oleh Muhsin Labib
Setelah memastikan tertarik untuk memiliki salah satu barang yang dipamerkan, Agus langsung memutuskan untuk membelinya. Beberapa lembar uang diberikan. Saat penjual menawarkan diri untuk memberikan penjelasan tentang detail barang yang dibelinya juga cara penggunaannya, dia dengan enteng menjawab, “Saya sudah tahu. Anda tidak perlu bersusah payah menjelaskannya.”.
Sementara Budi, setelah memastikan sebuah alat yang akan dibelinya, mengeluarkan beberapa lembar uang untuk membelinya. Saat petugas akan memasukkan barang itu ke dalam kardus, Budi minta waktu sebentar kepada penjual untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang produk itu, cara penggunaannya, voltage, sistem garansi, dan segala hal yang perlu diketahuinya.
Masing-masing pulang ke rumah dengan membawa barang belanjaannya. Karena euphoria dengan kulkas besar yang baru dibeli, Agus ingin mendemonstrasikannya di depan anak-anaknya. Begitu dinyalakan, kabel penghubung listrik terbakar, dan seketika listrik padam.
Tanpa menunda-nunda, Agus langsung menelpon toko penjual. Dia marah dan melontarkan kritik pedas bahkan sampai caci maki dan ancamanan menggugat.
“Sabar dulu, Pak. Bukankah sejak semula kami telah menawarkan untuk memberikan penjelasan perihal spesifikasi dan aturan pakainya? Namun, menurut petugas kami, Bapak menolak dengan alasan sudah mengetahui caranya”.
Suhu amarah Agus menurun. Dia sadar bahwa dia memang menolak tawaran itu.
“Kalau begitu, saya minta diganti,” tukas Agus.
“Eh, maaf, Pak. Sesuai dengan keterangan yang tertera dalam akta pembelian yang Bapak tandatangani, penggantian barang hanya bisa dilakukan bila barang terbukti rusak atau cacat dari toko,” jawab petugas layanan konsumen itu.
Agus naik pitam lagi.
“Kalau begitu, saya harap kulkas saya diperbaiki sesuai dengan garansinya,”
“Eh, sekali lagi mohon maaf. Kami perlu informasikan, sesuai surat perjanjian pembelian yang Bapak tandatangani, service gratis hanya diberikan apabila tidak ada mesin atau hardware yang perlu diganti. Bila tidak ada yang perlu diganti, kami dengan hati memberikan service gratis,”
“Jadi, bagaimana ini?”
“Kami harus memeriksanya dulu. Bisa minta nomer hp yang bisa dihubungi? Karena petugas kami sudah berada di lapangan melayani konsumen yang sudah janji sebelumnya. Kami usahakan Rabu , lusa, petugas service kami akan melihat kulkas Bapak. Ohya, apakah alamat yang ada pada kami sudah lengkap?”
“Ya,” jawab Agus singkat bercampur kesal.
“Ok, Pak, kami akan segera memprosesnya. Ada lagi yang bisa kami bantu?” tanya petugas itu sopan.
“Oh ya , berapa lama perbaikannya?”
“Itu tergantung kerusakannya, Pak. Kalau memerlukan pergantian mesin, mungkin akan memakan waktu sekitar 10 hari karena kami menunggu kiriman sparepartnya dari Jepang,” jawabnya.
“Ok,” sahut Agus menahan kekesalannya.
“Baik, Pak, terimakasih.”
Lengkap sudah derita Agus. Selain gagal mendemonstrasikan belanjaan barunya dan dia harus menanggung malu di hadapan anak-anaknya karena kerusakan itu adalah akibat dari keteledorannya (baca: menganggap simple semua konsep dan metode), dia juga ha
Agus tidak sendirian. Malah sebagian besar orang sama dengan dia; berpikir simple atau dengan bahasa sederhana “tidak suka yang njelimet”. Simplifikasi ini terjadi dalam hampir setiap peristiwa dan tindakan. Ringkasnya, sebagian besar orang lebih memilih “berpikir sederhana” dan tanpa sadar memilih “bertindak rumit”. Karena menyepelekan gagasan dan metode, dia harus babak belur dalam aplikasi, bahkan sangat mungkin mengalami kagagalan dan kerugian.
Lucunya, para penganut “simple thinking” ini, karena tidak mampu memulai dengan berpikir epistomologis, setiap kali kepentok akibat-akibat fatal, bisa berapologi dengan metode “learning by doing” atau “trial and error”. Meski tidak sepenuhnya tertolak, metode tersebut hanya pantas dipakai saat opsi berpikir filosofis dan argumentatif tidak tersedia.
Tipe manusia seperti Budi bisa dianggap langka dan tidak popular, karena terkesan cerewet dan bawel. Biasa dicibir dengan complicated person atau old style. Meski begitu, Budi mengutamakan kerumitan dalam berpikir supaya simple (sederhana) dalam aplikasi dan aksi. Budi yang telah memahami secara komprehensif aturan pakai dan mengetahui secara detail spesifikasi kulkas yang dibelinya, tidak mengalami kerumitan saat mengoperasikannya.
Fenomena “sederhana’ dan “ruwet” ini tidak hanya terlihat dalam urusan jual beli dan persoalan-persoalan keseharian, tapi meliputi semua proses kehidupan dan memasuki semua ruang, termasuk dalam pemahaman keagamaan, paradigma hidup dan managemen diri.
Para filosof dan para pemikir, yang oleh sebagian teknokrat dan industrialis dan kaum profesional, dianggap sebagai pembual dan pemimpi, adalah orang-orang yang rela menghabiskan waktu yang cukup lama untuk merenungi serta mengkritisi sebuah gagasan sekecil apapun. Bagi mereka, lebih baik lama mengamati tujuan atau sasaran namun cepat meraihnya ketimbang tidak mengamati tujuan tapi lambat (atau tidak) mencapainya.
Sudah terlalu lama, logika diceraikan dari agama. Akibatnya, agama terlihat sebagai kumpulan cerita-cerita dan ancaman. Banyak orang beragama karena tidak mampu memahami alasan-alasannya, bukan karena menerimanya sebagai aksioma. Itulah sebabnya, bila ada orang yang masuk agama (yang menolak logika), sangat mungkin dia absurd atau tidak punya pilihan lain. ‘Agama adalah akal. Tak berakal, maka tak beragama,” tegas Imam Ja’far Sadiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar