasululloh pernah melakukan itu dengan suku Quraisy tahun Hudaibiyah. Namun dibolehkannya genjatan senjata harus dilandasi kemaslahatan yang berkaitan dengan jihad atau penyebaran dakwah. Hal itu karena Rasululloh sebelum berangkat ke Hudaibiyah mendapatkan kabar bahwa terjadi kesepakatan antara kaum Khaibar dan kaum Makkah untuk memerangi umat Islam. Sekembalinya dari Hudaibiyah, beliau berinisiatif menyerang Khaibar dan mengutus beberapa utusan kepada para raja dan pemimpin, menyeru kepada mereka untuk masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa genjatan senjata Hudaibiyah demi kepentingan jihad dan penyebaran dakwah. Karena, dengan berdamai dengan suku Quraisy, beliau bisa berkonsentrasi untuk memerangi Khaibar dan menyebarkan dakwah terhadap para pemimpin dan kepala suku. Jika tidak ada unsur kemaslahatan seperti diatas, maka tidak diperbolehkan melakukan perdamaian, karena hal itu berarti meninggalkan peperangan yang diwajibkan, dan itu tidak boleh kecuali dalam kondisi tertentu untuk melakukan strategi. Dengan begitu, peperangan lebih terarah. Allah berfirman; “janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kalianlah yang di atas dan Allah (pun) beserta kalian, dan Dia sekali-kali tidak mengurangi (pahala) amal-amal kalian”(Q.S. Muhamad: 35).
Ketika sudah dipastikan ada unsur kemaslahatan untuk genjatan senjata, maka harus ditentukan lamanya masa genjatan senjata. Tidak boleh tanpa menentukan batas waktu. Karena, genjatran senjata sifatnya temporal. Dengan tanpa menyebutkan jangka waktu, genjata senjata dianggap tidak sah, karena itu berarti melanggengkan genjatan senjata. Dan itu tidak boleh terjadi, sebab akan menghalangi jihad yang sifatnya wajib. Penetapan jangka waktu termasuk syarat sahnya genjatan senjata. Jika tidak ada, maka perjanjian itu menjadi batal. Dalam perjanjian Hudaibiyah telah ditentukan jangka waktunya.
Ketika telah terjadi kesepakatan genjatan senjata dan sah, maka kita harus menahan diri melakukan penyerangan terhadap mereka dan menjalankan kesepakatan ini sampai habisnya masa, atau mereka melanggar kesepakatan itu. Pelanggaran itu bisa dengan pernyataan mereka, penyerangan terhadap kita, membunuh seorang muslim atau dzimmi di wilayah kita, atau melakukan tindakan yang menyalahi syarat-syarat genjatan senjata dan tindakan itu tidak diingkari oleh yang lain, baik dengan ucapan atau perbuatan. Kalau itu terjadi, maka batallah perjanjian damai itu. Demikian pula, ketika negara khawatir akan penghianatan mereka melakukan tindakan-tindakan yang merusak kesepakatan itu, karena ada indikasi-indikasi kuat yang mengarah kesana. Maka ini bisa dikategorikan melanggar perjanjian damai itu. Dan jika itu terjadi, maka boleh kita menyerang mereka kapanpun, siang atau malam. Karena dengan melanggar kesepakatan, berarti mempersilahkan kaum muslimin menyerang mereka dan mencabut perjanjian damai dengan mereka. Karena, Rasululloh saw. sepakat berdamai dengan suku Quraisy. Tetapi kemudian dilanggar sendiri oleh mereka, maka halal bagi beliau apa yang sebelumnya dilarang. Lalu beliau menyerang mereka dan menaklukkan kota Makkah.
Genjatan senjata adalah perjanjian temporal, akan selesai dengan berakhirnya masa atau dengan merusak perjanjian itu. Allah berfirman: “maka, selama mereka berlaku lurus terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka” (Q.S. At-Taubah; 07), juga firman Allah, “dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (Q.S. Al-Anfal; 58), dan juga “jika mereka merusak sumpah (janjinya) sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti” (Q.S. At-Taubah; 12). Ketika musuh merusak dan tidak mengindahkan kesepakatan dalam tindakan-tindakanya bersama kita, berarti mereka telah menghalalkan kepada kita. Darah dan harta mereka menjadi halal dan kita wajib memeranginya, kitapun wajib membalasnya saat mereka menyerang kita, kita cabut perjanjian damai saat mereka melanggarnya.

 


Persekutuan Bala tentara


Al-Half secara bahasa adalah bersekutu dan bersahabat. Disebutkan; haalafahu man ‘aahadu. Namun lafdz al-half secara khusus telah menjadi terma yang sering dipakai dalam persekutuan tentara. Persekutuan tentara adalah kesepakatan-kesepakatan antara dua negara atau lebih, dimana tentara masing-masing bergabung melawan musuh yang sama atau melakukan kerjasama dalam bidang militer, baik dengan saling memberikan informasi seputar kemiliteran atau pertukaran senjata. Atau jika salah satunya sedang berperang para sekutu itu berunding untuk apakah ikut langsung dalam peperangan itu atau tidak sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang mereka.sepakati. Persekutuan ini bisa berupa persekutuan dua arah yang melibatkan dua negara, tiga atau lebih. Akan tetapi memusuhi salah satu dari negara yang bersekutu, tidak berarti memusuhi semua anggota persekutuan. Tetapi jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu dari anggota sekutu, maka negara itu melakukan perundingan antara dia dengan negara-negara sekutunya. Maka demi kepentingan keduanya, negara sekutu bersama negara tertindas, boleh menyatakan perang kepada negara agresor atau tidak menyatakan perang. Ada pula persekutuan sifatnya jama’iyyah, dimana memusuhi salah satu anggotanya, berarti musuh bagi seluruh anggota. Jika salah satu negara sekutu berperang dengan negara lain, maka sekutu yang lain bergabung melawan negara tersebut. Semua bentuk persekutuan ini; tsunaiyyah, jama’iyyah atau yang lainnya, mengharuskan bala tentara  untuk berperang bersama sekutunya dalam rangka menjaga eksistensi sekutunya itu, baik persekutuan itu mempunyai beberapa pemimpin atau dibawah satu pimpinan.
Persekutuan diatas batal dengan sendirinya, tidak sah secara syara’ dan tidak bisa mengikat umat, meski dilakukan oleh khalifah umat Islam. Hal demikian   menyalahi syara’, karena menetapkan orang Islam berperang dibawah kekuasaan dan panjinya orang kafir, dan juga berperang demi mempertahankan eksistensi orang kafir. Semua itu adalah haram. Maka tidak boleh orang Islam melakukan peperangan kecuali dibawah kendali dan panjinya. Ada larangan berperang di bawah panji dan kendali orang kafir dalam hadits shohih yang diriwayatkan Ahmad dan an-Nasa’I dari Anas. Anas berkata; berkata Rasululloh SAW; “janganlah minta pertolongan dengan apinya orang-orang musyrik”, artinya jangan jadikan api mereka sebagai penerang kalian. Lafadz an-Nar adalah kinayah dari harb.(perang). Dikatakan awqoda naarul harbi, mengobarkan api peperangan, naarut tahwil adalah api, dimana orang Arab jahiliyyah mengobarkan api ketika bersumpah. Hadits diatas membuat kinayah dari perang bersama orang musyrik dan mengambil sarannya. Dipahami dari hadits itu larangan berperang bersama orang musyrik.
Selain itu, persekutuan berarti menjadikan orang kafir berperang bersama umat Islam dengan tetap menjaga eksistensi mereka. Artinya mereka berperang atas nama negara, bukan atas nama perorangan. Nabi melarang meminta pertolongan kepada orang kafir sebagai eksistensinya. Ada haditsnya ad-Dlahak RA “bahwa Rasululloh SAW keluar pada waktu perang Uhud, tiba-tiba dia melihat batalion yang cakap, rawi berkata; atau yang kasar (dengan menggunakan lafadz khosyna, bukan hasnaa’). Lalu Nabi berkata: siapa mereka? Para sahabat menjawab; mereka Yahudi ini, dan itu. Nabi berkata lagi; kami tidak meminta bantuan pada orang-orang kafir”. Al-Hafiz Abu Abdillah menceritakan, dia menyusun sanad hadits pada Abi Hamid As-Sa’idy, dia berkata; “Rasululloh SAW keluar, setelah beliau meninggalkan lembah Wada’, beliau bertemu dengan satu batalion, beliau bertanya; siapa mereka? Sahabat menjawab; mereka adalah Bani Qoinuqo’, yaitu kabilahnya Abdullah ibn salam. Nabi bertanya lagi; apakah mereka telah masuk Islam? dijawab; mereka tetap pada agamanya, Nabi berkata; katakan pada mereka untuk kembali, kami tidak memohon bantuan pada orang-orang musyrik”. Rasululloh saw. menolak meminta bantuan pada orang Yahudi. Dan beliau mengatakannya dengan menggunakan sighot umum “kami tidak meminta bantuan pada orang-orang kafir, kami tidak memohon bantuan pada orang-orang musyrik”. Dan tidak boleh dikatakan bahwa kita boleh meminta bantuan pada orang-orang kafir, dengan alasan Rasululloh pernah menetapkan Qozman untuk berperang bersamanya dalam perang Uhud, padahal ia adalah orang kafir, Juga pernah meminta bantuan pada orang-orang Yahudi Khaibar dalam peperangannya. Karena, meminta bantuan pada orang kafir hukumnya boleh, jika mereka atas nama pribadi dan berada dalam panji Islam. Dan mereka yang telah diminta bantuannya oleh Rosul itu adalah atas nama pribadi. Karenanya ketika muncul umat Yahudi Bani Qoinuqo’ atas nama golongan yang memiliki pemimpin sendiri, ibarat negara yang telah melakukan perjanjian dengan Nabi, datang untuk ikut berperang bersama Nabi, mereka ditolak oleh Nabi. Dengan begitu tidak diperbolehkan meminta bantuan bala tentara dibawah komando orang-orang kafir.
Imam Sarkhosi dalam kitab Al-mabsuth fi kitabis Sairi menyebutkan; dari hadits Ad-Dlahak RA bahwa Rasululloh SAW keluar pada perang Uhud, lalu menemukan satu batalion yang cakap —atau rawi berkata yang kasar—lalu Nabi bertanya; siapa mereka? Dijawab oleh sahabat; mereka adalah Yahudi ini dan itu, lalu Nabi berkata; “kami tidak meminta bantuan orang-orang kafir”, penafsirannya adalah mereka merasa besar dengan tidak mau berperang di bawah bendera umat Islam, dan kami, hanya mau meminta bantuan mereka jika mereka mau berada di bawah panji Islam. kalau mereka tetap menggunakan panji mereka sendiri, maka kami tidak akan meminta bantuan mereka. Dan ini adalah ta’wilnya hadits yang menyatakan bahwa Nabi bersabda; “janganlah meminta penerangan dari apinya orang-orang musyrik”, hadits diriwayatkan Ahmad dan An-Nasa’I melalui Anas. Nabi SAW berkata; “Saya bebas dari orang Islam yang berperang bersama orang kafir” artinya jika orang Islam tadi berada dalam panji mereka.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa persekutuan militer dengan negara-negara kafir adalah haram secara syara’ dan tidak sah. Bahwa orang Islam tidak boleh mengalirkan darahnya (berperang) demi membela kafir harby, tetapi hendaknya ia berperang agar mereka mau masuk Islam. Sementara kalau niatnya adalah agar mereka keluar dari kekafiran menuju kekafiran yang lain, maka hukumnya adalah haram.


Perjanjian yang Diperbolehkan


Negara Islam boleh melakukan perjanjian- perjanjian damai, genjatan senjata, bertetangga yang baik, perjanjian kebudayaan, perjanjian dagang dan ekonomi dan sejenisnya, perjanjian-perjanjian yang mendukung kepentingan penyebaran dakwah Islam dengan syarat-syarat yang diakui oleh Islam. jika perjanjian-perjanjian itu terdapat syarat-syarat yang tidak diakui Islam, maka batallah syarat yang tidak sah dalam Islam, dan perjanjian masih tetap berjalan pada syarat-syarat yang lainnya. Karena, setiap syarat yang bertentangan dengan Islam, maka dengan sendirinya adalah batal, meskipun telah disetujui khalifah. Ketika terjadi sengketa perang antara negara Islam dengan musuhnya, maka boleh melakukan perjanjian gencatan senjata dan perjanjian damai sesuai dengan kondisi saat itu dan kepentingan dakwah. Daulah Islamiyah boleh meningkatkan hubungan bilateral dengan negara tetangga atau negara yang berjauhan, ketika ada kemaslahatan dan peluang untuk penyebaran dakwah. Sebab, ketika terdapat hubungan baik dengan orang-orang, terkadang ditemukan sarana untuk menyampaikan dakwah kepada mereka, dan bisa membentuk opini umum tentang Islam di kalangan mereka. Dengan perjanjian itu pula, dapat menangkal bahaya yang besar atau menembus musuh yang lain. Karenanya,  daulah Islamiyah boleh meningkatkan hubungan baik dengan negara tetangga, seperti halnya boleh melakukan perjanjian untuk tidak saling menyerang dalam jangka waktu tertentu dengan negara yang berjauhan, ketika ada peluang untuk menyebarkan dakwah Islam, dapat memproteksi umat Islam atau manfaat-manfaat lain bagi Islam dan umatnya. Rasululloh SAW melakukan perdamaian dengan Bani Mudlij dan Bani Damroh untuk mengamankan jalan yang dilalui tentara Islam ketika menyerang musuh-musuhnya, begitu pula beliau berdamai dengan Yohanes ibn Ru’yat dalam perang Tabuk untuk mengamankan batas-batas negara dari arah Romawi atas batas-batas wilayah Syam. Ketika ada golongan dari kaum harbi menginginkan perdamaian dengan umat Islam dalam jangka waktu tertentu tanpa syarat, maka jika khalifah melihat positif bagi umat Islam karena kekuatannya bertambah atau alasan yang lain, maka dia boleh menerima tawaran itu, karena firman Allah, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya” (Q.S. Al-Anfal; 61), dan juga karena Nabi telah melakukan perdamaian dengan ahli Makkah pada tahun Hudaibiyah dalam jangka waktu tertentu. Hal itu dilakukan, karena Nabi mendengar ada kesepakatan antara Khaibar dan Makkah untuk menyerang umat Islam, lalu Nabi berdamai dengan suku Quraisy dan menyerang Khaibar.
Kebijakan melakukan atau tidak melakukan perjanjian-perjanjian yang diperbolehkan, diserahkan pada Kebijakan dan ijtihadnya khalifah. Karena ia memiliki pengawas yang terus mengawasi bagaimana kekuatan umat Islam tetap terjaga. Bisa jadi, dalam sebuah perjanjian, khalifah melihat hal yang positif bagi umat Islam ketika orang-orang kafir mempunyai kekuatan, atau khalifah ingin mengetahui lebih dalam keadaan wilayah perang (daarul harbi) supaya bisa mengindentifikasi golongan yang mempunyai kekuatan besar. Maka tak ada cara lain kecuali berdamai dengan mereka. Masalah di atas diserahkan pada kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan kemaslahatan bagi umat Islam. Jika perdamaian tadi tidak membawa dampak positif bagi umat Islam, maka sebaiknya khalifah tidak mengadakan perjanjian damai dengan mereka, karena firman Allah, “janganlah kalian lemah dan minta damai padahal kalianlah yang di atas” (Q.S. Muhamad; 35), dan karena memerangi orang kafir adalah wajib yang tidak boleh ditinggalkan tanpa ada uzur. Ketika pihak ahli harb, baik dari raja, pemimpin atau negara,  meminta dzimmah ( perlindungan ) pada umat Islam, tetapi dengan catatan mereka tetap dapat melakukan kebijakan-kebijakan terhadap rakyatnya; mulai dari membunuh, salib, atau yang lainnya, hal-hal yang tidak patut dalam wilayah Islam, maka sang khalifah tidak boleh memenuhi permintaan itu. Karena, mengakui perbuatan kesewenang-wenangan padahal mampu mencegahnya adalah haram, disamping yang namanya dzimmi adalah mereka yang mau mengikuti aturan-aturan Islam dalam hal-hal yang berhubungan dengan mu’amalah. Disamping itu syarat yang diajukan mereka menyalahi ketentuan aqad, dan karenanya syarat itu menjadi batal. Dan kalau khalifah tetap memberikan damai dan perlindungan kepada mereka dalam kasus ini, maka batallah syarat-syarat yang tidak patut dalam Islam, karena sabda Nabi SAW, “syarat apapun yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal”, hadits diriwayatkan Imam Bukhori. Berbeda kalau mereka meminta damai dan perlindungan dan mau mengikuti norma-norma Islam, mereka termasuk ahli dzimmah dan diperlakukan seperti orang Islam. Negara mereka dianggap sebagai negara Islam, mempertahankannya berarti mempertahankan negara Islam. Dan menolong mereka sama seperti menolong umat Islam, hukumnya wajib.


Perjanjian-perjanjian Darurat

Umat Islam terkadang berada dalam kondisi yang memaksanya melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak diperbolehkan, tetapi situasi darurat berbicara lain. Seperti ketika mereka berada dalam kondisi krisis multi dimensi; eksternal maupun internal, yang memaksanya melakukan kontrak-kontrak kerjasama yang tidak mengarah pada kepentingan dakwah, tidak pula pada perang fi sabilillah, tetapi memudahkan dalam mengkondisikan hal itu pada masa yang akan datang, mengantisipasi stagnasi dakwah, atau menjaga eksistensi umat Islam. Kondisi seperti ini memaksa kita untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain. Karenanya diperbolehkan bagi khalifah untuk melakukannya dan ini berlaku pada umat Islam. Perjanjian-perjanjian semacam ini — seperti yang disebutkan oleh fuqoha— terjadi dalam dua kondisi;
Kondisi pertama; kelompok ahli harb menginginkan perdamaian dengan kaum muslim dalam tempo waktu yang ditentukan, dan mereka akan membayar upeti setiap tahun dengan kadar yang ditentukan, dengan catatan hukum-hukum Islam tidak diberlakukan kepada mereka di wilayahnya. Maka khalifah tidak boleh menerima perjanjian itu. Karena, hal itu berarti mengakui pada kekufuran, kecuali kalau negara tidak mampu mencegah kedzaliman tersebut dan melihat ada kepositifan bagi umat Islam, maka boleh bagi khalifah untuk melakukannya karena darurat. Dalam kondisi seperti ini, maka tidak ada kewajiban bagi daulah Islamiyah untuk memberikan bantuan dan pertolongan kepada mereka, karena mereka tidak melaksanakan hukum-hukum Islam. mereka belum keluar dari statusnya sebagai ahli harb, selama mereka tidak tunduk pada hukum Islam. Umat Islam tidak wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Rasululloh saw. melakukan perdamaian dengan Yohanes ibn Ru’yat dalam perang Tabuk atas batas-batas wilayah Syam. Beliau membiarkan Yohanes tetap pada agamanya, dan tidak masuk dalam bendera umat Islam dan hukumnya. Perjanjian semacam ini yang limit waktunya terbatas memberikan jaminan keamanan pada negara yang bersangkutan dari negara Islam. Orang Islam yang memasuki wilayah tersebut, telah dijamin keamanannya dengan perjanjian tadi, tanpa harus memohon jaminan secara indifidu. Dan dia tidak boleh melakukan intervensi terhadap para penduduk. Demikian juga mereka yang memasuki wilayah umat Islam, sudah dijamin tanpa harus meminta jaminan baru, dan dan tidak boleh ada gangguan dari umat Islam. Para pedagang dipersilahkan membawa barang dagangan dari negeri mereka, kecuali peralatan perang, seperti senjata, bahan-bahan perang dan sejenisnya. Karena status mereka adalah ahli harb, meskipun telah mendapatkan jaminan.
Kondisi kedua adalah kebalikan yang pertama; yaitu orang Islam menyerahkan sejumlah harta kepada musuh dengan jaminan tidak akan menyerang umat Islam. Ulama fiqh menyatakan bahwa jika umat Islam telah terkepung musuh, lalu mereka minta berdamai dalam beberapa waktu yang ditentukan dengan catatan mereka akan membayar upeti setiap tahunnya, maka sebaiknya khalifah tidak memenuhi permohonan mereka, karena akan menampakkan kehinaan dan kerendahan umat Islam, kecuali dalam keadaan darurat, yaitu ketika orang Islam khawatir kehancuran akan menimpa mereka, dan khalifah memandang positif bagi umat Islam, maka ia boleh melakukan kesepakatan di atas. Karena ada hadits yang menyatakan bahwa ketika orang-orang musyrik memblokir kawasan Khandaq, dan umat Islam dalam posisi terjepit, seperti digambarkan oleh al-Qur’an, “Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat” (Q.S. Hud, 33). Lalu Nabi SAW mengutus seseorang kepada ‘Uyainah ibn Hashn dan memintanya membebaskan tawanan dengan tebusan setiap tahunnya satu per tiga dari hasil tanaman Madinah. Namun ‘Uyainah menolak dan meminta setengahnya. Ketika utusan ‘Uyainah tiba untuk menuliskan perjanjian damai dihadapan Rasululloh, tiba-tiba dua pemuka Anshor; Sa’d ibn Muaz dan Sa’d ibn ‘Ubadah RA  berdiri dan  berkata; “Wahai Rasululloh, jika ini berdasarkan wahyu, maka jalankan sesuai wahyu, namun jika ini berdasakan ro’yu, maka di era Jahiliyah kami dan mereka sama-sama tidak memiliki agama. Mereka tidak bisa mendapatkan buah-buahan tanpa membeli atau mendapatkan jamuan. Ketika Allah memuliakan kami dengan agamaNya dan mengutus rosulNya epada kami, maka haruskah kami memberi tanda kehinaan kepada mereka? Kami tak akan memberikannya kecuali pedang. Lalu Nabi SAW berkata; saya melihat orang Arab melemparkan anak panah kepada kalian dari busur yang satu. Maka saya ingin untuk menghindarkan mereka dari kalian, kalau kalian enggan menerimanya, maka kalian dan mereka mempunyai jalan sendiri-sendiri. Pergilah!kami tidak akan berikan kepada kalian kecuali pedang”. Hadits ini menyebutkan bahwa Rasululloh SAW mulanya cenderung pada perdamaian karena merasa umat Islam dalam kondisi yang lemah. Namun ketika melihat ada kekuatan dengan apa yang diucapkan dua sahabatnya, maka Rasululloh tidak jadi melakukan perdamaian. Ini menunjukkan bahwa dalam keadaan darurat, boleh untuk berdamai dengan orang-orang kafir, meskipun harus menyerahkan sejumlah uang kepada mereka. Ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar, mereka akan menguras seluruh harta umat Islam dan menawan umat Islam. Dengan diberikan sebagian harta, maka umat Islam merasa harta dan keluarganya lebih terjamin dan lebih bermanfaat.


Melanggar Perjanjian

Semua perjanjian yang telah disepakati oleh daulah Islamiyah harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ini tidak berarti mereka harus terikat dengan perjanjian dalam semua kasus, seperti halnya mereka boleh melanggar perjanjian-perjanjian itu. Dalam kondisi-kondisi tertentu yang ditetapkan syara’, perjanjian itu boleh dibatalkan. Selain itu, perjanjian tidak boleh dibatalkan.
Kondisi-kondisi dimana syara’ memperbolehkan menggagalkan perjanjian adalah sebagai berikut;
Pertama; ketika mu’ahid (sekutu, pihak yang melakukan perjanjian dengan kita) membela dan mendukung musuh Islam mengalahkan umat Islam, seperti ketika terjadi pertikaian dan permusuhan antara daulah Islamiyah dengan negara tertentu,  kemudian negara yang telah melakukan perjanjian dengan negara Islam justru menyokong dan mendukung pihak musuh dengan senjata, ekonomi atau pasukan perang. Dalam kondisi seperti ini, boleh bagi umat Islam untuk menggagalkan perjanjian bersama negara tersebut. Allah berfirman, “kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) kalian dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian…”(Q.S. At-Taubah; 04).
Kedua; Al-Mu’ahid (pihak yang membuat perjanjian dengan umat Islam) melanggar satu dari sekian isi perjanjian. Seperti yang terjadi pada perjanjian Hudaibiah, suku Khaza’ah berada dalam tanggung jawab Rasululloh dan telah menjadi sekutu beliau. Namun pihak Quraisy menggagalkan secara sepihak isi perjanjian itu. Dan kabilah Bani Bakr memprovokasi kaum muslimin untuk merusak perjanjian itu, meskipun pada akhirnya mereka menyesal dan berusaha untuk meneruskan perjanjian itu. Rasululloh menilai tindakan itu sebagai pembenaran bagi beliau untuk menggagalkan perjanjian.
Ketiga; ketika dikhawatirkan ada penghianatan dari Mu’ahid, maka boleh untuk menggagalkan perjanjian terlebih dahulu. Allah berfirman, “dan jika kamu khawatir akan terjadinya penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (Q.S. Al-Anfal; 58). Dan itu perlu ada pernyataan resmi tentang pembatalan perjanjian kepada pihak musuh. Dalam kasus ini, tidak harus pembatalan oleh pihak musuh betul-betul terjadi, namun hanya dengan adanya indikasi kuat kearah sana, sudah bisa dijadikan justifikasi pembatalan perjanjian.
Keempat; al-Mu’ahid betul-betul telah mencabut perjanjian dengan negara Islam. Dalam kasus diatas, wajib hukumnya membatalkan kontrak itu dan menyerang mereka dengan serangan yang dahsyat, sebagai pelajaran dan peringatan bagi yang lainnya agar tidak melakukan tindakan seperti ini dengan umat Islam. Allah berfirman, “sesungguhnya binatang (makhluq) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang–orang yang kafir, karena mereka itu beriman. (yaitu) orang-orang yang kalian telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka menghianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kalian menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran” (Q.S. Al-Anfal; 55-57).
Itulah empat situasi yang memperbolehkan umat Islam untuk menggagalkan perjanjian yang telah disepakati dengan pihak musuh, dan bahkan untuk melakukan penyerbuan. Allah berfirman; “apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka..” (Q.S. At-Taubah; 05) yang dimaksud dengan bulan-bulan Haram tadi adalah masa yang yang disebutkan dalam ayat sebelumnya; “maka berjalanlah kalian (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan” (Q.S. At-Taubh; 02). Dan firman Allah; “mengapakah kalian tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya)” (Q.S. At-Taubah; 13). Namun begitu pembatalan itu harus dikembalikan kepada mereka secara jujur. Allah berfirman; “maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (Q.S. Al-Anfal; 58). Dan ini sifatnya menyeluruh pada semua bentuk perjanjian, artinya kedua belah pihak mengetahui tentang pembatalan itu. Tidak dibenarkan menyerang musuh sebelum pihak musuh mengetahui pembatalan itu, agar mereka kembali ke posisi sebelum perjanjian dan mereka bisa berjaga-jaga. Ini juga untuk menghindari penghianatan.
Semua uraian diatas, diberlakukan pada mereka yang tidak dapat memenuhi semua isi kesepakatan. Sementara pada mereka yang sudah menjalankan nota kesepahaman dan istiqomah bersama umat Islam, maka umat Islampun harus melakukan hal yang sama, menghormati kesepakatan yang telah dibuat dan istiqomah sebagaimana yang mereka lakukan. Firman Allah mengatakan; “kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian) kalian dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai batas waktunya” (Q.S. At-Taubah; 04). Mafhumnya, mereka yang mengurangi satu dari kesepakatan yang ada, seperti dalam kasus yang kedua, atau mendukung seseorang yang memusuhi umat Islam seperti kasus pertama, maka kepada mereka jangan dipenuhi janjinya, dibatalkan perjanjian yang ada. Sedangkan kepada mereka yang tidak melakukan tindakan-tindakan tersebut diatas, maka penuhilah janjinya sampai batas waktu yang telah ditentukan. Bagi umat Islam wajib memenuhi isi kesepakatan sampai berakhir masa perjanjian itu. Allah berfirman; “bagaimana bila ada perjanjian (aman) dalam sisi Allah dan Rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) didekat masjid al-Haram. Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kalian berlaku lurus pula” (Q.S. At-Taubah, 07). Artinya jika mereka tidak istiqomah terhadap kalian, maka janganlah berlaku lurus kepada mereka. Tetapi jika mereka istiqomah, maka bersikaplah istiqomah dan penuhi janji-janji mereka.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa memenuhi janji hukumnya wajib sampai batas waktu yang telah disepakati. Jika masanya berarkhir maka boleh untuk tidak memperbaharui dan menghentikan perjanjian itu. Allah berfirman; “maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai batas waktunya” (Q.S. At-Taubah; 04).  Sebagaimana bertindak tegas terhadap mereka yang melanggar perjanjian juga wajib. Musuh yang tidak menepati satu dari sekian isi perjanjian, atau bahkan secara keseluruhan, atau mereka terbukti menyokong dan membantu musuh-musuh Islam untuk mengalahkan umat Islam, atau dikhawatirkan adanya penghianatan dari pihak musuh, maka semua tindakan diatas merupakan hal yang melegalkan umat Islam membatalkan perjanjian dengan musuh-musuhnya. Dan ini tidak dianggap sebagai penghianatan. Syari’ telah menetapkan bentuk-bentuk kesepakatan internasional, menetapkan kondisi-kondisi yang menuntut pembatalan perjanjian. Karenanya wajib mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan Syari’ dalam hal perjanjian, sementara cara dan menentukan pilihan diserahkan sepenuhnya pada kebijakan dan ijtihadnya khalifah.


Kafir Harby

Kafir harby ialah semua orang kafir yang tidak masuk dalam perlindungan umat Islam, baik mu’ahid (orang yang mengadakan perjanjian), musta’min (orang yang meminta jaminan keamanan) atau bukan keduanya. Ketika terjadi kesepakatan antara negara Islam dan negara kafir manapun, maka seluruh rakyatnya adalah orang-orang yang telah mengadakan perjanjian yang bertindak sesuai dengan isi perjanjian antara dua belah pihak, disamping melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai. Namun demikian, status mereka masih tetap sebagai kafir harby secara hukum, sebab dengan habisnya masa perjanjian atau pembatalan oleh salah satu pihak, maka status mereka sama dengan kafir harby yang lain. Karenanya mereka dilarang melakukan transaksi jual-beli senjata dan barang-barang yang berhubungan dengan peperangan, jika itu akan memperkuat posisi mereka atas umat Islam. Namun jika tidak ada gejala memperkuat diri, maka mereka tidak dilarang melakukan transaksi. Terlebih jika negara Islam sebagai pemasok senjata-senjata itu seperti negara-negara besar saat ini. Jika dalam perjanjian disebutkan kebolehan jual-beli peralatan senjata perang, maka itu tidak harus dipenuhi, jika hal itu untuk memperkuat mereka atas umat Islam, karena hal itu menyalahi syara’. Dan semua syarat yang menyalahi syara’, hukumnya adalah batal dan tidak sah.
Sementara jika tidak terdapat perjanjian antara kita dan mereka, maka status mereka adalah kafir harby secara hakekat, bukan secara hukum, baik peperangan antar keduanya sedang berkecamuk atau tidak. Mereka tidak dapat memasuki wilayah negara Islam tanpa permit khusus setiap kalinya. Juga tidak dapat menetap dalam wilayah negara Islam kecuali dalam limit waktu terbatas. Namun demikian terdapat perbedaan antara negara yang sedang berperang dan yang tidak. Bagi negara yang sedang berperang, tidak boleh diadakan perjanjian sebelum berdamai, dan tidak diberikan jaminan keamanan bagi rakyatnya kecuali jika mereka mau datang untuk mendengarkan kalam Allah, atau datang untuk menjadi dzimmi yang akan menetap tinggal di wilayah umat Islam. Berbeda dengan negara yang tidak dalam keadaan konflik. Maka boleh mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan, menjaga hubungan baik dan lain-lain. Rakyatnyapun berhak mendapat jaminan keamanan ketika memasuki wilayah Islam dengan tujuan berniaga, wisata, rekreasi atau tujuan yang lainnya.


Al-Musta’min

Al-Musta’min dengan kasroh ‘mim’nya berarti orang yang mencari jaminan keamanan. Yaitu, seseorang yang memasuki wilayah orang lain dengan aman, baik ia orang Islam atau harbi. Ketika orang Islam memasuki wilayah harb, maka ia tidak boleh diganggu, karena orang Islam bergantung pada syarat-syaratnya. Kalau ia keluar dengan membawa sesuatu dari harta kekayaannya orang-orang kafir bukan dengan ghosob, tapi dengan cara mencopert atau mencuri, maka kepemilikannya terhadap benda tadi adalah kepemilikan yang haram, dan harus disedekahkan. Tetapi jika dengan cara ghosob, maka ia harus mengembalikan benda tersebut, karena ghosob masih menjadi hak pemiliknya, yang harus dikembalikan padanya, baik ia seorang kafir atau muslim.
Sebagaimana orang Islam boleh memasuki wilayah kafir dengan aman, hal yang sama bagi orang kafir harbi, ia boleh memasuki daerah kaum muslimin dengan aman. Rasululloh telah memberikan jaminan aman pada orang-orang kafir saat pembebasan Makkah, beliau berkata; barang siapa yang menutup pintunya maka ia aman”, hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim. Demikian pula Rasululloh memberikan perlindungan kepada para pemimpin musyrikin dan melarang berhianat kepada orang yang telah mendapatkan jaminan keamanan. Dari Abi Sa’id, ia berkata; Rasululloh SAW berkata; bagi setiap penghianat ada panji di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar penghianatannya, ketahuilah tak ada yang lebih berhianat dari pemimpinnya orang awam”. diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Namun demikian, kafir harbi musta’min tidak diperkenankan tinggal dalam wilayah kaum muslimin selama setahun, ia hanya diberikan jaminan selama sebulan, 2 bulan atau lebih, dan tidak lebih dari setahun. Jika ia diberi jaminan tanpa batas waktu, maka yang diperhitungkan adalah haul (hitungan setahun), karena ia diberikan kewenangan tinggal tanpa upeti, maka dibatasi waktunya satu tahun. Kalau lebih dari setahun, maka ia diberikan pilihan antara membayar upeti dan boleh tinggal atau keluar dari wilayah Islam. Kalau ia masih tetap tinggal setelah satu tahun, maka dia dianggap menerima tawaran yang pertama, membayar upeti dan ditetapkan kepadanya dzimmah sehingga ia dinyatakan sebagai ahl dzimm. Karena, orang kafir tidak boleh tinggal di wilayah muslim tanpa upeti. Dengan pembayaran upeti satu kali, ia berhak tinggal selama satu tahun. Jika ia tetap tinggal lebih dari satu tahun, maka ia diharuskan membayar upeti dan statusnya menjadi dzimmi. Namun jika ia keluar pada akhir tahun atau sebelumnya, maka ia terbebas dari tanggungan bayar upeti. Ketika ia keluar, maka hilanglah jaminan keamanannya. Jika ia ingin kembali, maka ia harus memperbaharui permohonan keamanan lagi.
Bagi khalifah wajib memberikan pertolongan kepada musta’min selama berada di wilayah Islam. Dan statusnya seperti ahli dzimmah. Ketika dia melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka harus dikenakan hukuman sebagaimana ahli dzimmah, kecuali had minum arak. Karena wilayah Islam adalah tempat diberlakukannya hukum-hukum syari’at yang berlaku bagi setiap yang ada di dalamnya, baik itu orang Islam, dzimmi atau musta’min. Rasululloh SAW menulis surat kepada kaum Najran, mereka adalah kaum Nasrani, “sesungguhnya orang diantara kalian yang bertransaksi dengan riba, maka tidak ada lagi dzimmah baginya. Riba termasuk hukum-hukum Islam. Pelaksanaan Rasululloh kepada ahli dzimmah untuk tidak berjual-beli dengan cara riba menunjukkan merekapun dituntut mematuhi hukum-hukum Islam. Dan ini berlaku pula terhadap musta’min.
Kalau seorang musta’min mendapatkan hak aman untuk dirinya sendiri, maka keamanan itu mencakup harta-benda yang ia bawa, meskipun ia tidak mengasuransikannya. Artinya, harta bendanya dijaga seperti juga dirinya. Dan orang Islam yang merusak arak dan babi musta’min, wajib mengganti dengan nilai yang sama. Ia pun terkena diyat (denda), ketika ia membunuh musta’min tanpa sengaja. Dan dibunuh ketika membunuh dengan sengaja. Dilarang menyakiti, mengumpat (ghibah) musta’min seperti halnya orang Islam, sebab ia diperlakukan sebagaimana dzimmi. Kalau ia meninggal di wilayah Islam, sementara ahli warisnya di wilayah kafir, maka hartanya dijaga, dan boleh diambil mereka dengan saksi, dari kaum muslimin atau dari ahli dzimmah, karena harta itu adalah harta amanat yang harus di kembalikan kepada pemiliknya, yaitu ahli warisnya.
Kesimpulannya, bahwa setiap orang yang meminta perlindungan dari kaum muslimin, maka boleh bagi umat Islam untuk memberikannya, karena firman Allah; “Dan jika seorang dari orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya”. Dan juga karena perlindungan berarti pemberian dzimmah, Rasululloh SAW bersabda; “kaum muslimin itu sepadan derajatnya, tetapi mereka lebih kuat dari yang lainnya, dan memberikan dzimmah pada orang yang dibawahnya”, diriwayatkan oleh Ibn Majah. Namun demikian, perlindungan diberikan, dengan catatan, mereka tunduk pada hukum-hukum Islam, dan membayar jizyah jika mereka dzimmi, karena firman Allah; “sampai mereka membayar jizyah, dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Q.S. At-Taubah; 29). Artinya, larangan untuk memerangi mereka, pemberian jaminan kepada mereka itu jika mereka membayar jizyah dan tunduk pada hukum-hukum Islam. Ketundukkannya pada hukum-hukum Islam saat dia berada di wilayah Islam, sudah cukup untuk mendapatkan jaminan. Ketika mereka telah menetap selama jangka waktu yang diperbolehkan dengan pembayaran upeti, yaitu setahun, maka mereka diminta untuk keluar. Jika tidak mau, maka mereka dituntut untuk membayar jizyah dan statusnya menjadi dzimmiiyin.


Hukum Dzimmi

Adz-dzimmi adalah setiap orang yang beragama selain Islam, dan telah menjadi rakyat daulah Islamiyah. Dia tetap pada agamanya. Kata Adz-dzimmi diambil dari kata adz-dzimmah yang berarti janji. Mereka mendapatkan hak agar kita memperlakukan mereka sesuai kepentingan mereka, juga memperlakukan mereka dan segala urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Tidak sedikit hukum-hukum yang dibawa Islam yang menguntungkan ahli dzimmi, antara lain adalah; tidak boleh memfitnah agama mereka, dan mereka hanya dibebani membayar jizyah, tidak boleh mengambil hartanya selain jizyah, kecuali disebutkan dalam syarat-syarat perdamaian. Dari ‘Urwah ibn az-Zubair, ia berkata; Rasululloh SAW menulis untuk kaum Yaman, “sesungguhnya barang siapa yang masih tetap mengikuti agama Yahudi atau Nasraninya, maka ia tidak boleh diganggu, dan ia harus membayar jizyah”, diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid. Sama dengan Yahudi dan Nasrani orang-orang musyrik dan kafir lainnya. Dari Hasan ibn Muhamad ibn Ali ibn Abi Tholib, ia berkata; “Rasululloh SAW menulis pada orang Majusi Hajar sambil menyeru mereka masuk Islam,  “barang siapa yang memeluk Islam, maka ia diterima, dan barang siapa yang tidak masuk Islam, maka dikenai jizyah dengan catatan sembelihan mereka tidak dimakan dan wanitanya tidak dinikahi”, diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid. Dan hadits itu tidak dikhususkan pada kaum Majusi Hajar semata, tapi sifatnya umum. Dan hadits tidak mempunyai pengertian tambahan (istilah usul fiqh). Karena mafhumnya nama tidak bisa dijadikan hujjah dan pertimbangan. Jizyah hanya boleh ditarik dari laki-laki yang telah baligh. Dari Nafi’ ibn Aslam, hambanya Umar, “bahwa Umar menulis pada para pimpinan tentara untuk menarik jizyah dan tidak dibenarkan menarik jizyah dari para wanita dan anak-anak, dan hanya boleh dari orang yang sudah terkena alat cukur”, Diceritakan oleh Abu ‘Ubaid. Dan tak seorangpun yang membantahnya. Bahkan ia berkata; hadits ini adalah dasar bagi mereka yang wajib membayar jizyah dan mereka yang tidak wajib. Disamping itu, jizyah hanya diambil dari orang yang mampu membayarnya, karena firman Allah; “’An Yadin”, berarti kemampuan. Kalau tidak mampu, maka tidak dipaksa untuk membayarnya. Bahkan, kalau dia tidak mampu bekerja dan tergolong orang fakir, dia tidak hanya terbebas dari beban jizyah, tetapi juga dia berhak mendapatkan santunan dari Baitul Mal, seperti halnya umat Islam. Penarikan jizyah haruslah dengan cara yang sopan, tidak dengan kekerasan dan penganiayaan, dan harus disesuaikan dengan kemampuannya, tidak boleh dibebani diluar kemampuannya. Dari Hisyam ibn Hakim ibn Hizam, ia menemukan  kaum yang melakukan penganiayaan dalam menarik jizyah di Palestina, lalu Hisyam berkata; saya mendengar Rasululloh SAW bersabda; “sesungguhnya Allah akan menyiksa pada hari Kiamat mereka yang menyiksa manusia di dunia”. Dari Abdurrahman ibn Jubair ibn Nafir dari ayahnya, bahwa Umar ibn Khattab diserahi harta yang banyak. Saya kira Abu Ubaid berkata harta itu dari jizyah. Lalu Umar berkata; saya melihat kalian telah menghancurkan manusia, mereka menjawab; Demi Allah, tidak. Kami tidak menuntut permintaan maaf mereka. Umar berkata; tanpa cambuk. Sahabat menjawab; ya. Umar berkata; puji bagi Allah yang tidak menetapkan itu pada kekuasaanku”, hadits riwayat Abu Ubaid. Dan juga tidak boleh menjual sarana penghidupan dzimmi, sebesar  apapun nilainya, untuk pembayaran jizyah. Dari Sufyan ibn Abi Hamzah, ia berkata; Umar ibn Abdul Aziz memutuskan, “agar tidak menjual peralatan ahli dzimmah”. Abu Ubaid berkata; ia berkata demikian karena pajak buminya, sebab kalau alat pertaniannya ia jual, ia tidak lagi dapat bertani, yang pada akhirnya pajak bumi menjadi tiada. Disamakan dengan alat pertanian, sarana kehidupan yang lain.
Ketika dzimmi masuk Islam, maka gugurlah kewajiban membayar jizyahnya. Dari ‘Ubadillah ibn Rowahah, ia berkata; “saya bersama orang yang dicuri rantainya, dia menceritakan bahwa seseorang dari suatu kaum telah masuk Islam, tapi dia tetap ditarik bayar jizyah, lalu orang tersebut mendatangi Umar ibn Khattab dan berkata; wahai pemimpin orang mu’minin, saya telah masuk Islam, Umar berkata; semoga kamu masuk Islam untuk berlindung, si lelaki tadi berkata; apakah dalam Islam ada yang melindungiku? Umar menjawab; ya. Lalu Umar menetapkan agar orang tersebut tidak dikenai jizyah”, diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Dari Qobus ibn Abi Dzobyan dari ayahnya, ia berkata; Rasululloh SAW bersabda; “tidak dibebankan pada orang Islam jizyah”, hadits diriwayatkan Abu Ubaid. Dari Ibn Abbas, berkata; Rasululloh SAW berkata; “tidak layak dalam satu tempat terdapat dua kiblat, dan seorang muslim tidak dibebani jizyah”, hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud. Umar ibn Abdul Aziz menulis pada pegawainya yang tetap menarik jizyah pada orang yang masuk Islam demi menghindari jizyah, dalam suratnya ia tulis; “sesungguhnya Allah mengutus Muhamad SAW sebagai petunjuk, dan bukan sebagai pengumpul pajak”.
Islam telah mengajarkan agar memperlakukan dzimmi dengan baik, bersikap lembut dan memperhatikan kepentingannya. Kaum muslimin wajib menjaga keselamatan jiwa, harta dan harga dirinya, juga menjamin makanan, tempat tinggal dan pakaiannya. Dari Abi Wa’il dari Abi Musa —atau dari salah satunya— bahwa Rasululloh SAW bersabda; “berilah makan orang yang lapar, jenguklah orang sakit, lepaskanlah orang yang sedang kesusahan”. Abu Ubaid berkata; Demikian juga ahli dzimmah, orang yang dibawah mereka berjuang dan menghilangkan kesusahan mereka, ketika mereka minta selamat, mereka kembali pada dzimmah dan janji mereka secara bebas. Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan kasus ini. Dari Amar ibn Maemun dari Umar ibn Khattab, dia berpesan dalam wasiat terakhirnya, “saya berwasiat untuk khalifah setelahku ini dan itu, saya juga berwasiat kepadanya untuk melakukan dzimmah Allah dan dzimmah Rosul-Nya dengan baik, agar berada dibelakang mereka (mendukung) ketika berperang dan tidak membebani mereka diluar kemampuannya”.
Ahli dzimmi tetap diberikan kebebasan keyakinan dan ibadah mereka, karena sabda Rosul; “barangsiapa yang tetap pada keyakinannya; Yahudi atau Nasrani, dia tidak boleh diganggu”, diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Maksud laa yuftanu ‘anha adalah mereka tidak dipaksa untuk meninggalkan mereka, tapi justru mereka dibiarkan tetap memeluk agamanya, tetap pada aqidah dan ibadahnya. Dan ini tidak terbatas pada Ahli Kitab semata, tetapi dalam kasus ini, yang lain pun disamakan, karena sabda Nabi tentang Majusi, “berbuatlah pada mereka seperti pada Ahli Kitab”, diriwayatkan oleh Malik melalui Abdurahman ibn ‘Auf. Sama seperti Majusi kaum musyrikin yang lain.
Adapun memakan sembelihan mereka dan menikahi wanita mereka, maka harus dilihat kondisinya. Jika mereka termasuk Ahli Kitab; Nasrani dan Yahudi, maka boleh bagi kaum muslimin memakan sembelihan mereka dan menikahi wanitanya. Allah berfirman; “makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini)  wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kalian…” (Q.S. Al-Maidah; 05). Sementara jika mereka bukan Ahli Kitab, maka tidak boleh memakan sembelihannya dan juga tidak boleh mengawini wanitanya. Perkawinan orang kafir dengan wanita muslimin tidak diperbolehkan sama sekali, itu adalah haram, baik mereka termasuk Ahli kitab ataupun bukan, karena firman Allah; “maka jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (Q.S. Al-Mumtahanah; 10). Transaksi antara kaum muslimin dengan ahli dzimmi adalah hal yang diperbolehkan, seperti jual-beli, sewa, perkongsian, pergadaian, dan lainnya, tanpa diskriminasi terhadap satu kelompok tertentu. Rosul pernah melakukan transaksi dengan ahli Khaibar, mereka adalah kelompok Yahudi, dengan separuh hasil bumi dengan catatan mereka yang mengolah tanah dengan biaya sendiri. Demikian pula, Rosul pernah membeli makanan dari orang Yahudi, dan juga pernah menggadaikan baju besinya. Nabi mengirim utusan kepada orang Yahudi untuk meminta dua potong baju diberikan pada Maysaroh. Semua itu adalah bukti bolehnya melakukan semua jenis transaksi dengan ahli dzimmi. Namun demikian, semua transaksi dalam bentuk jual-beli, sewa, serikat, atau gadai, tetap harus berdasarkan hukum-hukum Islam, dan tidak boleh sama sekali menggunakan hukum yang lain.
Demikianlah, sebagai rakyat, Ahli dzimmi tetap diperlakukan seperti rakyat yang lain. mereka mendapatkan hak kewarganegaraan, hak perlindungan, hak jaminan hidup, hak perlakuan yang baik, dan hak perlakuan yang lembut. Merekapun boleh bergabung dengan tentara Islam dan berperang bersama umat Islam, namun sifatnya tidak wajib. Merekapun mempunyai hak keadilan dan kewajiban berbuat adil seperti kaum muslimin. Tak ada diskriminasi terhadap mereka, baik di depan hakim, di depan qodi, perhatian urusan-urusannya, semua bentuk transaksi dan hukuman. Mereka diperlakukan sama seperti kaum muslimin. Wajib berbuat adil terhadap mereka, seperti halnya terhadap kaum muslimin.
Adapun apa yang terjadi pada Umar yang membuat perjanjian dengan mereka dan menetapkan beberapa syarat tertentu, maka sesungguhnya perjanjian itu adalah perjanjian damai, yang didalamnya, ditetapkan syarat-syarat yang mereka setuju dan lega. Karenanya, sudah menjadi keharusan jika perjanjian itu tetap dilaksanakan seperti semula. Berbeda kalau dalam perjanjian damai itu tidak disebutkan syarat-syarat tertentu, maka mereka harus diperlakukan seperti kaum muslimin, kecuali ada nash yang menjelaskan bentuk-bentuk perbedaannya, seperti tidak boleh mengawini wanita muslim. Bukti bahwa apa yang dilakukan Umar berdasarkan isi perjanjian, adalah apa yang dilakukan Umar sendiri ketika menarik pajak dagang. Dari kaum muslimin, ia tarik sebesar ¼, sementara dari ahli dzimmi ½, padahal secara hukum syara’, tidak ada tarikan pajak dari dagangan orang muslim atau dzimmi. Dari Abil Khoir, ia berkata; saya mendengar Ruwaefa’ ibn Tsabit berkata; saya mendengar Rosul bersabda; “sesungguhnya orang yang menarik pajak itu hukumannya neraka, yang dimaksud adalah pemungut pajak 1/10 (Al-‘Asyir)”, diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Nabi bersabda; “jika kalian bertemu dengan pengumpul zakat 1/10, maka bunuhlah!”, diriwayatkan oleh Abu Ubaid. Dan dari Ibrohim ibn Muhajir, ia berkata; saya mendengar Zayyad ibn Hudaer berkata; sayalah orang yang pertama kali mengambil sepersepuluh dalam Islam, saya berkata; siapa yang kamu ambil sepersepuluh itu? Dia menjawab; kami tidak mengambil sepersepuluh dari orang Islam dan dari Mu‘ahid, kami menariknya dari kaum Nasrani Bani Taghlab”, hadits riwayat Abu Ubaid. Retribusi dagang tidak boleh ditarik dari orang Islam dan dzimmi. Apa yang diambil oleh Umar dari umat Islam adalah zakat, sementara dari dzimmi adalah kesepakatan yang telah mereka teken dan menjadikan statusnya sebagai ahli dzimmi. Adapun apa yang dilakukan pada ahli dzimmi di masa-masa kemunduran adalah kesalahan dalam pemahaman dan mengikuti secara sepotong tindakan Umar dalam perjanjiannya. Jika ditemukan kebenaran, tentunya dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan Umar, hanyalah apa yang terkandung dalam kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka teken. Selain itu, Umar tetap berwasiat untuk berbuat baik pada orang-orang dzimmi. Jadi, ahli dzimmi diperlakukan dengan baik dan mereka pun wajib mengikuti apa yang ditetapkan syara’, kecuali kalau dalam perjanjian disebutkan beberapa syarat tertenu, maka hal itu harus dilaksanakan sesuai isi perjanjian diatas.


Wajib Menerapkan Hukum Islam Terhadap Orang Kafir

Setiap orang yang berada dalam kekuasaan hukum negara Islam, wajib diterapkan kepadanya hukum-hukum Islam, seperti halnya diterapkan pada kaum muslimin, baik ia seorang dzimmi, mu’ahid atau musta’min. Dan tak ada pilihan bagi hakim dalam hal ini, bahkan ia harus menerapkannya tanpa ada keraguan, karena firman Allah yang  ditujukan pada ahli Kitab, “maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…” (Q.S. Al-Maidah; 48), dan lagi ayat “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan jangnlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kami dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…” (Q.S. Al-Maidah; 49). Begitu juga dengan ayat, “sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu..” (Q.S. An-Nisa’; 105). Ayat-ayat diatas bersifat umum, mencakup kaum muslimin dan non-muslimin. Karena kalimat Annas, itu umum, supaya kamu mengadili antara manusia”. Adapun ayat “mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan barang yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka atau berpalinglah dari mereka…” (Q.S. Al-Maidah; 42), yang dimaksud adalah seorang yang datang dari luar ke negara Islam untuk meminta putusan kepada kaum muslimin dalam kasus sengketa  dengan orang kafir lain, maka kaum muslimin diberikan pilihan antara memberikan putusan diantara mereka atau tidak. Ayat itu turun pada seseorang yang telah diberi jaminan oleh Rosul dari kaum Yahudi Madinah. Mereka  adalah suku-suku yang dianggap sebagai negeri-negeri yang lain, mereka tidak tunduk pada hukum Islam, bahkan mereka adalah bangsa yang lain. Karenanya, diantara nabi dan mereka terdapat perjanjian-perjanjian. Tetapi kalau mereka mau tunduk pada hukum Islam, dengan statusnya sebagai ahli dzimmi, atau mereka datang sebagai musta’minin yang tunduk pada hukum Islam, seperti mu’ahid dan musta’min, maka mereka harus dihukumi hanya dengan hukum Islam. Mereka yang tidak mau kembali pada hukum Islam, hakim harus memaksanya untuk kembali pada hukum Islam. Karena, mereka mendapat jaminan itu dengan catatan mengikuti aturan-aturan Islam, baik itu berupa janji dzimmah, perlindungan atau keamanan. Tak ada perbedaan selama berada dalam wilayah Islam.
Rosul menulis pada Ahli Najran, mereka adalah orang-orang Nasrani, “orang-orang yang melakukan jual-beli dari kalian dengan riba, maka tiada lagi dzimmah untuknya”. Ibn Umar meriwayatkan “bahwa Nabi SAW datang membawa dua orang Yahudi Fahira, setelah mereka berbuat zina muhson, lalu Nabi memerintahkan untuk merajam keduanya”, begitu pula Anas meriwayatkan “bahwa seorang Yahudi membunuh budak wanita dengan batu, maka Rosul membunuhnya dengan dua batu”. Orang-orang Yahudi diatas termasuk rakyat. Dan hal itu terjadi setelah berakhirnya eksistensi Yahudi dan akhirnya berada didalam kekuasaan pemerintah Islam.
Namun demikian, jika perbuatan itu menurut mereka, termasuk dalam wilayah akidah, meskipun menurut kita tidak, maka kita tidak boleh mengganggunya dan membiarkan mereka melakukan perbuatan itu dan melakukan apa yang diyakininya. Jika mereka meyakini perbuatan itu boleh, seperti meminum arak, maka mereka tidak dikenai hukuman. Karena mereka tidak meyakini keharaman minum arak, maka tak ada hukuman terhadapnya, seperti halnya perbuatan kufr. Allah berfirman; “tak ada paksaan dalam agama”, dan sabda Rosul, “barangsiapa yang tetap pada keyakinannya; yahudi atau nasrani, dia tidak boleh diganggu”, diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid. Dan menerapkan hukum yang bertentangan dengan keyakinan mereka secara paksa berarti menodai agama mereka, karenanya dalam masalah akidah dan ibadah, mereka tidak dipaksa. Disamping itu, ketika mereka menerima untuk membayar jizyah, berarti mereka tetap mengakui kekufuran dari segi akidah, dan mereka tidak mengakui hukum kufr, maka hukuman pada mereka atas sesuatu yang masuk wilayah akidah adalah hukuman atas kekufuran yang mereka yakini, dan ini hukumnya tidak boleh. Berdasarkan itu, wajib menerapkan hukum-hukum Islam terhadap orang kafir sebagaimana terhadap kaum muslimin.


Jizyah

Jizyah adalah harta tertentu yang ditarik dari selain kaum muslimin, dari ahli dzimmah. Mereka adalah ahli kitab secara mutlak, musyrikin selain Arab, dan orang-orang kafir yang lain. Allah berfirman; “perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rosul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (Q.S. At-Taubah; 29). Diriwayatkan dari Qois ibn Muslim dari Al-Hasan ibn Muhamad, ia berkata; “Rasululloh SAW mengirimkan surat pada kaum Majusi Hajar, menyeru mereka masuk Islam, barang siapa masuk Islam, maka akan diterima, jika tidak, maka ia dikenai bayar jizyah, dengan syarat sembelihannya tidak dimakan, dan wanitanya tidak dinikahi”, hadits diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid. Dari Ja’far ibn Muhamad dari ayahnya, ia berkata; Umar berkata; saya tidak tahu apa yang saya perbuat terhadap orang Majusi, mereka bukan ahli kitab. Lalu Abdurahman ibn ‘Auf berkata; saya mendengar Rasululloh bersabda; “berbuatlah kepada mereka seperti kepada ahli kitab”, diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid. Diriwayatkan melalui Ibn Syihab, “bahwa Rasululloh SAW menarik jizyah dari kaum Majusi Hajar”, dan Umar menarik jizyah dari umat Majusi Persi, dan tak ada sahabat yang membantahnya. Begitu juga Usman menarik jizyah dari kaum bangsa barbar, dan tak seorangpun yang mengingkarinya. Sementara kaum musyrikin Arab, tidak boleh diterima perdamaian dan dzimmahnya, mereka tetap diseru untuk masuk Islam. Jika mereka masuk Islam, maka dibiarkan, tetapi jika menolak, maka mereka dibunuh. Allah berfirman; “kalian diajak (mmerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)” (Q.S. Al-Fath; 16), artinya sampai mereka masuk Islam. Ayat diatas menjelaskan orang-orang yang diperangi Rasululloh SAW, mereka adalah penyembah berhala dari Arab. Itu berarti mereka diperangi jika enggan masuk Islam. Diriwayatkan juga melalui Hasan, ia berkata; Rasululloh SAW memberikan perintah untuk memerangi orang Arab untuk masuk Islam, dan tidak diterima dari mereka selain masuk Islam, dan perintah untuk memerangi ahli kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Abu ‘Ubaid berkata; kami melihat apa yang dimaksud dengan orang Arab disini adalah mereka yang menyembah berhala yang tidak termasuk ahli kitab. Sedangkan mereka yang termasuk ahli kitab, Rosul tetap menerima jizyah dari mereka. Dan itu jelas-jelas disebutkan dalam beberapa hadits, dan tidak ada keterangan yang menyebutkan Nabi menerima jizyah dari para penyembah berhala dari Arab. Setelah turunnya ayat Al-Fath dan surat At-taubah, Nabi tidak menerima dari mereka selain Islam atau perang. Sementara keterangan yang menyatakan Nabi menarik jizyah dari orang Arab, seperti kaum yaman dan kaum Najran, Nabi hanya menarik jizyah dari ahli kitab, Nasrani dan Yahudi, dan tidak dari para penyembah berhala.
Bagi khalifah menjelaskan kepada mereka yang boleh diterima jizyahnya, kadar besarnya jizyah dan waktunya. Dan juga menginformasikan kepada mereka, bahwa jizyah hanya ditarik setiap tahun satu kali. Dan menentukan kadar yang diambil dari orang kaya, berbeda dengan yang ditarik dari orang miskin. Sementara orang fakir, maka tidak boleh ditarik jizyahnya, karena firman Allah “An Yadin” berarti dari yang mampu. Dan pula jizyah tidak ditarik dari para wanita dan anak-anak. Jizyah hanya boleh ditarik dari laki-laki yang telah baligh dan mampu membayar. Dari Nafi’ ibn Aslam, hamba sahayanya Umar, “bahwa Umar melayangkan surat untuk para pimpinan tentara agar mereka berperang di jalan Allah, dan tidak memerangi kecuali pada orang yang memerangi mereka, tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak, tidak boleh membunuh kecuali orang yang sudah terkena gunting cukur. Dan Umar memerintahkan pada pimpinan tentara untuk menarik jizyah, dan tidak menarik jizyah dari para wanita dan anak-anak, dan juga tidak menarik jizyah kecuali dari orang yang sudah terkena alat cukur”. Berkata Abu ‘Ubaid, artinya orang yang telah tumbuh rambutnya (telah dewasa). Dan dia berkata; hadits ini adalah dasar tentang orang yang berkewajiban membayar jizyah dan yang tidak berkewajiban. Ketahuilah, bahwa jizyah hanya dibebankan pada laki-laki yang sudah baligh, dan tidak pada wanita dan anak-anak. Dan tak satupun yang mengingkari tindakan Umar ini, maka itu berarti Ijma’. Dan itupun dikuatkan oleh surat Nabi kepada Mu’adz “wajib bagi setiap laki-laki yang telah mimpi satu dinar”, jadi terbatas pada al-halim, bukan wanita dan anak-anak. Adapun riwayat “al halim wal halimah”, itu menurut ahli hadits tidak bisa dipertanggung jawabkan, sementara yang bisa dipertanggung jawabkan dari kasus tadi adalah hadits yang tidak menyebutkan al halimah. Kalaupun hadits al halimah dianggap sah, itu terjadi pada permulaan Islam, saat para wanita orang musyrik dan anak-anaknya dibunuh bersama kaum lelakinya. Dan itu pernah terjadi, dan kemudian di nasakh dengan tidak ditariknya jizyah dari wanita dan anak-anak oleh Rosul. Hal yang sama dilakukan oleh Umar setelah Nabi. Pembayaran jizyah harus disertai ketundukan mereka pada hukum Islam. lafadz as Shighor dalam ayat “hatta yu’thul jizyata wahum shoghirun” itu berarti hukum Islam harus diterapkan pada mereka, dan mereka tidak boleh menampakkan kekufuran mereka dan hal-hal yang diharamkan dalam agama Islam, dan Islam harus berada di atas dalam wilayah tersebut, karena sabda Nabi; “Islam selalu di atas dan tidak pernah dibawah”.


Tanah ‘Usyur, Kharaj, dan Shulh

Abu ‘Ubaid berkata; saya menemukan beberapa atsar dari Rasululloh SAW dan khalifah setelahnya yang menjelaskan status tanah yang dibebaskan dan jumlahnya ada tiga; pertama; Tanah dimana penghuninya telah masuk Islam. Tanah tersebut adalah milik mereka. Itulah yang disebut sebagai tanah ‘Usyur (yang dikenai pajak sepersepuluh) yang tidak ada hak bagi orang lain selain mereka sendiri. Kedua; tanah yang dibebaskan melalui cara damai dengan pajak yang disepakati. Mereka dibebani atas apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai, dan tidak lebih dari itu. Dan ketiga; Tanah yang diambil dengan kekerasan. Inilah status tanah yang masih di perdebatkan kaum muslimin. Sebagian mengatakan seperti ghonimah, dibagi seperlima dan lalu dibagikan. Dan 4/5nya dibagikan pada mereka yang membebaskannya secara khusus, lalu yang 1/5nya lagi dibagikan pada nama-nama yang telah ditentukan oleh Allah. Pendapat lain mengatakan statusnya diserahkan pada kebijakan pemimpin. Jika ia menilai positif jika dijadikan sebagai ghonimah, maka ia bagi-bagi lima terlebih dahulu, baru kemudian dibagikan, seperti yang telah dipraktekkan Rasululloh SAW pada tanah Khaibar, yang lalu menjadi miliknya. Dan jika baiknya adalah sebagai harta fai’, maka tidak perlu dibagi lima lalu dibagikan, tetapi diserahkan pada kaum muslimin secara umum selama mereka masih tetap, seperti yang dilakukan Umar dengan tanah As-Sawad. Itulah status tanah yang telah dibebaskan. Demikian penjelasan Abu ‘Ubaid.
Tanah, dalam Islam, sejak Allah mengutus Muhamad SAW sampai hari dimana Allah mewariskan bumi seisinya, itu ada 3 macam; ardlul ‘usyur, ardlul khoroj, atau ardlus shulh.

Tanah ‘usyr
Ardlul Usyur adalah tanah yang diambil sepersepuluh atau setengahnya sebagai zakat dari produksi tanah tersebut. Itulah yang disebut dengan ardlun usyriyah (tanah sepersepuluhan). Disebut demikian, karena tanah tersebut diambil sepersepuluhnya  sebagai pengeluaran zakat.
Tanah diatas mencakup semua tanah dimana penghuninya telah masuk Islam sejak pertama kali, seperti Madinah al-Munawaroh dan Indonesia. Penduduk Madinah pada masa Nabi dan masa khalifah setelahnya tidak menyerahkan kecuali 1/10 sebagai zakat hasil bumi. Seperti halnya tanah ‘Usyur juga mencakup semua jazirah Arab, baik penduduknya telah masuk Islam sejak pertama, atau tanah tersebut dibebaskan dengan kekerasan. Rasululloh menyerahkan tanah Makah kepada penduduk asli dan tidak mengambil alih tanah itu dari mereka. Demikian juga kawasan lain, selain tanah milik Yahudi. Demikian itu, karena orang Arab Musyrikin tidak mempunyai pilihan kecuali masuk Islam atau pedang. Allah telah memilih utusan-Nya dari golongan mereka, dan menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa mereka, maka sebenarnya merekalah yang lebih memahami terhadap kandungan al-Qur’an. Wajar jika Allah memerintahkan mereka masuk Islam, dan yang tidak menerima, dibunuh. Dan itu tidak bisa diganti dengan pembayaran jizyah sementara mereka masih tetap pada agamanya. Allah telah memulyakan orang Arab dari kerendahan semacam ini. Jizyah tidak diterima untuk menebus diri mereka, tanah mereka tidak dikenai pajak, bahkan semua jazirah Arab dijadikan sebagai wilayah Usyriyah, baik karena penduduknya telah masuk Islam, atau karena ditaklukkan dengan kekerasan. Dan penduduknya semua muslim. Rasululloh memberikan perintah agar orang Yahudi keluar dari tanah tersebut, sampai tak ada lagi agama selain Islam. karenanya, dari semenjak masa Nabi sampai sekarang, tak pernah diambil dari tanah tersebut kecuali hanya sepersepuluh dari hasil bumi.
Disamakan dengan status tanah diatas, semua wilayah yang dibebaskan oleh kaum muslimin melalui perang dan telah dibagikan sang penguasa kepada mereka yang berperang, seperti tanah Khaibar, atau ditetapkan oleh Imam kepada mereka atas sebagian dari tanah itu, seperti yang terjadi bersama pasukan umat Islam di wilayah Syam dan Hamsh. Al-Ahwash ibn Hakim menceritakan bahwa umat Islam yang telah membebaskan tanah Hamsh tidak memasuki wilayah itu, tetapi mereka berkemah diatas sungai Arbad lalu menghidupkannya. Kemudian dilanjutkan oleh Umar dan Utsman untuk mereka. Satu riwayat menyatakan, ketika Allah memberikan kemenangan pada kaum muslimin atas wilayah Syam dan berdamai dengan penduduk Damaskus dan Hamsh, mereka enggan memasuki wilayah tersebut tanpa melukai musuh Allah. Lalu Mereka berkemah di tanah subur Bardi antara tanah Mazzah sampai tanah Sya’ban. Dan dikanan-kiri tanah Bardi terdapat dataran subur yang diperbolehkan bagi penduduk Damaskus dan sekitarnya, dan tidak dimiliki oleh siapapun. Lalu mereka menempati tanah tersebut. Berita itu sampai pada Umar, lalu Umarpun menetapkannya untuk mereka. Dan Usmanpun melakukan hal yang sama seperti Umar. Penduduknya tidak dikenakan pajak bumi, mereka hanya dikenai zakat sepersepuluh, karena sejak awal tanah itu milik orang Islam dan tidak dikenai pajak.
Statusnya dianggap sebagai tanah ‘Usyr, yaitu tanah yang dialokasikan pemerintah untuk rakyatnya, dari tanah-tanah yang telah dibebaskan dengan kekerasan dan ditinggalkan oleh penghuninya karena menghindar dari kaum muslimin, atau tanah milik pemerintah yang telah dibebaskan,  atau milik para penguasa wilayah itu atau milik familinya. Ada sebagian penduduk asli Madinah yang menemukan dalam sebuah diwan bahwa Umar ibn Khatab RA memutihkan harta keluarga raja-raja, orang-orang yang meninggalkan tanah miliknya, orang yang terbunuh dalam pertempuran, dan setiap orang yang kekurangan air. Lalu Umar menyerahkan tanah-tanah tersebut kepada orang yang mau menggarapnya. Tanah  tersebut dikenai zakat 1/10 dan tidak dikenai pajak bumi, karena sejak pertama kali tanah itu adalah milik orang Islam pemberian pemerintah.
Begitu pula tanah yang dibebaskan Allah kepada orang mukmin. Pemerintah menyediakan tanah tersebut untuk mereka yang mau menggarapnya. Demikian itu seperti yang dilakukan Rasululloh saw. memberikan tanah Habra, Hebron, Martum dan ‘Ainun dalam Kholil kepada Tamim Ad-Dari. Sebab Tamim dengan kelompoknya meminta kepada Rasululloh saw. untuk memberikan tanah-tanah tersebut jika sudah dibebaskan untuk orang mu’min. Lalu Rasul mengabulkan permintaannya dan mencatatnya. Dan Umar termasuk orang yang menyaksikan catatan tersebut. Dan ketika tanah itu bebas pada masa Umar, Tamim menagih Umar untuk menyerahkan tanah tersebut. Umarpun langsung menyerahkan tanah itu pada Tamim sesuai dengan janji Rasul. Demikian pula, tanah tanpa pemilik yang disediakan pemerintah untuk rakyatnya. Rasululloh saw. menyerahkan tanah Al-‘Aqiq Ajma’ —tanah dekat dengan Madinah—pada Bilal ibn Haris al-Muzani. Dan itu adalah tanah ‘usyr.
Dihukumi sebagai tanah ‘usyr setiap tanah yang dihidupkan oleh seseorang apapun cara menghidupkannya, baik itu dalam tanah-tanah yang berstatus ‘usyr; yaitu  tanah yang berada di wilayah jazirah Arab, Indonesia dan setiap tanah yang pemiliknya telah masuk Islam, atau berada dalam kawasan tanah-tanah yang berstatus tanah kharaj seperti tanah Irak, Syam, Mesir dan wilayah lain yang dibebaskan dengan menggunakan kekerasan. Dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata; Rasululloh saw. bersabda; “barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”, diriwayatkan oleh At-Turmudzi. Dan lagi hadits Turmudzi melalui Sa’id ibn Zaid bahwa Nabi saw bersabda; “barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya, dan tidak hak bagi orang dzolim”.
Semua bentuk tanah yang disebut diatas adalah tanah ‘Usyr yang hanya dikenai zakat 1/10 dari penghasilan kalau airnya dari langit, dan setengahnya jika diairi dengan pengairan irigasi dan yang lain. Status tanah tidak berubah dan berganti-ganti, meskipun berpindah-pindah tangan. Tanah ‘Usyr adalah tanah yang pemiliknya masuk Islam atau awal dimiliki oleh orang Islam. Semua jazirah Arab, statusnya adalah tanah ‘Usyr. Tanah ‘Usyr bersifat konstan, tidak akan berubah, meskipun telah berpindah tangan ke orang kafir. Tanah itu wajib dizakati hasil buminya. Jika tidak menghasilkan, maka tidak wajib zakat. Dengan demikian, tanah hunian —yang dijadikan tempat pemukiman— tidak wajib dizakati kecuali kalau ditanami dan dijadikan barang dagangan, maka wajib dizakati sebagai zakat harta dagangan.
Tanah ‘usyr adalah milkul yamin (pemilikan secara penuh) bagi pemiliknya. Mereka memiliki tanah dan manfaatnya. Mereka berhak melakukan semua transaksi atas tanah tersebut dalam bentuk jual-beli, niaga, gadai, hibah, wakaf dan diwariskan. Tanah tersebut tidak bisa dicabut tanpa seizinnya. Negara harus mengganti harga tanah dan manfaatnya jika ingin membebaskan tanah tersebut. Hanya saja, tanah yang dibagikan penguasa kepada perorangan jika lewat tiga tahun tidak dikelola dan dimanfaatkan, maka ketika tanah itu dicabut dari pemiliknya dan diserahkan ke orang lain, negara tidak wajib membayar uang ganti rugi; baik ganti rugi tanah maupun ganti rugi manfaat tanah. Karena dia telah menyia-nyiakan tujuan pemberian itu, yaitu untuk dikelola dan dimanfaatkan, dan dia tidak lagi berhak atas tanah tersebut. Membiarkan tanah itu berada padanya berlakukan tindakan yang sia-sia. Karenanya, Umar meminta Bilal ibn Harits al-Muzani untuk mengembalikan tanah al-Aqiq yang tidak digarapnya, dengan berkata kepada Bilal terlebih dahulu; Rasululloh saw. memberimu tanah bukan untuk ditahan dari orang lain, tetapi untuk dikelola dan dimanfaatkan. Lalu Bilal menjawab; demi Allah, aku tidak melakukan apa-apa, dan Rasululloh saw memberiku sebidang tanah ini. Umar berkata kepadanya; demi Allah, kamu harus mengelolanya”. Dan Umar akhirnya mengambil tanah yang Bilal tidak mampun menggarapnya tanpa memberikan ganti rugi. Lalu Umar membagikan kepada orang lain. Diriwayatkan dari Umar “barangsiapa menghidupkan tanah, maka tanah itu menjadi miliknya, tidak ada hak bagi orang yang mengekang tanah selama masa tiga tahun”. Diapun berkata; “barangsiapa mengosongkan tanah tanpa mengelolanya selama tiga tahun, lalu datang orang lain dan menggarapnya, maka tanah tersebut milik orang yang menggarap tanah”. Dan ijma’ sahabat menetapkan orang yang tidak menggarap tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya itu dicabut  dan diberikan kepada orang lain.

Tanah kharaj
Tanah kharaj adalah tanah yang dibebaskan secara  paksa dengan kekuatan. Tanah tersebut tetap diserahkan pada pemiliknya yang pertama, tidak dibagi-bagikan kepada mereka yang berperang. Dan tanah itu dikenakan pajak.
Awal mulanya adalah ketika penaklukan wilayah Syam, Irak, dan Mesir pada masa Umar ibn Khattab, orang-orang muslim yang dimotori Bilal, Abdur Rahman dan Zubair menuntut Umar untuk membagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin, sebagaimana Rasululloh saw membagikan tanah Khaibar. Sementara Ali dan Mu’adz meminta sebaliknya, tanah itu tidak dibagikan. Abu ‘Ubaid meriwayatkan bahwa ketika Umar tiba di daerah Al-Jabiyah, beliau hendak membagikan tanah, lalu Mu’adz berkata kepada Umar; sungguh sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi, jika anda membagikan tanah itu sekarang. Hasil produk yang melimpah berada dalam genggaman umat, lalu mereka binasa, sehingga akan mengkerucut pada satu lelaki dan perempuan. Dan setelah mereka, datanglah generasi baru yang tertutup haknya dari Islam. Mereka tidak mendapatkan apa-apa. Maka fikirkanlah satu hal yang dapat mencukupi generasi pertama dan terakhir. Bilal dan kawan-kawannya tetap bersikeras pada tuntutanya, sampai Umar berdoa; Ya Allah, lindungilah aku dari Bilal dan keluarganya. Umar lalu berkonsultasi dengan sahabat Anshor dan Muhajirin. Diantara kalimat yang diutarakan Umar pada mereka adalah; menurut hematku, tanah-tanah itu akan saya tahan bersama orang-orangnya yang kafir. Saya kenakan pajak untuk tanahnya, dan jizyah untuk diri mereka. Dan statusnya menjadi harta fai’ bagi umat Islam; pasukan perang, keluarganya dan orang-orang setelahnya. Tahukah kalian benteng-benteng pertahanan diperbatasan itu harus ada orang-orang yang menjaganya. Tahukah kalian, kota-kota seperti Syam, Jazirah, Kufah, Basrah, dan Mesir adalah kota-kota besar yang membutuhkan balatentara untuk mengamankan wilayah. Dan mereka harus disuplai. Lalu dari mana mensuplai mereka kalau tanah itu dibagikan? Semua sahabat setuju dengan mengatakan; “pendapat yang bijak adalah pendapatmu. Dan sebaik-baik yang anda lakukan dan anda yakini adalah pendapatmu”. Argumentasi yang mendukung pendapatnya adalah ayat fai’ dalam surah Al-Hasyr, ayat 10, dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa; “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, Berdasarkan ayat diatas, mereka yang datang setelah itu, yakni anak-anaknya para sahabat dan tabi’in, juga generasi berikutnya sampai hari kiamat berhak atas harta fai’ tadi.
Umar memandang perlunya menciptakan sumber penghasilan abadi yang dapat digunakan untuk keperluan tentara, kepentingan negara, dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Dan ini membutuhkan sumber penghasilan yang tetap dan tidak berhenti. Itulah pemikiran dan interpretasi Umar terhadap ayat diatas sampai akhirnya dia tidak membagikan tanah taklukan kepada umat Islam, tetapi tetap ditahan untuk pemilik tanah. Dan menetapkan kewajiban pajak bumi sebagai harta fai’ untuk selamanya demi  kepentingan tentara Islam. Itulah makna hakiki yang ditetapkan Umar yang tergambar dalam ucapannya; “kalau tidak ada manusia terakhir, aku akan membagika tanah itu sebagaimana yang telah dilakukan Rasululloh saw. pada tanah Khaibar”.
Dari sini diketahui, bahwa status tanah kharaj itu adalah milik umat Islam secara keseluruhan. Tanah itu diwakafkan kepada mereka. Mereka berhak mengolah dan memanfaatkan tanah itu —sebagai pengganti umat Islam— dengan konsekuensi mereka membayar pajak. Karenanya, beberapa sahabat dan cendekiawan —antara lain; Umar, Ali, Ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Umar, Al-Auza’I dan Malik— berpendapat tanah tersebut tidak diperjual-belikan. Al-Auza’I berkata; “para ulama melarang membeli  tanah jizyah, dan mereka membencinya”. Asy-Sya’bi menceritakan bahwa Atabah ibn Firqod membeli tanah diatas pantai Furaat untuk tempat penyembelihan ternak Dan dia sampaikan pada Umar. Umar bertanya; dari siapa kamu beli tanah itu? Jawab Atabah; “dari pemiliknya”. Dan ketika sahabat Muhajirin dan Anshor berkumpul, Umar berkata; merekalah pemilik tanah itu, apakah kamu membelinya dari mereka? Atabah menjawab; tidak! Umar berkata; kembalikan tanah itu ke pemiliknya, dan ambil hak kamu”. Para ulama tidak menyukai pembelian tanah kharaj dari ahl dzimmah karena tanah itu diperuntukkan bagi umat Islam, jadi seperti wakaf yang tidak boleh dijual. Disamping, membeli tanah dari ahl dzimmi berarti dia harus mengeluarkan pajak. Dan itu dianggap sebagai kerendahan yang harus dihindari umat Islam. Barangsiapa menerima membayar pajak, dia telah mengakui kerendahan.
Namun demikian, ada beberapa sahabat dan ulama fiqh yang tidak mempersoalkan pembelian tanah kharaj. Sebagian dari sahabat telah membeli tanah jizyah. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud membeli sebidang tanah dari Dahqon.  Ats-Tsauri berkata; ketika seorang pemimpin telah menetapkan tanah pada ahl al-anwah (mereka yang tanahnya ditaklukkan dengan kekerasan), mereka boleh mewariskan dan menjualnya. Hal senada diungkapkan oleh Ibn Sirin dan Al-Qurthubi. Imam Ahmad berpendapat; jika pembeliannya mudah, maka seseorang boleh membeli secukupnya saja”.
Dengan melihat lebih cermat pada realitas tanah ini, akan didapatkan bahwa ternyata tanah tersebut telah mengalami perpindahan dari generasi ke generasi tanpa ada penolakan dari sahabat atau kaum muslimin. Ini bukti kuat bahwa tanah kharaj dapat diwariskan seperti tanah ‘Usyr. Bedanya, yang diwariskan dalam tanah kharaj adalah manfaat tanah, bukan tanahnya. Karena tanahnya adalah milik bersama. Sementara manfaat tanah, Umar telah menetapkanya sebagai milik pengelolanya. Berlaku untuk selamanya dan bisa diwariskan dan dijual. Sebagai pemilik manfaat, dia boleh melakukan transaksi apapun; jual-beli, gadai, hibah, wasiat, dan lain-lain.
Itu dari satu sisi. Dari sisi yang lain, sifat rendah itu tidak ditemukan dalam pembayaran pajak, tetapi dalam pembayaran jizyah. Karena pajak tanah dikeluarkan pemilik tanah dengan imbalan ditetapkannya kepemilikan manfaat tanah kepadanya, sehingga dia dapat mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut. Tidak ada  kerendahan, karena dia membayar dengan ada imbalannya. Bukanlah suatu kerendahan menyerahkan harta ke pihak lain dengan ada gantinya. Bisa kita lihat pada kasus lain. Ongkos yang dibayarkan seseorang yang telah menikmati jasa sewa rumah, misalnya, tak ditemukan tanda-tanda kerendahan. Karena itu, pajak tanah dibayarkan karena ada manfaat yang didapat seseorang, yaitu memiliki manfaat tanah. Dan itu tidak bisa dianggap sebagai kerendahan. Artinya, orang yang membeli tanah kharaj tidak dianggap rendah.
Ketiga, orang kafir yang ditetapkan atas tanah kharaj dengan keharusan membayar pajak, suatu ketika dia atau keluarganya menjadi Islam. Dengan perubahan itu, kepemilikan tanah berpindah dari orang kafir ke orang Islam. Dengan begitu, orang yang membayar pajak adalah orang Islam, yang sebelumnya adalah orang kafir. Dan inilah realitas yang ada. Penduduk Irak, Syam, Persi, Mesir dan lainnya adalah wilayah-wilayah taklukan yang telah berpindah tangan ke umat Islam. Dan orang Islamlah yang membayar pajak. Perpindahan kepemilikan tanah dari satu orang ke yang lainnya bisa terjadi dengan jual-beli, hibah, warisan atau yang lainnya. Tidak  ada perbedaan status kepemilikan antara seoranng muslim dengan muslim lainnya, karena umat Islam itu semuanya adalah sama. Dengan demikian, tidak ada masalah kepemilikan tanah berpindah tangan dengan cara warisan, jual-beli, wasiat, hibah atau yang lainnya. Sementara status tanah dan kewajibannya tetap tidak berubah, siapapun pemiliknya. Perpindahan tangan dari orang kafir ke orang Islam tidak merubah status tanah dan kewajiban membayar pajak. Karena pajak itu kaitannya dengan tanah, bukan dengan kepemilikan.
Seseorang yang memiliki manfaat tanah kharaj, boleh menjual dan berhak atas harganya. Karena manfaat itu boleh dijual dan dimiliki harganya. Dan tak seorangpun yang mempunyai otoritas untuk mencabut kepemilikannya, hatta khalifah sekalipun. Berkata Abu Yusuf; tanah yang dibebaskan seorang pemimpin dengan kekerasan, dan dia melihat positif ketika tanah tersebut tidak dibagikan dan diserahkan pada penduduk wilayah tersebut—seperti yang dilakukan Umar pada tanah As-Sawad·, maka dia boleh melakukannya. Dan tanah itu adalah tanah kharaj yang harus dikeluarkan pajaknya. Sang Imam tidak mempunyai otoritas untuk mencabut atau menganulir kepemilikan tanah dari mereka. Tanah itu sudah menjadi milik mereka, boleh diwariskan, dijual. Sesorang  yang diberi pemerintah sebidang tanah dari tanah as-sawad, tidak dapat dikembalikan dan dikeluarkan dari kepemilikanya oleh orang-orang yang datang setelahnya. Sementara seorang penguasa yang mencabut kepemilikan tanah dari seseorang dan diberikan kepada orang lain, maka itu sama halnya dengan orang yang menggasab. Dia telah merampas hak orang dan memberikan kepada orang lain. Seorang imam tidak boleh dan tidak berhak memberikan kepada seseorang haknya orang Islam dan mu’ahid (orang yang telah diprotek keamanannya). Dia tidak dapat mengeluarkan suatu apapun dari tangan orang Islam atau mu’ahid kecuali yang telah menjadi kewajiban mereka. Maka imam hanya boleh mengambil kewajiban orang tersebut”.
Dengan demikian, ketika negara sangat membutuhkan tanah kharaj untuk kepentingan umat Islam yang sangat mendesak, maka negara harus memberikan ganti rugi manfaat tanah, dan bukan harga tanah, terhadap pemilik tanah. Karena pemilik tanah kharaj hanya memiliki manfaat tanah, tidak memiliki tanah itu sendiri. Tanahnya tetap menjadi milik umat Islam. Negara wajib memberikannya ganti rugi kemanfaatan yang dia miliki, sebesar apapun; besar atau kecil. Dan tidak hanya sebatas mengganti kerugian materi, seperti rumah atau pohon yang ada. Kalau itu dilakukan, berarti negara telah merampas hak yang dia miliki, yaitu fisik berupa bangunan atau pepohonan dan non-fisik yaitu kemampuan berproduksi. Semuanya dihitung dan wajib diganti oleh negara. Membatasi pada kerugian fisik semata, berarti berbuat dzolim dan merampas hak pemilik tanah. Jika negara tidak membayar ganti rugi secara keseluruhan, berarti dia telah menggosob hak rakyat.
Aturan-aturan diatas hanya berlaku pada tanah yang memang dipersiapkan untuk pertanian. Sementara tanah hunian, dalam wilayah yang dibebaskan, tidak dikenai pajak. Tidak sekedar manfaatnya yang bisa dimiliki, tetapi tanahnya juga dapat dimiliki seseorang. Dan itu berdasarkan ijma’ sahabat. Ketika umat Islam menaklukan Irak, mereka menuju tanah Kufah dan basrah. Lalu mereka mereka membagi-bagi tanah itu diantara mereka. Mereka mempunyai hak milik penuh secara penuh atas tanah itu. Mereka memiliki tanah dan manfaatnya. Dan itu terjadi pada masa pemerintahan Umar atas izinya. Begitu pula dengan daerah syam, Mesir dan yang lain; wilayah-wilayah taklukan. Mereka tidak membayarkan pajaknya. Mereka boleh menjual dan membelinya seperti memiliki barang lain secara penuh (milk yamin). Merekapun tidak dikenai zakat atas tanah itu, kecuali kalau dijadikan sebagai barang dagangan, maka wajib dizakati dengan zakat dagangan.
Wilayah taklukan dengan kekuatan diserahkan pada kebijakan pemimpin. Dia boleh membagi-bagikan tanah itu, seperti yang dilakukan Rasululloh saw yang membagikan tanah Khaibar, atau membiarkan tanah itu pada pemiliknya dengan menetapkan kewajiban pajak sebagai harta fai’ bagi umat Islam, seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar pada tanah as-Sawad, Syam dan Mesir. Pemimpin boleh melakukan dua opsi diatas dengan memperhatikan kemaslahatan umat Islam.

Tanah Shulh
Tanah shulh adalah tanah dimana pemiliknya diajak berunding statusnya tanahnya dengan syarat-syarat tertentu yang wajib dipenuhi umat Islam, apapun bentuknya. Ini berdasarkan al-Qur’an dan hadits shohih yang mewajibkan umat Islam untuk menepati janji-janjinya.
Ada beberapa macam tanah shulh sesuai bentuk perjanjian yang disepakati. Pertama; Tanah diserahkan kepada orang Islam dan pemiliknya dipindahkan ke tempat lain sesuai dengan kesepakatan, seperti yang terjadi pada umat Yahudi Bani Nadlir. Rasululloh saw. melakukan perdamaian dengan mereka dengan memindahkan mereka dari madinah. Mereka boleh membawa harta bendanya kecuali senjata. Seorang pemimpin diberikan wewenang untuk menentukan bentuk perjanjian yang akan dipakai dengan memperhatikan kepentingan umat Islam.
Kedua; pemilik tanah masih tetap menempati tanahnya dengan syarat membayar pajak dengan jumlah tertentu. Status Tanah dan manfaatnya tetap menjadi miliknya sesuai dengan perjanjian. Mereka dapat melakukan berbagai transaksi, seperti yang mereka lakukan terhadap barang miliknya. Mereka boleh menjual, mewakafkan, menghibahkan atau mewariskan. Mereka hanya dikenai pajak yang telah ditentukan saat perjanjian, dan tidak ada tambahan-tambahan yang lain. Pajak ini statusnya seperti jizyah. Sehingga ketika kepemilikan tanah berpindah ke tangan orang Islam, maka ia tidak dikenai pajak. Karena tanahnya bukan tanah kharaj. Begitu pula ketika pemilik tanah itu masuk Islam, maka gugurlah kewajiban membayar pajak, seperti ditiadakannya jizyah dari orang Islam. Contoh model itu adalah tanah Hajar dan Bahrain. Ibn Majah meriwayatkan dari Al-Ala’ al-Hadlhromi, ia berkata; “Rasululloh saw. mengutusku ke Bahrain dan Hajar. Lalu saya mendatangi pembatas diantara saudara yang salah satunya masuk Islam. Maka saya mengambil 1/10 dari orang Islam dan pajak dari orang musyrik”. Demikian itu karena Hajar dan Bahrain dibebaskan secara damai, seperti halnya daerah Ailatul Aqobah, Daumatul Jandal, dan Adzruj. Daerah-daerah tersebut menyerhakn upeti pada Rasululloh saw. Demikian juga kota-kota Syam —selain Qisariah—wilayah Jazirah dan wilayah Khurasan. Seluruh wilayah diatas —atau kebanyakannya— dibebaskan dengan damai.karenanya hukumnya adalah hukum shulh.
Ketiga; tanahnya milik kita, dan mereka boleh menempati dan meramaikan tanah tersebut dengan kewajiban mereka membayar pajak yang telah disepakati. Hukum dan pajak tanah ini seperti hukum dan pajak tanah yang dibebaskan dengan kekerasan.


Daerah Kafir dan Daerah Islam

Ad-dar secara bahasa adalah tempat, rumah dan daerah. Ia juga diartikan dengan suku. Darul harbi berarti daerah musuh. Tak ada perbedaan pendapat bahwa daerah kafir yang dihuni orang-orang kafir dengan aturan yang mereka terapkan adalah daerah harbi dan kufr. Begitu juga arena peperangan yang sudah di jadikan ghonimah oleh kaum muslimin, tapi belum diterapkan hukum-hukum Islam, statusnya adalah daerah musuh dan daerah kafir, meskipun berada dibawah kekuasaan kaum muslimin. Karenanya, ahli fiqh menyatakan; ketika ghonimah dibagikan di daerah harb, maka boleh bagi orang yang mengambil bagiannya untuk melakukan transaksi jual-beli atau lainnya di daerah tersebut. Kalimat darul harbi dan darul kufr artinya sama, yang ditujukan pada daerah musuh dan daerah pertempuran. Begitu pula tidak ada perbedaan, bahwa daerah Islam adalah daerah yang tunduk pada hukum Islam dan diatur oleh kaum muslimin, baik dihuni kaum muslimin atau kaum dzimmi. Ahli fiqh berpendapat; Daerah kafir bisa menjadi daerah Islam dengan diterapkannya hukum-hukum Islam di daerah tersebut. Mereka berbeda pendapat tentang penyebab beralihnya status daerah Islam menjadi daerah kafir. Sebagian mengatakan bahwa daerah Islam tidak bisa berubah menjadi daerah kafir kecuali dengan 3 syarat; pertama; Penerapan hukum-hukum kafir di daerah tersebut. Kedua; Berdekatan  dengan daerah kafir. Dan ketiga: Tak ada seorangpun orang muslim atau dzimmi yang mendapatkan jaminan pertama kali, yaitu yang diberikan oleh kaum muslimin. Namun pendapat ini tidak berdasar, hanya memberikan gambaran tentang fenomena daerah tersebut. Namun yang pasti, ketika terjadi peperangan antara muslimin dan orang-orang kafir, lalu orang kafir mencaplok daerah Islam,  peperangan itu dianggap sebagai satu kondisi dimana daerah Islam berubah menjadi daerah kafir.
Sebagian mujtahid berpendapat perubahan daerah Islam menjadi daerah kafir adalah diterapkannya hukum kafir di daerah bersangkutan. Argumen mereka adalah bahwa istilah darul islam dan darul kufr adalah penyandaran (idlofah) pada kata ‘islam’ dan ‘kufr’. Dan lafadz Ad-Dar di sandarkan pada Al-Islam atau al-Kufr itu karena munculnya fenomena Islam atau kafir di daerah tersebut. Sama seperti surga dinamakan dengan Darus Salam, karena ada keselamatan disana, atau nerakan disebut Darul bawar, karena ada kebinasaan disana. Indikator Islam atau kufr adalah dengan diterapkannya hukum-hukum Islam atau kafir di daerah tersebut. Jika dalam satu daerah diberlakukan hukum-hukum kafir, maka daerah itu menjadi daerah kafir. jadi, suatu daerah dianggap sebagai daerah Islam hanya dengan diterapkannya hukum-hukum Islam di daerah tersebut. Begitu pula ia dianggap sebagai daerah kafir, jika memakai hukum-hukum kafir.
Karena masalahnya hanya berkaitan dengan fenomena daerah tersebut, maka tidak bisa dijadikan ukuran keberadaan daerah tersebut berdampingan atau tidak dengan wilayah kafir. Karena semua benteng pertahanan negara Islam itu berdampingan dengan daerah perang, tetapi tetap di anggap sebagai negara Islam berdasarkan ijma’ sahabat. Sebab kalau itu dijadikan syarat, tentunya semua benteng pertahanan  adalah daerah kafir. Dan lagi, dengan tidak dijadikannya  jaminan sebagai syarat sebuah daerah disebut daerah Islam, berarti jika negara Islam yang tunduk pada kekuasaan dan jaminan orang kafir menerapkan hukum Islam, dianggap sebagai daerah Islam, padahal kaum muslimin berada dalam kekuasaan orang kafir, bukan dalam kekuasaan umat Islam.
Yang benar adalah; untuk menetapkan status daerah sebagai daerah Islam atau daerah kafir, perlu melihat pada dua hal; pertama; hukum Islam, dan kedua jaminan keamanan dengan kekuasaan umat muslimin. Kalau dalam suatu daerah terdapat dua unsur diatas, menggunakan hukum Islam dan jaminannya dengan kekuasaan kaum muslimin, maka daerah tersebut adalah daerah Islam, dan beralih dari daerah kafir menjadi daerah Islam. Namun jika salah satu unsur diatas tidak terpenuhi, maka tidak bisa dianggap sebagai daerah Islam. Artinya, daerah Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam itu adalah daerah kafir, seperti halnya ketika suatu daerah menerapkan hukum-hukum Islam, tetapi keamanannya tidak dalam kekuasaan kaum muslimin, maka tetap tidak dihukumi sebagai daerah Islam, tetapi daerah kafir. Dengan demikian, semua negara Islam sekarang adalah daerah kafir, karena tidak menerapkan hukum-hukum Islam. Hal yang sama ketika orang –orang kafir memberikan jaminan kepada orang Islam untuk menggunakan hukum Islam dalam kehidupannya, tetapi tetap dalam pengawasan mereka dan keamanan mereka ditentukan oleh kekuasaan mereka, maka daerah tersebut tetap dianggap sebagai daerah kafir. Untuk merubah negara Islam menjadi daerah Islam, harus diterapkan hukum-hukum Islam di daerah tersebut dan keamanannya dijamin oleh kekuasaan kaum muslimin. Berdasarkan uraian diatas, sebuah daerah disebut daerah Islam atau kafir ditentukan oleh penerapan hukum di daerah tersebut dan jaminan keamanannya, karena hal itu merupakan konsekwensi hukum.
Ketika daerah Islam tidak menerapkan hukum Islam, atau tidak ada jaminan dari kaum muslimin, maka daerah itu menjadi daerah kafir. Kedua unsur diatas adalah syarat mutlak agar sebuah daerah tetap dianggap sebagai daerah Islam.
Adapun daerah kafir tidak berubah menjadi daerah Islam kecuali dengan terpenuhinya dua unsur diatas; diterapkannya hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan ditentukan oleh kaum muslimin. Selagi kedua unsur itu tidak terpenuhi, daerah tersebut tetap dianggap sebagai daerah kafir.
Kesimpulannya adalah bahwa suatu daerah disebut daerah Islam atau daerah kafir berkaitan erat dengan realita daerah itu. Ad-Dar secara bahasa digunakan untuk makna kabilah atau suku. Darul harbi berarti daerah musuh. Kita boleh mengucapkan Dar harbi wa dar Islam atau Dar kufr wa dar Islam. keduanya adalah sama. Hal itu karena kaum muslimin diperintahkan untuk memerangi mereka sampai mereka mengucakan ‘tiada Tuhan selain Allah’ atau tunduk dan mengikuti hukum-hukum Islam. Kalau mereka mau tunduk pada aturan-aturan Islam, maka perang dihentikan, meskipun mereka tetap kafir. Tetapi kalau mereka tidak mau mengikuti hukum-hukum Islam, maka diperangi. Jadi faktor diperanginya mereka adalah kekafiran mereka yang tidak mau memenuhi seruan dakwah. Sementara faktor dihentikannya perang adalah karena penerimaan mereka terhadap hukum Islam. Ketika mereka diatur dengan hukum Islam dan tetap kafir, maka ada alasan untuk menghentikan perang. Dan inilah bukti bahwa penerapan hukum Islam adalah faktor yang merubah negaranya dari daerah harb menjadi daerah Islam. Jadi penerapan hukum Islam adalah faktor utama diteruskan atau tidaknya perang. Oleh karenanya, penerapan hukum Islam dan jaminan keamanan yang merupakan konsekwensi dari penerapan hukum Islam adalah dua faktor yang menentukan sebuah daerah disebut daerah Islam atau daerah perang. Bukti lainnya adalah seorang khalifah atau pemimpin negara ketika tidak menerapkan hukum Islam, tapi justru menggunakan hukum kafir, maka wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk memeranginya sampai ia mau menerapkan hukum Islam. Sama halnya ketika kaum muslimin meninggalkan hukum-hukum Islam, maka menjadi kewajiban khalifah untuk memerangi mereka sampai mereka kembali kepada ketentuan-ketentuan Islam. Ini juga bukti yang jelas bahwa penerapan hukum Islam mempunyai konsekwensi ‘perang’ bagi mereka yang tidak mematuhinya, meskipun mereka muslim. Itupun bisa dijadikan tanda bahwa sebuah daerah adalah daerah harb. Darul kufr wa darul harb artinya sama, dengan mengidofahkan dar pada mudlof tertentu yang menjadi sifatnya, jadi darul kufr disandarkan pada kufr. Karena daerah tidak bisa disifati dengan kufr, makanya yang disifati adalah hukum daerah tersebut. Demikian juga darul Islam, tidak disifati dengan Islam, tapi hanya statusnya saja. Lebih dari itu, sebuah negara tetap terbuka dimana semua penduduknya kafir, tapi menggunakan hukum-hukum Islam, maka negara tadi dianggap sebagai daerah Islam.


Loyalitas Orang-orang Mu’min Terhadap Orang Kafir


Allah berfiman; “janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri-Nya. dan hanya kepada Allah kembali(mu)”(Q.S. Al-Imron; 28) .
Ya’qub dan Sahl menggunakan lafadz “taqiyyatan”, dan itu adalah qiroatnya imam Mujahid, sementara yang lain membacanya dengan “tuqoh”. Dalam kamus Al-Muhith disebutkan; At-tauqiyah berarti menjaga. Wattaqoitu asy-syai’a wa taqoituhu ittaqoituhu wat-taqihi taqiyyun wa taqiyyah wa tiqoan artinya menjaga diri. Teks ayat sudah menyebutkan tema ayat. Ma’na bahasa untuk lafadz taqiyyah adalah pengertian yang dimaksud dalam ayat diatas, karena tidak ditemukan ma’na syar’I untuk lafdz tersebut. Karenanya, yang menjadi tolak ukur dalam penafsiran adalah ma’na bahasa. Atas dasar ini, ayat diatas —secara umum—sudah dapat dipahami. Adapun hal-hal yang disebutkan dalam sebab turunnya ayat tersebut, jika memang benar, itu dapat mengungkapkan secara detail makna ayat diatas. Tetapi hal itu tidak merubah maudlu’nya ayat, dan juga tidak merubah ma’na umum ayat diatas berdasarkan kandungan bahasa dan syara’. Tema ayat diatas adalah persahabatan orang mu’min terhadap orang kafir. Nash yang dimaksud adalah ayat “janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min”. kalaupun ada ayat lain atau hadits dalam satu tema tertentu yang khusus pada tema diatas, dan tidak melebar ke tema yang lain, maka masalah itu adalah masalah ‘kesetiaan orang mu’min terhadap orang kafir’. Terdapat banyak ayat yang melarang perkara itu dengan keras, seperti ayat “katakanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min” (Q.S. An-Nisa; 138), dan ayat “hai orang-orang yang beriman, janganlah menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min” (Q.S An-Nisa’; 144), dan lagi “kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya” (Q.S. Al-Mujadalah; 22), dan firman-Nya yang lain, “janganlah kalian jadikan Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih” (Q.S. Al-Maidah; 51), dan ayat “jangan jadikan musuhku dan musuh kalian sebagai kekasih” (Q.S. Al-Mumtahanah; 01), dan ayat-ayat lainnya.
Jadi obyek bahasannya adalah kesetiaan orang-orang mu’min terhadap orang kafir. Ayat-ayat yang lain menjelaskan secara detail tema tadi. Hal itu karena Allah melarang orang-orang mu’min menjadikan orang kafir sebagai penolong mereka. Dan larangan itu disertai dengan ketegasan bahwa mereka yang melakukan tindakan diatas, Allah lepas dari mereka. Selanjutnya, ada satu kondisi yang dikecualikan dari larangan keras tadi, yaitu menghindari dai perlakuan kasar mereka. Maka diperbolehkan berbaikan dengan orang kafir demi untuk menghindari tindakannya yang menyakitkan. Ini, jika orang muslim berada dalam kekuasaan orang kafir. Artinya, rasa takut kepada orang kafir, memperbolehkan orang muslim untuk bersikap loyal terhadap orang kafir. ketika rasa takut hilang, maka hukum muwalat menjadi haram. Dengan begitu, titik persoalannya bukan menampakkan atau menyembunyikan sikap loyal terhadap orang kafir, tetapi persoalannya adalah mengecualikan situasi ketakutan orang muslim atas tindakan kasar orang kafir ketika ia berada dalam posisi yang lemah, dari keumuman haramnya muwalat.
Ma’na ayat adalah larangan keras bagi orang mu’min untuk menjadikan orang kafir sebagai sandaran, meminta pertolongan dan perlindungan kepada mereka, bersahabat baik dengan mereka, sehingga terjalin kasih sayang diantara dua belah pihak. Maka  Allah mengharamkan orang mu’min bersikap lembut terhadap orang kafir dengan mengabaikan golongan sendiri. Lalu Allah mengecualikan satu kondisi, yaitu rasa takut terhadap orang kafir karena posisi mereka yang lemah. Dalam kondisi demikian, boleh bagi orang mu’min untuk menjadikan orang kafir sebagai sekutu.demi untuk menghindari bahaya mereka. Selain untuk alasan diatas, hukumnya adalah sama sekali tidak boleh.
Ketentuan ini ditujukan hanya pada orang kafir bersama orang mu’min, karena ayat diatas turun untuk menggambarkan persoalan orang mu’min yang menjalin hubungan baik dengan kaum musyrikin di Makkah. Ayat tersebut melarang mereka yang berada di Madinah menjalin hubungan baik dengan kaum musyrikin Makkah. Dan itu berlaku untuk seluruh kaum mu’minin, kecuali mereka yang berada di Makkah, karena posisinya di bawah kendali orang kafir. Sehingga ayat diatas mengeluarkan mereka dari larangan itu karena adanya kekhawatiran terhadap perilaku orang kafir yang semena-mena. Inilah tema dan ma’na serta hukum syar’I yang dihasilkan dari ayat tersebut, yaitu keharaman semua bentuk muwalat; dukungan, persahabatan, minta pertolongan dan yang lainya, terhadap orang kafir. Karena lafadz auliya’ dalam ayat bersifat menyeluruh pada semua ma’nanya. Dan diperbolehkannya melakukan tindakan diatas ketika khawatir akan bahaya dan perbuatan semena-mena mereka, ketika posisi mereka lebih kuat dari kaum muslimin. Seperti kondisi umat Islam di Makkah saat itu dengan orang-orang musyrik.
Tidak ada ma’na dan hukum lain yang dihasilkan dari ayat itu, selain ma’na dan hukum di atas. Sementara pendapat yang mengatakan bahwa at-taqiyah adalah menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan yang di dalam di hadapan depan orang lain; muslim atau kafir demi terhindar dari tindakannya yang menyakitkan, atau khawatir diketahui identitas sebenarnya, itu adalah pendapat yang jelas-jelas keliru. Ayat diatas sama sekali tidak menunjukkan itu, karena ma’na “Illa an tattaqu minhum tuqoh” adalah kecuali kalian menghindari sesuatu dari mereka yang ditakutkan. Ma’na ittaqoitu asy-syai’a taqiyyatan adalah menghindarinya. Dan lafadz al-tuqoh dan taqiyyah adalah sama. Dan ini adalah pengecualian dari larangan bersikap lembut terhadap orang kafir. Dan itu terbatas pada kondisi tersebut.
Dengan demikian, menampakkan sikap kecintaan pada pemimpin muslim, yang fasiq dan menggunakan hukum kafir, karena takut pada kelalimannya adalah haram. Begitu pula, tindakan menampilkan rasa suka pada orang muslim yang berlawanan dengan hati nurani dan menyembunyikan kemarahan adalah haram. Sama halnya pura-pura tidak terikat dengan Islam atau tidak peduli dengan Islam di hadapan orang kafir atau di hadapan orang fasik yang dzolim, itu tidak boleh. Semua itu adalah perbuatan munafik yang diharamkan Allah. Karena ma’na ayat “Illa an tattaqu minhum tuqoh” terbatas pada realita umat Islam Makkah di lingkungan kaum musyrikin, artinya terbatas pada situasi dimana kaum muslimin berada dalam kendalinya orang kafir. Dalam situasi demikian, boleh bagi orang-orang mu’min untuk loyal pada orang kafir untuk menghindari bahaya yang akan menimpa mereka, harta, harga diri atau kepentingannya yang lain. Dan hanya pada kondisi inilah —apapun bentuknya, yang penting masuk dalam kategori tadi— orang mu’min boleh melakukan tindakan diatas. Selain itu tidak boleh. Jadi pokok persoalannya adalah menjelaskan situasi yang membolehkan orang mu’min bersikap lembut terhadap orang kafir, yaitu ketika kaum muslimin dalam posisi kalah di hadapan mereka, karena mereka berada dibawah kekuasaan orang kafir. Dan sama sekali bukan persoalan yang lain.
Muhamad ibn Jarir At-Tobari dalam tafsirnya berkata; pendapat tentang ta’wilnya ayat La Yattakhidzil mu’minun sampai Illa an tattaqu minhum tuqoh”, Abu Ja’far berkata; ini adalah larangan Allah terhadap orang mu’min untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dan sandaran. Karenanya lafadz yattakhidz dibaca kasroh, karena posisinya jazm dengan nahi, larangan. Tetapi dzalnya dikasrohkan karena bertemu dengan huruf mati. Ma’nanya adalah wahai orang-orang mu’min, janganlah kalian menjadikan orang - orang kafir sebagai sandaran dan penolong, di mana kalian bersikap lembut kepada mereka dan mendukung mereka mengalahkan kaum muslimin dengan tanpa orang-orang mu’min, memberi tahu mereka kelemahan-kelemahan kaum muslimin. Barangsiapa yang melakukannya, berarti dia telah lepas dari Allah, dan Allahpun lepas darinya, karena kemurtadannya dan masuk dalam kekufuran. Illa an tattaqu minhum tuqoh, kecuali kalian berada dalam kekuasaan mereka, sehingga kalian takut kepada mereka atas diri kalian, lalu kalian tampakan sikap lembut dengan ucapan kalian, namun kalian sembunyikan sikap permusuhan terhadap mereka, janganlah kalian bersekutu dengan mereka dalam kekufuran dan jangalah kalian menolong mereka mengalahkan orang Islam dengan sebuah tindakan. Seperti:
6825 – Al-Mutsanna menceritakan hadits kepadaku, dia berkata; menceritakan kepada kami hadits Abdullah ibn Sholih, ia berkata; telah bercerita kepadaku Mu’awiyah ibn Sholih dari ‘Ali dari Ibn ‘Abbas, ayat “janganlah orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih dengan meninggalkan orang-orang mu’min”, kecuali jika orang-orang kafir itu posisinya kuat. Maka bersikaplah lembut kepada mereka, namun tidak dalam masalah agama. Itu adalah penjelasan ayat “illa an tattaqu minhum tuqoh”, sampai ia bekata; 6837- Hasan ibn Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata; Abdur Razak menceritakan kepada kami, ia berkata; menceritakan kepada kami Ma’mar dari Qotadah dalam menafsiri ayat “janganlah orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih”. Ia berkata; tidak boleh bagi orang mu’min untuk menjadikan orang kafir sebagai kekasih dalam agamanya, dan ayat illa an tattaqu minhum tuqoh” diantara kamu dan dia terdapat sifat kerabat, maka sambunglah dia karena kekerabatannya itu. Abu Ja’far berkata; inilah pendapat Qotadah dalam menafsiri ayat di atas, namun tidak sesuai dengan dzohirnya ayat, illa an tattaqu minhum tuqoh, ma’na yang paling berlaku dari ayat itu adalah ‘kecuali kalian takut kepada mereka’. jadi lafadz at-taqiyyah yang disebutkan dalam ayat itu adalah takut kepada orang kafir bukan pada yang lainnya. Sementara Qotadah mengartikannya “kecuali mereka takut pada Allah karena sifat kekerabatan antara kalian dan mereka, maka kalian menyambung tali siltarahmi. Penafsiran ini tidaklah gholib. Jadi penta’wilan al-Qur’an haruslah yang sering terpakai dalam masyarakat Arab. Demikianlah keterangan At-Tobari.
Abu ‘Ali al-Fadlu ibn Al-Hasan At-Thibrisi berkata dalam kitab Majma’il Bayan dalam menafsiri ayat “janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri-Nya. dan hanya kepada Allah kembali(mu). Ya’qub dan Sahl membaca Taqiyyah, dan itu adalah bacaannya Al-Hasan dan Mujahid. Sementara yang lain membaca Tuqoh. Setelah Allah menjelaskan bahwa Dia adalah pemilik dunia dan akhirat, yang mampu memulyakan dan merendahkan, Allah melarang orang-orang mu’min mengasihi mereka yang tidak memiliki sifat I’zaz dan idzlal, yaitu musuh-musuhNya Allah, agar senang pada apa yang berada di sisi Allah dan kekasihNya, orang-orang mu’min, bukan musuh-musuhNya, orang-orang kafir. Maka Allah berfirman; “janganlah orang-orang mu’min menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih”, artinya tidaklah pantas bagi orang mu’min untuk menjadikan orang kafir sebagai kekasih, meminta pertolongan mereka, meminta perlindungan mereka, dan menampakkan rasa kasih sayang terhadap mereka. Sebagaimana firman Allah dalam ayat-ayat yang lain; “kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya”, dan ayat “janganlah kalian jadikan Yahudi dan Nasrani sebagai kekasih”, dan “jangan jadikan musuhku dan musuh kalian sebagai kekasih”.
Adapun lafadz min dunil mu’minin artinya wajib berkasih sayang sesama orang mu’min. Dan ini larangan bersikap loyal terhadap orang-orang kafir dan mendukung mereka untuk mengalahkan orang mu’min. Ada lagi yang mengatakan; ini adalah larangan bersikap lembut terhadap orang-orang kafir. Dari Ibn Abbas; lafadz Auliya’ adalah bentuk plural dari wali, yaitu orang yang memberikan perintah kepada orang yang senang melakukannya dengan pertolongan. Dan lafadz tersebut bisa berma’na ganda; pertama orang yang memberikan pertolongan, dan kedua orang yang ditolong. Ayat Allah “Allahu waliyyul ladzina amanu” artinya penolong orang-orang mu’min. Lalu dikatakan; “Al-mu’min waliyyulloh”, artinya orang yang ditolong dengan pertolongan Allah. Dan ayat “wa man yaf’al dzalika” artinya, orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai kekasih tanpa orang-orang mu’min. Dan ayat “falaisa mina allahi  fi syai’in” artinya dia tidak termasuk dari kekasih Allah, dan Allah lepas dari dia. Pendapat lain mengatakan; dia bukanlah sesuatu dalam kekuasaan Allah. Kemudian Allah memberikan pengecualian, maka Dia berfirman; “illa an tattaqu minhum tuqoh”, artinya kecuali posisi orang-orang kafir diatas, sementara orang-orang mu’min dibawah, kalah. Sehingga membuat orang mu’min takut kepada mereka kalau tidak mengikutinya, dan tidak bersikap baik kepada mereka. Dalam posisi demikian, boleh bagi dia untuk menampakkan sifat persahabatan dan kasih sayang terhadap mereka dengan ucapannya, karena takut dan menghindari sesuatu yang akan menimpa dirinya, dan itu dilakukan tanpa meyakini terhadap tindakannya. Dalam ayat ini terdapat bukti bahwa taqiyyah hukumnya boleh dalam agama ketika dalam posisi khawatir terhadap jiwa. Berkata sahabat-sahabat kami; boleh dalam semua hal ketika darurat, dan bahkan wajib dalam kondisi darurat bersikap lembut dan mengajak damai. Namun hal-hal yang sifatnya aksi tidak diperbolehkan, seperti membunuh orang mu’min, atau diduga kuat itu dapat merusak agama. Al-Mufid berkata; sikap loyal kadang wajib dan itu menjadi fardu, dan kadang sifatnya boleh dan menjadi fardu, dan kadang pula boleh tanpa wajib. Dan kadang ia lebih utama dari meninggalkannya, dan kadang sebaliknya, meskipun pelakunya dapat dipahami dan diampuni, dengan tidak dicela. Syekh Abu Ja’far At-Tusi berkata dhohirnya riwayat menunjukkan wajibnya bersikap lembut ketika takut keselamatan jiwanya terancam. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah keringanan (rukhsoh) bolehnya mengekspresikan kebenaran. Al-Hasan meriwayatkan bahwa Musailamah Al-Kadzab mengambil dua sahabat Rasululloh SAW, lalu dia bertanya kepada salah satunya; apakah kamu bersaksi bahwa Muhamad adalah utusan Allah? lalu sahabat tadi menjawab; ya, lalu dia bertanya lagi; apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah? sahabat tadi menjawab; ya. Lalu Musailamah memanggil sahabat yang satunya dan bertanya; apakah kamu bersaksi bahwa aku utusan Allah? yang ditanya menjawab; saya bisu. Dia  mengulang jawabannya sampai tiga kali dengan jawaban yang sama. Maka dipenggallah lehernya. Kemudian berita itu sampai pada Nabi, lalu beliau bersabda; Adapun orang yang dibunuh, dia tetap pada kebenaran dan keyakinannya, maka bebahagialah dia. Sementara yang satunya, dia telah menerima rukhsoh Allah, maka tidak ada konsekwesi baginya. Berdasarkan hadits ini, taqiyyah adalah keringanan, sementara mengucapkan kebenaran adalah fadlilah. Demikianlah keterangan At-Thibrisi.
Berdasarkan hal itu, dari keterangan dua mufasir yang berbeda mazhab diatas; At-Thobari dan At-Thibrisi, jelaslah bahwa keduanya sepakat terhadap ma’na ayat diatas, yaitu; larangan terhadap orang mu’min untuk bersikap lembut terhadap orang kafir, kecuali orang mu’min itu takut akan perlakuan semena-mena dari orang kafir. Lihatlah keterangan At-thobari “Illa an tattaqu minhum tuqoh” kecuali kalian dalam kekuasaan mereka, sehingga kalian takut akan jiwa kalian, lalu kalian menampakkan sikap bersahabat terhadap mereka dengan ucapan kalina. Dan lihat pula keterangan At-Thibrisi, “lalu Allah mengecualikan dan berfirman: “Illa an tattaqu minhum tuqoh”, artinya kecuali jika orang-orang kafir berada dalam posisi menang, sementara orang mu’min dalam posisi kalah, sehingga mereka khawatir tidak bersikap kooperatif dan lembut kepada orang-orang kafir. Dalam kondisi demikian, boleh bagi orang mu’min untuk menampakkan sikap kasih sayangnya, karena takut akan jiwanya. Kedua mufasir sepakat bahwa pokok bahasan adalah pengecualian dari larangan bersikap lembut terhadap orang kafir, dan itu terbatas hanya pada situasi seperti itu. Namun demikian At-Thibrisi menambahkan keterangan yang keluar dari tema sentralnya, yaitu menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa taqiyyah hukumnya boleh dalam agama ketika khawatir akan keselamatan jiwa. Dan itu tidak terdapat dalam ayat, karena tema ayat adalah larangan setia terhadap orang kafir dan pengecualian keadaan takut dari orang-orang kafir ketika mereka mengalahkan orang mu’min dengan pemberian dispensasi dalam kondisi seperti ini. Dan ini bukalah taqiyyah dalam agama, juga tidak terbatas karena takut akan jiwa, karena pengecualian diatas sifatnya umum, “Illa an tattaqu minhum tuqoh”, kecuali kalian takut dari mereka sesuatu yang ditakutkan. Az-Zamakhsyari berkata dalam Al-Kasysyafnya; kecuali jika kalian takut dari mereka sesuatu yang harus dihindari. Jadi setiap hal yang harus dihindari, maka boleh bersikap lembut. Setiap hal yang ditakuti, ini mencakup ketakutan akan jiwa, harta, harga diri dan kemaslahatan. Karenanya, menjadikan ayat diatas sebagai dalil taqiyyah dalam agama telah keluar dari tema bahasan. Dan mengkhususkan ayat diatas hanya pada ketakutan akan jiwa, adalah pentakhsisan tanpa dalil, terlebih lagi itu adalah tema lain yang berkaitan dengan kekufuan dan keimanan semata. Sebab yang demikian itu berkaitan dengan ayat yang lain, bukan ayat diatas. Adapun ungkapannya At-Thibrisi; sahabat-sahabat kami berpendapat; boleh dalam segala hal ketika darurat dan apa yang ia sadur dari pendapatnya Al-Mufid bahwa bersikap lembut kadang wajib, kadang tidak wajib sampai seterusnya, itu adalah pendapat yang tidak disertai dalil. Ayat diatas sama sekali tidak menunjukkan pada penafsiran At-Tibrisi. Diapun tidak mengajukan dalil baik dari al-Qur’an, Hadits atau Ijmanya sahabat. Karenanya, pendapatnya ditolak dan dengan sendirinya tidak dipertimbangkan lagi. Dan tidak boleh dijadikan argumen bahwa kalau bersikap lembut terhadap orang kafir dalam kondisi takut hukumnya boleh, maka bersikap lembut dan loyal terhadap pemimpin dzolim atau fasiq yang punya kekuatan itu lebih diperbolehkan. Tidak bisa demikian, karena sesuatu yang termasuk lebih utama (min babil aula) itu adalah kandungan khitab (fahwal khitab). Sementara ini tidak termasuk dalam tujuan kalam. Ini bukanlah jenis firman Allah, “dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu” (Q.S. Al-Imron; 75), dan bukan pula tipe ayat di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepada kamu” (Q.S. Al-Imron; 75). Karena orang fasik bukanlah orang kafir dan juga bukan dari jenisnya orang kafir. Disamping itu, karena bersikap lembut yang dilarang dalam ayat adalah sikap lembut tanpa orang orang mu’min. Sementara  pemimpin dzolim yang fasik dan mempunyai kekuatan itu masih termasuk orang mu’min. Sifat dholim dan fasik yang melekat pada dirinya tidak menghilangkan statusnya sebagai orang beriman. Karenanya pembahasan ini tidak termasuk dalam pembahasan bab aula. Dan itu tidak terjadi yang bisa dijadikan pegangan.
Boleh hukumnya bersikap loyal terhadap hakim dzolim yang fasik dan mempunyai kekuatan, baik dalam situasi normal atau tidak. Karena ia tetap sebagai orang mu’min yang secara pasti boleh untuk diajak bersahabat. Lafadz mu’minin dalam ayat “min dunil mu’minin” bersifat umum yang mencakup seluruh orang mu’min. Tidak ada nash yang menyebutkan larangan bersikap loyal kepada hakim yang dzolim atau fasik, atau muwalat kepada orang-orang fasik, tetapi nash-nash hanya menjelaskan larangan muwalat terhadap orang-orang kafir. Lebih dari itu, wajib hukumnya mentaati pemimpin dholim selama bukan maksiat, dan wajib berjihad dibawah panjianya. Demikian pula, boleh berjamaah dengan imam fasik. Ini adalah bukti kuat bolehnya muwalat terhadap mereka. Yang dilarang adalah menerima (ridla) dengan kefasikan dan kedholiman sang pemimpin. Dengan begitu, tidak ada istilah taqiyyah (sikap berpura-pura) terhadap pemimpin yang dzolim dan fasik. Dan hukumnya adalah haram, karena itu termasuk sifat munafik.
Lebih dari itu, wajib hukumnya memeriksa pemimpin yang dzolim atas kedzolimanya, untuk mencegah penyalahgunaan dana dan tindakan semena-mena. Dan tidak boleh bersikap taqiyyah dalam hal ini. Selanjutnya menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemimpin yang melakukan tindakan kufr, karena amar ma’ruf nahi munkar terhadap pemimpin dan yang lain hukumnya adalah wajib. Ini sangat berbeda sekali dengan pendapat yang memperbolehkan taqiyyah. Karena haram hukumnya berdiam diri atas kefasikan dan kedzoliman seorang pemimpin. Sementara taqiyyah,  dalam kondisi tertentu, menuntut untuk diam, dan hukumnya terkadang sunnah dan terkadang boleh. Ini tentu saja bertentangan dengan ayat-ayat amar ma’ruf nahi munkar, hadits- hadits yang menentang para pemimpin yang dzolim dan fasik dan hadits-hadits yang mewajibkan penyelidikan terhadap semua tindakannya. Karena itu, banyak teks-teks ayat maupun hadits yang menentang sikap taqiyyah terhadap pemimpin yang dzolim dan fasik, terhadap para penguasa yang semena-mena, atau terhadap orang yang berbeda pandangan. Dan sebaliknya, teks-teks tersebut menekankan kita melakukan kebalikannya, satu bukti bahwa  taqiyyah itu haram.
Ada satu persoalan mengenai ayat “kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” (QS.An-nahl;106), sebagian mufasir mengaitkannya dan memasukan sebagian bagian dari ayat “illa an tattaqu minhum tuqoh”. Dan ini dijadikan alasan untuk memasukan sikap menampakkan kekufuran dan menyembunyikan iman dalam kategori muwalat dan termasuk taqiyyah. Mufasir lain menjadikan ayat tersebut sebagai bukti bahwa muwalat itu hanya boleh ketika takut dibunuh, selain itu tidak boleh. Pendapat ini sungguh keliru, karena ayat “kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” tema dan situasinya berbeda. Temanya adalah keluar dari Islam saat ada ancaman dibunuh. Sementara tema ayat “illa an tattaqu minhum tuqoh” adalah larangan semua bentuk muwalat terhadap orang kafir, dan pengecualian bolehnya muwalat dalam kondisi takut akan jiwa, harta, kemaslahatan, atau tindakan lain yang menyakitkan. Tentu saja dua kasus yang berbeda satu sama lain, dan tidak bisa dikatakan salah satunya sebagai bagian dari yang lainnya. Sebab seorang muslim yang berada dibawah pemerintahan orang kafir dan tidak mempunyai kemerdekaan, tidak boleh berpura-pura keluar dari Islam untuk dapat bergaul dengan mereka, tetapi wajib baginya untuk hijrah ketika ia tidak mampu menjalankan norma-norma agamanya. Berbeda dengan muwalat, sebab itu hukumnya adalah boleh saat terdesak, ketika dia betul-betul terancam jiwanya. Dalam kondisi seperti itu, dia boleh berpura-pura kafir dengan tetap menjaga keimanannya. Selain kondisi itu tidak boleh. Karena teks ayat berbunyi “barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman”(QS.An-nahl;106). Kasusnya adalah kasus murtad, kafir setelah iman. Dan situasinya adalah ketika orang terancam jiwanya, yang oleh ulama fiqh diistilahkan dengan al-ikroh almalji’, paksaan yang oleh syara’ dijadikan standar terangkatnya hukum atas diri mukroh, orang yang dipaksa. Jadi paksaan yang yang dikecualikan syara’ adalah al-ikroh almalji’, keadaan dimana jiwanya betul-betul terancam. Dan itu diperkuat oleh turunya ayat kepada orang-orang Islam murtad karena takut. Satu riwayat menyebutkan ayat ini turun pada ‘Amar ibn Yasir.
At-Thobari berkata: “telah menceritakan kepadaku Muhamad ibn Sa’d, ia berkata: ayahku telah menceritakan kepadaku, ia berkata: pamanku telah menceritakan kepadaku, ia berkata: telah menceritakan kepadaku ayahku dari ayahnya dari Ibn Abbas, mengenai ayat “dan barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya  tetap tenang dalam beriman…”.sampai akhir ayat (Q.S: An-Nahl – 106). Ayat tersebut turun ketika kaum musyrikin menyerang dan menyiksa ‘Amar ibn Yasir, lalu meninggalkannya. ‘Amar ibn Yasir kembali kepada Rasululloh SAW dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dari kaum musyrikin dan apa yang dia ucapkan. Lalu Allah menurunkan ayat tentang alasan kekufuran dia pada Allah setelah beriman, sampai akhir ayat lahum ‘adzabun ‘alim. Basyar menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qotadah: “dan barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya  tetap tenang dalam beriman…”. (Q.S: An-Nahl – 106). Dia berkata; disebutkan ayat diatas turun pada ‘Amar ibn Yasir yang diculik Bani Al-Mughiroh dan dibuang dalam sumur Maemun. Mereka mengancam; ingkarilah Muhadamad! Lalu Amar mematuhinya dengan hati tetap beriman. Maka turunlah ayat “kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya  tetap tenang dalam beriman”. At-Thobari berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Abdul A’la, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhamad ibn Ats-Tsur dari Mu’amar dari Abdul Karim Al-Jazari dari Abu ‘Ubeid ibn Muhamad ibn ‘Amar ibn Yasir, ia berkata; kaum musyrikin menculik ‘Amar ibn Yasir dan menyiksanya sampai dia mengikuti sebagian kehendak mereka. Lalu ‘Amar menceritakan hal ini kepada Nabi SAW. Dan Nabi SAW bersabda; bagaimana dengan hatimu? ‘Amar menjawab; tetap beriman. Nabi SAW bersabda; jika mereka kembali, maka kembalilah! Beberapa hadits diatas adalah bukti bahwa sebab turunnya ayat diatas adalah kasusnya ‘Amar ibn Yasir dan temanya adalah keluar dari Islam. Sementara kondisi saat itu adalah betul-betul takut dibunuh. Ini bisa dijadikan cukup bukti bahwa tidak ada kaitan antara ayat ini dengan ayat “illa an tattaqu minhum tuqoh”. Karena ayat 106 surat An-nahl adalah ayat Makiyyah yang menjelaskan tentang tema iman, sementara ayat 28 Al-Imron adalah ayat Madaniyyah dengan tema pengecualian sebuah kondisi menghindari sesuatu yang ditakutkan dari haramnya muwalat terhadap orang kafir. Dengan begitu antara ayat ini dan sebelumnya tidak ada keterkaitan.
Masih tersisa pertanyaan mengenai hukum orang yang diancam mati secara pasti. Manakah yang lebih utama, melahirkan kekufuran dan menyembunyikan keimanannya, sehingga dia selamat? atau tetap pada keimanannnya, meski dengan konsekuensi dibunuh? Jawabannya adalah yang kedua, tetap teguh pada keimanannya, meski harus dibunuh. Karena bolehnya berpura-pura murtad adalah sebuah dispensasi dan menghilangkan kesulitan, sementara ketetapan hati pada iman adalah azimat, dan itu adalah yang asli. Diriwayatkan bahwa Musailamah mencekal dua orang, dan dia bertanya pada salah satunya; apa pendapatmu tentang Muhamad? Orang tadi menjawab; Rasululloh. Musailamah bertanya lagi; lalu pendapatmu tentang aku? Dijawab; sama, anda juga. Dan kemudian Musailamah melepas lelaki tadi. Setelah itu dia bertanya pada lelaki yang kedua; apa pendapatmu tentang Muhamad? Dijawab; Rasululloh. Lalu pendapatmu tentang saya? Orang tadi menjawab; saya bisu. Lalu Musailamah mengulangi pertanyaan sama sampai tiga kali, dan dijawab dengan jawaban yang sama. Maka dibunuhnyalah lelaki tadi. Kemudian berita itu pada Nabi SAW.  Kata Nabi SAW; “lelaki pertama telah menggunakan dispensasi (rukhsoh) Allah, sementara yang kedua bersikap jantan. Maka ketentraman menjadi miliknya”. Hadits ini mendukung argumentasidiatas bahwa orang yang sabar dan tetap pada keimanannya lebih utama dari pada mereka yang menggunakan rukhsoh Allah dan berpura-pura kafir karenan takut ancaman mati yang betul-betul nyata.
Itu jika seseorang dipaksa melakukan tindak kufur. Tetapi jika orang tadi dipaksa melakukan tindakan selain kufur, seperti meninggalkan dakwah Islam, melakukan maksiat atau sejenisnya, kebolehan melakukan tindakan itu tidak didapat dari ayat diatas. Karenanya, tidak bisa dikatakan bahwa tindakan kufur saja boleh dilakukan, apalagi tindakan yang dibawahnya, tentu lebih boleh (bab aula).Karena  maksiat tidak termasuk dalam jenisnya kufr. Maka istilah bab aula.tidak berlaku disini. Dan lagi kasus ini tidak boleh dikiyaskan dengan kafi, karena tidak ditemukan illat (titik temu) antara duanya sebagai syarat qiyas. Namun begitu, seseorang yang takut akan jiwanya dengan diancam mati, dan dipaksa melakukan maksiat, atau tindakan lain selain kufr, dia boleh melakukan itu demi menyelamatkan jiwanya, dan dia tidak berdosa, berdasarkan hadits; “telah diangkat dari umatku keliru, lupa dan terpaksa”. Artinya telah diangkat dosa dan hukum, maksudnya ia boleh melakukannya, tetapi hanya pada saat ia betul-betul terancam jiwanya. Inilah yang dalam isltilah ulama fiqh al-ikroh al-mulji’. Dan inilah yang dapat menghapus hokum atas orang yang dipaksa. Contohnya adalah seperti talak, kawin, jual-beli dan lain-lain, baik berupa tindakan atau transaksi. Lafadz ‘wa ma ustukrihu’ artinya adalah paksaan yang memaksa.


Hijrah dari Wilayah Kafir Menuju Wilayah Islam

Hijrah adalah keluar dari wilayah kafir menuju wilayah Islam. Allah berfirman; “sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya; dalam keadaan bagaimana kamu ini?. Mereka menjawab: adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berkata; bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berjirah di bumi itu?. Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.*) Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), *) mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha pemaaf lagi maha pengampun”.(Q.S. An-Nisa; 97-99)

Abu Daud meriwayatkan melalui Jarir ibn Abdullah dari Nabi SAW. beliau bersabda; saya bebas dari setiap muslim yang berada ditengah-tengah kaum musyrikin, para sahabat bertanya; kenapa ya Rasululloh? Beliau menjawab; cahaya keduanya tak tampak. Karenanya, hijrah dari wilayah kafir menuju wilayah Islam masih ada dan tidak pernah berhenti. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tak ada lagi hijrah setelah fath makkah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dari sabdanya Nabi SAW; “tak ada hijrah setelah pembebasan kota Makkah”, dan hadits “ tak ada hijrah setelah pembebasan sebuah kota”, dan lagi “hijrah telah selesai, tetapi hanya jihad dan niat”, dan riwayat tentang Sofwan ibn Umayyah ketika ia masuk Islam. Dia mendapat informasi bahwa tak ada agama bagi seseorang yang tidak berhijrah. Dia datang ke Madinah, lalu Nabi saw. bertanya; apa yang membawamu kemari wahai Abu Wahb? Sofwan menjawab; seseorang mengatakan tiada agama bagi orang yang tidak berhijrah. Lalu Nabi saw. bersabda; kembalilah Abu Wahb ke dataran Makkah yang luas! Tinggalilah rumah kalian semua, hijrah telah tiada, yang ada hanya jihad dan niat, dan jika kalian ingin lari, maka larilah!”.
Hanya saja, meski hadits-hadits diatas menyatakan hijrah telah tiada setelah pembebasan kota Makkah, namun itu disertai illat syar’iyah yang terdapat hadits itu sendiri. Karena, kalimat setelah pembebasan Makkah mengandung illat. Itu sama seperti hadits yang diriwayatkan Ibn Hibban, “janganlah kalian jadikan minuman keras kurma dan anggur secara bersamaan”. Sebab lafadz Jami’an merupakan alasan dilarangnya pembuatan minuman keras. Jadi, pembebasan kota Makkah adalah ‘illat ditiadakannya hijrah. ‘Illat  inilah yang menentukan hukum ya dan tidaknya. Dan itu tidak terbatas pada kota Makkah semata, tetapi semua kota yang telah dibebaskan, dengan dalil satu riwayat yang tidak menyebutkan nama kota secara spesifik, tiada hijrah setelah pembebasan. Dan ini didukung oleh hadits Bukhori dari ‘Aisyah; beliau ditanya tentang hijrah, lalu dijawab; tidak ada hijrah hari ini. Dulu orang mu’min lari dengan membawa agamanya kepada Allah dan Rasululloh saw. karena takut mendapatkan fitnah. Adapun sekarang, Allah telah memberikan kemenangan pada Islam. Dan orang mu’min dapat menjalankan ibadah kepada Tuhannya dimanapun dia mau”. Hadits itu jelas menunjukkan bahwa hijrahnya orang Islam sebelum pembebasan Makkah itu karena ingin menyelamatkan agamanya dari fitnah. Dan setelah pembebasan Makkah, hal itu tidak terjadi lagi, karena orang Islam telah berani menampilkan agamanya dan menjalankan hukum-hukum Islam. Jadi pembebasan sebuah daerah adalah sebuah faktor ditiadakannya hijrah, dan tidak sebatas kota Makkah belaka. Dengan begitu, yang dikehendaki adalah tidak ada hijrah setelah pembebasan, dari satu daerah yang telah dibebaskan. Sementara sabda Nabi saw. kepada Sofwan hijrah telah selesai, artinya hijrah dari Mekkah setelah kota tersebut dibebaskan. Karena yang namanya hijrah adalah keluar dari negeri kafir atau wilayah kafir. Ketika wilayah tersebut telah dibebaskan dan statusnya menjadi wilayah Islam, tidak ada lagi negeri kafir atau wilayah kafir, maka tak ada lagi hijrah. Dan itu berlaku pada semua negeri yang dibebaskan, tak ada lagi hijrah dari wilayah tersebut. Dan ini didukung oleh Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad melalui Mu’awiyah, ia berkata; saya mendengar Rasululloh saw. bersabda; “hijrah tak pernah berhenti selamat taubat masih diterima, dan taubat akan terus diterima sampai matahari terbit dari barat”. Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda; “hijrah tak akan pernah berhenti selama masih ada jihad”. Dalam riwayat lain; “Hijrah tak akan pernah berhenti selama orang-orang kafir masih diperangi”. Semua itu menunjukkan bahwa hijrah dari wilayah kafir menuju wilayah Islam masih ada dan tidak berhenti. Sedangkan hukum hijrah bagi mereka yang mampu, dalam kondisi tertentu, bisa wajib atau sunah. Sementara mereka yang tidak mampu, Allah memaafkannya dan dia tidak dituntut melakukannya. Itu karena ketidaksanggupannya melakukan hijrah, mungkin karena sakit, dipaksa untuk tidak hijrah atau lemah, seperti para wanita, anak-anak dan yang menyamai mereka, seperti yang tertuang dalam bagian akhir ayat hijrah.
Orang yang mampu hijrah dan dia tidak mampu menampilkan agamanya, tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Islam yang harus dilaksanakan, maka wajib baginya untuk berhijrah. Dalam ayat hijrah disebutkan; “sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya; “dalam keadaan bagaimana kamu ini?”, mereka menjawab; “adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata; “bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berjirah di bumi itu?”. orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-seburuk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa; 97).
Bentuk khabar dalam ayat berarti amar, perintah. Itu termasuk bentuk-bentuk tuntutan, seakan-akan Allah berfirman; berhijrahlah!. Tuntutan dalam ayat ini disertai ta’kid, penegasan dan ancaman berat bagi yang tidak berhijrah. Tuntutan itu sifatnya tegas, satu bukti bahwa hijrah dalam kondisi seperti ini hukumnya adalah fardlu yang berdosa ketika ditinggalkan. Adapun orang yang mampu hijrah, tetapi dia mampu mengekspresikan agamanya dan melaksanakan tuntutan-tuntutan syara’, maka hijrah baginya adalah sunnah, dan tidak wajib. Disunahkan, karena Rasululloh saw. memilih hijrah dari makkah sebelum dibebaskan dan statusnya masih sebagai wilayah kafir. Beberapa ayat jelas-jelas menyatakan itu. Allah berfirman; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah; 218) dan ayat “orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (Q.S. At-Taubah; 20), juga ayat “...Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, namun belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka...” (Q.S. Al-Anfal; 72), begitu pula ayat “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga)...” (Q.S. Al-Anfal; 75). Semua ayat diatas secara tegas menuntut hijrah. Sementara ketidakwajiban hijrah karena Rasululloh saw. telah mengakui kaum muslimin yang tetap tinggal di Makkah. Diriwayatkan bahwa Nu’aim An-Nahham ketika akan hijrah didatangi kaumnya, Bani ‘Ady. Mereka berkata pada Nu’aim; tetaplah bersama kami, dan kamu tetap pada agamamu, kami akan menjagamu dari orang-orang yang ingin menyakitimu, dan cukupkanlah kami apa yang kamu cukupkan pada kami. Lalu Nu’aim berdiri dengan anak-anak yatim dan janda-janda Bani ‘Ady. Dia tidak berhijrah dalam masa tertentu, setelah itu baru ia berhijrah. Maka Nabi saw. berkata kepadanya; umatmu lebih baik bagimu daripada umatku terhadapku. Umatku mengeluarkan aku dan hendak membunuhku, sementara umatmu justru menjagamu. Lalu Nu’aim berkata; wahai Rasululloh saw., umatmu mengeluarkanmu menuju taat pada Allah dan memerangi musuh-Nya, sementara umatku justru menghalangiku untuk berhijrah dan taat pada Allah.
Ini semua terjadi di wilayah kafir tanpa melihat apakah penduduknya adalah kaum muslimin atau kafir. Karena suatu status wilayah tidak ditentukan oleh penduduknya, tetapi oleh aturan yang diterapkan dan jaminan keamanan bagi penduduk wilayah tersebut. Karenanya, tidak ada perbedaan antara Indonesia, Somalia dan Yunani.
Hanya saja, orang yang mampu menampilkan agamanya dan menjalankan hukum-hukum syari’at, ketika sanggup merubah status wilayah yang dia tempati dari wilayah kafir menjadi wilayah Islam, maka haram baginya, dalam kondisi itu, keluar dari wilayah tersebut ke wilayah Islam. Baik itu dengan kemampuannya sendiri yang dia miliki, dengan kekuatan kaum muslimin di wilayah itu, dengan meminta bantuan umat Islam dari luar, dengan kerjasama dengan negara-negara Islam, atau dengan cara apapun. Wajib baginya berbuat demi misi merubah status wilayah kafir menjadi wilayah Islam. Dan haram hukumnya hijrah dari wilayah tadi. Karena, negara dimana dia tinggal, jika dihuni oleh orang-orang kafir dan menggunakan sistem kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk memerangi penduduknya sebelum mereka masuk Islam, atau membayar jizyah dan menerapkan hukum-hukum Islam. Kewajiban itu, tentu saja, berlaku bagi dia sebagai orang Islam dan sebagai orang yang dekat dengan musuh. Dan jika negeri itu dihuni oleh umat Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam, tapi dengan sistem kafir, maka wajib bagi kaum muslimin untuk memerangi para pemimpinnya sampai mereka memberlakukan hukum-hukum Islam. Dan sebagai bagian dari komunitas kaum muslimin yang menerapkan hukum kafir, dia wajib berperang dan mempersiapkannya jika dia sanggup melakukannya.
Orang muslim yang hidup di wilayah kafir tak akan lepas dari dua kondisi diatas, wajib memerangi orang-orang kafir yang berada di sekitarnya, atau memerangi pemimpin yang tidak memberlakukan hukum Islam. Keluar dari wilayah kafir yang tidak menerapkan hukum Islam, dalam dua situasi diatas, berarti lari dari kewajiban jihad dari tempat dimana dia berada, atau lari dari memerangi pemimpin yang menerapkan sistem kafir. Dua-duanya, dalam pandangan Allah, adalah  dosa besar. Karena itu, bagi orang yang mampu membalikkan status wilayah kafir menjadi wilayah Islam, tidak boleh berhijrah selama dia memiliki kemampuan merubah keadaan itu. Ketentuan itu berlaku sama bagi negara-negara Turki, Spanyol, Mesir, Albania tanpa ada perbedaan selama mereka menerapkan sistem kafir.


Sikap Islam Terhadap Budak dan Perbudakan


Islam datang ketika perbudakan sudah menjadi bagian dari kehidupan di mana-mana. Dan  praktek perbudakan sudah menjadi sistem yang dipakai oleh seluruh umat. Tak ada satu wilayahpun yang bebas dari budak dan praktek perbudakan. Islam melihat problem ini berkaitan dengan dua hal; pertama: Berkaitan dengan realita para budak yang diperlakukan sebagai budak. Mereka dianggap sebagai kelompok kelas dua, dianggap seperti barang dagangan yang diperjual-belikan, dan ditawar. Maka solusi untuk mengatasi problem ini adalah  membebaskan mereka. kedua; berkaitan dengan praktek perbudakan. Untuk mengatasi problem ini adalah dengan meminimalisir praktek tersebut. Karenanya, banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits yang menawarkan solusi untuk mengatasi dua problem diatas dengan solusi yang positif bagi manusia dengan didasari pada realita manusia dan realita interaksi antar manusia.

 

Menangani Budak


Islam telah menawarkan solusi yang dapat meringkankan status perbudakan dan membebaskannya secara paksa atau pilihan. Islam telah membuat aturan-aturan seputar kasus ini yang telah diuraikan secara detail oleh ulama fiqh. Hukum-hukum tersebut adalah;
1- Islam menemukan manusia memiliki hamba sahaya. Maka Islam menawarkan solusi mengatasi persoalan budak diantara para majikan, dengan menjamin hak-hak budak, dan menjaga statusnya sebagai manusia seperti orang merdeka dari segi karakter-karakter yang dimiliki manusia. Allah telah berwasiat dalam al-Qur’an, seperti halnya Rosul dalam hadits agar berbuat baik terhadap hamba sahaya dan berhubungan dengan mereka dengan baik. Allah berfirman; “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibn sabil, dan hamba sahaya kalian”.(Q.S. An-Nisa, 36). Yang dimaksud dengan “Ma malakat aimânukum”  adalah hamba sahaya. Rasululloh saw. bersabda; “takutlah pada Allah dengan hamba sahaya kalian, mereka adalah saudara kalian yang Allah jadikan dibawah kekuasaan kalian. Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, berilah pakaian dengan apa yang kalian pakai, jangan membebani mereka dengan beban yang memberatkan, jika kalian membebani mereka, maka tolonglah mereka”, diriwayatkan oleh Muslim. Dari rowi yang sama melalui Abu Hurairah; bersabda Rasululloh saw.: “janganlah salah seorang dari kalian mengatakan “’abdi wa amati” (budak lelakiku dan budak perempuanku). Kalian semua adalah hamba Allah dan wanita-wanita kalian adalah hamba perempuan Allah. tetapi berkatalah ghulami wa jariyati, fataya wafatati (pembantu laki-laki dan pembantu perempuaku)”. Syara’ telah mengangkat derajat budak dan menjadikannya sama seperti orang merdeka, dengan menjadikan darahnya terjaga, dimana orang merdeka akan dibunuh dengan sebab membunuh budak. Allah berfirman; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishosh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…”(Q.S. Al-Baqarah; 178).
Qisos adalah pembalasan dan menghukum orang yang menganiaya. Dengan begitu, qisos mempunyai makna ganda; membalas perbuatan dosa dan melakukan terhadap pelaku seperti yang telah ia lakukan. Makna “kutiba alaikumul qishoshu fil qotla” adalah  diwajibkan atas kalian sebagai balasan perbuatan dosa yang berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh agar membunuh si pembunuh. Dan ini berlaku umum, laki-laki, perempuan, orang merdeka dan hamba. Makna diatas didukung oleh hadits yang diriwayatkan Ibn Majah melalui Ibn ‘Abbas sabda Nabi saw.; “orang Islam itu sepadan darahnya”. Dan ini sifatnya umum. Orang merdeka dan hamba sama. Darah keduanya dijaga dan haram dibunuh. Dan pembunuhnya, siapapun orangnya, akan dibunuh. Dengan begitu, Islam telah menjadikan jiwa dan darahnya hamba sama dengan jiwa dan darahnya orang merdeka. Rasululloh saw. bersabda; “barangsiapa membunuh hambanya, maka kami akan membunuhnya”, diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud melalui Samroh ibn Jandab. Islampun telah memberikan kepada hamba hak berumah tangga, hak talak, hak belajar dan hak sebagai saksi atas orang lain, orang merdeka atau sesama hamba.
Sementara pemberian hak terhadap sang majikan untuk bersenang-senang (istimta’) dengan hambanya adalah demi mengangkat martabat hamba dan membebaskan hamba. Sebab dengan bersenang-senangnya sang majikan dengan hambanya layaknya seorang suami terhadap istrinya,  martabat hamba menjadi terangkat seperti martabatnya seorang istri yang merdeka, dan menempatkannya pada sebuah kedudukan dimata majikannya. Lebih dari itu, dengan istimta’, seorang hamba akan mengandung dan melahirkan yang dengan kematian sang majikan, statusnya menjadi merdeka secara otomatis.
2- Islam menekankan pelepasan budak. Dengan melepaskan budak, seseorang dapat mensyukuri nikmat Allah yang sempurna dan dapat menempuh jalan yang berliku. Allah berfirman; “maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”. (Q.S. Al-Balad; 11-13). Kata Iqtiham berarti menembus dan melewati kesulitan. Al-aqobah; rintangan. Amal-amal sholeh adalah ‘aqobah, dan mengamalkannya berarti menempuh rintangan itu, karena di dalamnya terdapat penderitaan dan perjuangan. Dan arti Fakkur roqobah adalah membebaskannya dari perbudakan. Maka Allah menganjurkan dalam ayat itu untuk membebaskan budak. Demikian pula Rasululloh sangat menekankan pembebasan budak. Beliau bersabda; “siapa saja membebaskan hamba Islam, maka Allah akan menyelamatkan dari setiap anggota hamba, anggota orang tersebut dari api neraka”. Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Dengan demikian, jelaslah, Islam sangat menganjurkan pembebasan budak dan membalasnya dengan pahala yang besar.
3- Islam telah memberlakukan norma-norma yang menetapkan pembebasan budak,  seperti pemberlakuan status merdeka secara otomatis terhadap hamba yang dimiliki oleh kerabat muhrimnya sendiri, baik si pemilik senang atau tidak senang, memerdekakan atau tidak. Jadi setiap  orang yang memiliki kerabat muhrim dengan membeli atau warisan, secara otomatis hamba tadi menjadi merdeka, hanya karena ia dimiliki oleh kerabatnya, tanpa harus ada niat membebaskan dari si pemilik. Abu Daud meriwayatkan dari Al-hasan dari Samroh bahwa Nabi saw. bersabda; “barangsiapa memilki kerabat muhrim, maka ia merdeka”. Demikian pula, Islam menetapkan penyiksaan terhadap hamba, seperti membakar, memotong, merusak bagian tubuhnya, atau memukulnya dengan pukulan yang menyakitkan, sebagai hal yang menetapkan kemerdekaan hamba. Kalau sang majikan tidak membebaskannya, maka hakim yang membebaskannya dari sang majikan. Nabi saw. bersabda; “barangsiapa yang menampar atau memukul hambanya, kafaratnya adalah dengan membebaskan hamba itu”, diriwayatkan oleh Muslim melalui Ibn Umar. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang menyakitkan, karena ada hadits yang memperbolehkan majikan memukul hambanya dengan pukulan mendidik. Dan Islampun menetapkan pembebasan budak sebagai kafarat untuk sejumlah dosa. Barangsiapa membunuh orang mu’min karena kekeliruan, maka kafaratnya adalah membebaskan hamba sahaya wanita yang mu’min. Allah berfirman; “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena salah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara merka dengan kalian, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min…” (Q.S. An-Nisa; 92). Dan barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka pembayaran kafaratnya adalah dengan memerdekakan hamba sahaya. Firman Allah; “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja. Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak..”, (Q.S. Al-Maidah; 89).
Demikian pula seseorang yang melakukan dzihar terhadap istrinya, dengan mengucapkan “kamu terhadapku seperti punggung ibuku”, lalu dia kembali kepada istrinya, maka kafaratnya adalah membebaskan budak. al-Qur’an menyebutkan; “Orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur…”(Q.S. Al-Mujadalah; 3). Sama halnya seseorang yang merusak puasa Ramadlan dengan jima’, kafaratnya dengan memerdekakan budak. Dari Abu Hurairah, ia berkata; datang seorang lelaki kepada Rasululloh saw., lalu dia berkata; aku telah celaka wahai Rasululloh. Nabi bertanya; apa yang membuatmu celaka? Si lelaki tadi menjawab; aku telah menyetubuhi isteriku di bulan Ramadlan. Nabi bertanya; apakah kamu punya sesuatu yang bisa kamu merdekakan? Si lelaki menjawab; tidak. Nabi saw. bertanya; apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Lelaki itu menjawab; tidak. Nabi saw. bertanya lagi; apakah kamu mempunyai makanan yang kamu berikan kepada enam puluh orang miskin? Laki-laki itu menjawab; tidak. Rawi berkata; Lalu Nabi saw. duduk, lalu didapatinya sekeranjang jerami yang berisi kurma. Nabi berkata; sedekahlah dengan ini! Lelaki tadi berkata; apakah kepada orang yang lebih fakir dari kami?  Tidak ada keluarga di lingkungan kami yang lebih fakir dari kami. Nabi saw. tersenyum sampai kelihatan gerahamnya. Lalu Nabi saw. berkata; pergilah dan berikan pada keluargamu!”. Dan yang pertama kali diperintahkan Nabi adalah memerdekakan budak, dan tidak langsung memberikan pilihan yang lain sebelum orang tadi betul-betul tidak mampu melakukannya. Semua hukum-hukum kafarat diatas, mewajibkan seorang mukaffir (orang yang terkena kafarat) untuk memerdekakan budak.
Tidak cukup sampai disitu, Islam memberikan solusi yang dapat dilakukan hamba untuk memerdekakan dirinya sendiri, dan bagi pemilik akan mendapatkan ganti dari harga seorang hamba. Ini akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan mukatab. Islam memilih solusi ini seperti yang tertuang dalam al-Qur’an, “…dan budak-budak yang kalian miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kalian buat perjanjian dengan mereka. jika kalian mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakanNya kepadamu…” (Q.S. An-Nuur, 33). Ketika sang majikan melakukan transaksi mukatabah terhadap hambanya dengan mengucapkan; “jika kamu dapat menyerahkan sejumlah uang dalam masa tertentu, kamu merdeka”, maka wajib baginya memberikan peluang terhadap hamba agar dapat bekerja sampai didapat sejumlah uang disepakati. Dan ketika hamba menyerahkan uang, maka sang majikan wajib membebaskan hamba tadi. Dan tidak sah hukumnya mencabut perjanjian mukatabah. Dalam istilah fiqh Mukatabah  adalah membebaskan hak milik saat itu juga dan status budak ketika sudah lunas. Artinya, ketika  akad kitabah sah, maka seorang hamba sudah keluar dari genggaman sang majikan. Dan setelah dia menyerahkan sejumlah uang (sebagai ganti), dia telah keluar dari milik tuannya.
Semua ketentuan diatas berorientasi membebaskan hamba sahaya. Metode yang dipakai adalah dengan penekanan dan anjuran, dan juga dengan pemberlakuan hukum-hukum yang dilaksanakan negara secara paksa, ketika seseorang tidak melaksanakannya. Semua itu adalah ketentuan yang mewujudkan pola pikir dan tindakan terhadap majikan dengan memerdekakan budak, dan terhadap hamba untuk bekerja demi membebaskan dirinya dari perbudakan. Dan ini adalah cara untuk mengakhiri perbudakan dalam masyarakat.
4- Tidak cukup hanya dengan anjuran dan penetapan undang-undang yang berorientasi pada pembebasan para budak, Islampun menetapkan dalam baitul malil muslimin alokasi khusus untuk membebaskan budak dengan memasukannya sebagai golongan yang berhak menerima zakat. Firman Allah dalam surat At-Taubah, 60 menyebutkan “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, orang0orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Yang dimaksud dengan ar-Riqob adalah membebaskan budak. Dalam ayat tidak ditentukan kadar yang dialokasikan untuk pemerdekaan budak. Dan itu diserahkan kepada Negara untuk menetapkan kadar tertentu. Bahkan negara boleh mengalokasikan semua harta zakat untuk pembebasan budak, ketika pengalokasian untuk kelompok lain tidak begitu mendesak. Karena pentasarufan zakat tidak harus untuk semua golongan yang delapan, tetapi boleh ditentukan satu golongan saja sesuai dengan sekala prioritas.


Mengatasi Perbudakan


Sistem perbudakan telah menjadi bagian dari kehidupan masa lampau sebelum Islam datang. Orang yang berhutang dan mengalami kepailitan akan terkena dampak dari sistem ini, ia akan menjadi budak dari orang yang memberinya pinjaman. Seseorang yang menjadi budak akan mendapatkan hukuman dari tindakan kriminal atau kesalahan yang ia lakukan. Sistem inipun memberikan peluang bagi orang merdeka untuk menjadikan dirinya sebagai budak, dan menjualnya kepada orang lain dengan syarat akan dimerdekakan kembali setelah masa yang disepakati keduanya. Suku yang kuat akan memperbudak suku yang lemah. Begitupula dengan para tawanan perang, mereka semua akan  menjadi budak. lebih dari itu, semua penduduk satu wilayah menjadi budak bagi yang menguasai mereka. Namun demikian, ada juga sistem yang membatasi hanya terhadap tawanan perang yang dijadikan sebagai budak. Jadi seseorang yang tertawan dalam sebuah peperangan yang dijadikan budak, maka statusnya adalah sebagai budak.
Itulah fenomena kehidupan sebelum datangnya Islam. ketika Islam datang, ditetapkanlah aturan-aturan yang anti perbudakan. Masalah perang mendapat porsi penjelasan sendiri. Seorang debitur yang mengalami pailit ditangguhkan sampai ia mampu untuk membayar hutang-hutangnya. Allah berfirman; “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan...”, (Q.S Al-Baqarah; 280). Islampun menjelaskan hukuman-hukuman sebab tindak kriminal secara detail, terutama hal pencurian yang pada masa pra-Islam hukumanya adalah dijadikan budak. Dan itu digambarkan dalam al-Qur’an, “mereka menjawab; balasannya ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam  karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya)…”, (Q.S Yusuf; 75). Islam menetapakn hukuman pencurian adalah potong tangan. Firman-Nya menyebutkan; “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan….” (Q.S Al-Maidah; 38).
Perjanjian antara budak dengan tuannya adalah perjanjian atas dasar memerdekakan, bukan sebaliknya, memperbudak. Dan Islam melarang keras memperbudak orang-orang merdeka. Nabi saw. bersabda; “tiga golongan dimana saya adalah musuh mereka pada hari kiamat. Pertama, orang yang memberikan kepadaku, lalu berhianat. Kedua, orang yang menjual orang yang merdeka lalu memakan harganya. Dan ketiga, orang yang memperkerjakan orang lain, setelah dikerjakan, ia tidak membayarkan upahnya”, diriwayatkan oleh Al-Bukhori. Allah membenci penjual orang merdeka.
Islam menjelaskan secara detail hal-hal yang berhubungan dengan perang. Islam melarang memperbudak tawanan secara mutlak. Pada Tahun kedua Hijrah, Islam menjelaskan hukum tawanan, yaitu; melepas mereka tanpa tebusan, atau dengan tebusan dengan harta atau dengan melepas tawanan yang sama dari orang Islam atau dzimmi. Dengan begitu Islam melarang memperbudak para tawanan. Allah berfirman; “Apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kalian telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kalian boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti…” ( Q.S. Muhamad; 4). Ayat tersebut secara shorih menjelaskan perihal tawanan perang; membebaskan atau menerima tebusan, dan tidak bisa diartikan lain. Secara Bahasa hukum tawanan perang hanya ada dua; membebaskan atau menerima tebusan. Karena lafadz Imma berarti memilih antara dua hal. Dalam hal ini pilihan itu hanya al-mann atau al-fida.
Timbul satu persoalan yang menjadi polemik. Yaitu ketika seorang khalifah memandang perlu untuk memperbudak tawanan. Ini mengingat Nabi saw. melakukan praktek perbudakan setelah turunnya ayat diatas. Sebab ayat itu turun pada tahun kedua Hijrah saat permulaan perang antara Rasul dengan orang kafir Quraisy. Dan Rasululloh saw. memperbudak tawanan saat perang Hunain. Dan tindakan Rasul adalah syariat, sebagaimana ia adalah tafsir terhadap ayat al-Qur’an. Maka kenapa dilarang memperbudak tawanan perang berdasarkan ayat ini, sementara setelah turun ayat tersebut Rasul justru melakukannya? Jawabanya adalah; bahwa tindakan dan ucapan Rasul berkaitan dengan ayat al-Qur’an bisa sebagai penjelas makna global, pembatas makna mutlak, penyempit makna umum.  Dan tidak ada yang bersifat menganulir (naskh) al-Qur’an. Ayat tawanan perang itu bukanlah ayat mujmal yang butuh pada penjelasan lebih, bukan pula ayat ‘Am yang berarti ditakhsis, bukan juga mutlak sehingga di batasi. Kalau betul Nabi memperbudak tawanan setelah turunnya ayat, berarti tindakannya adalah menganulir ayat diatas. Dan itu tidak boleh. Lebih dari itu, hadits yang menjelaskan tindakan Rasul itu adalah hadits Ahad. Hadits itu bertentangan dengan ayat tawanan “membebaskan mereka atau menerima tebusan”. Ketika hadits Ahad bertentangan dengan dalil-dalil qoth’I dari ayat al-Qur’an dan hadits, maka hadits Ahad tersebut ditolak. Dengan demikian, tidak bisa dijadikan pegangan hadits yang menjelaskan bahwa Rasululloh saw. memperbudak tawanan perang setelah turunnya ayat tawanan. Sebab realitanya pada saat perang Hunain, kaum musyrikin membawa kaum wanita dan anak-anak untuk memperkuat pasukannya. Setelah mereka kalah, maka para wanita itu menjadi tawanan dan dibagikan kepada pasukan kaum muslimin. Ketika pulang dengan membawa tawanan, Nabi memberikan hak pasukannya, yaitu tawanan dengan kelembutan hati dan mengembalikan tawanan kepada keluarganya. Ini bukti bolehnya memperbudak tawanan, yaitu para wanita dan anak-anak yang ikut berperang demi memperkuat barisan musuh. Pada saat itu, Rasululloh saw. tidak memperbudak tawanan saat perang Khaibar. Ketika memenangkan perang Khaibar, Rasululloh saw. membiarkan mereka para tawanan tetap merdeka dan tanahnya tetap milik mereka. Mereka dapat bercocok tanam dengan menyerahkan separuh hasil panennya. Berkata Abu Ubaid tentang saby (sebutan untuk tawanan perang wanita dan anak-anak), “seorang imam diberi pilihan dalam tawanan wanita selama belum dibagi, ketika sudah dibagikan, maka tak ada pilihan kecuali bersikap lembut kepada mereka, seperti yang dilakukan oleh Rasul saw pada tawanan perang Hunain. Namun Nabi saw tidak melakukan hal itu saat perang Khaibar, karena Rasul membiarkannya tetap merdeka.
Sementara terhadap pasukan perang laki-laki ketika dijadikan tawanan, Rasululloh saw. belum pernah memperbudak satu orangpun dari mereka. Tidak benar jika beliau telah memperbudak tawanan perang, dari Barat, Yahudi, juga Nasrani. Lafadz asiir, ketika dimutlakkan, berarti tawanan perang laki-laki. Sementara untuk wanita dan anak-anak menggunakan lafadz sabyu. Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam melarang memperbudak tawanan perang laki-laki. Sementara untuk saby, tawanan wanita dan anak-anak, seorang imam diberikan pilihan antara melepaskan dan memperbudak mereka, dan tidak ada tebusan. Hal ini pernah dilakukan Rasululloh saw. pada tawanan wanita Hunain. Namun akhirnya beliau melepaskan mereka. Sementara pada perang Khaibar, Nabi saw. membiarkannya tetap merdeka, dan tidak memperbudak mereka. Ketentuan ini jika para wanita dan anak-anak itu ikut terjun di arena pertempuran. Tetapi jika mereka tetap berada di rumah masing-masing, maka tidak boleh diapa-apakan. Tindakan khalifah dalam masalah memperbudak tawanan wanita itu harus dengan pertimbangan strategi peperangan dalam memperlakukan musuh, dan bukan atas dasar ingin memperbudak mereka. Dan semuanya diserahkan pada kebijakan khalifah dengan mempertimbangkan kemaslahatan.
Dari uraian diatas, jelaslah bahwa Islam telah menawarkan solusi dalam memberantas praktek perbudakan. Islam melarang semua kondisi yang bisa terjadi praktek perbudakan. Dan Islam memberikan pilihan pada khalifah dalam kasus saby dengan memperhatikan sikap terhadap musuh. Dengan begitu, ia telah menetapkan untuk memperbudak tawanan wanita. Apalagi tidak dibenarkan mengikutsertakan wanita dan anak-anak dalam barisan perang seperti yang berlaku dalam peperangan modern selama beberapa kurun sampai sekarang. Tidak ada satu kondisi yang memberikan peluang praktek perbudakan. Itulah bukti bahwa Islam melarang praktek perbudakan.



· maksudnya daerah tersebut menjadi gelap oleh asap (penerjemah)
· nama daerah di wilayah Mushol, Irak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia
Science is My Way of Life