SUSILO Bambang Yudhoyono, presiden baru kita, tampil sebagai sosok memesona di hadapan rakyat.
Pesona itu mengandung berbagai muatan, misalnya, sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat sehingga legitimasi "akar-rumput" sangat kuat. Juga, sejuta harapan yang dipercayakan kepadanya, mungkin luapan harapan akan perubahan yang terbesar dibandingkan dengan para pendahulunya.
Namun sayangnya, semua pesona itu tampaknya hanya terjadi di masa prapelantikannya sebagai seorang presiden. Pesona itu terutama menonjol selama masa kampanye berlangsung. Sejak pelantikannya tanggal 20 Oktober 2004, lalu proses penetapan struktur dan susunan kabinet, tampaknya pesona itu mulai goyang. Masyarakat, terutama kalangan kritis, mulai teringat hal-hal yang kurang kondusif pada dirinya sebagai presiden. Salah satunya yang menonjol adalah "sinyalemen" kelemahannya soal ketidaktegasan, kebimbangan, dan seterusnya sebagai seorang pemimpin. Singkatnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disinyalir sebagai indecisive leader.
Pendeknya, idiom yang berbunyi "kesan pertama begitu memesona", bagi SBY menjadi "kesan pertama, tak begitu memesona". Banyak hal yang mencerminkan hal itu, misalnya susunan anggota kabinet (calon menteri) yang "bolak-balik" berubah akibat berbagai tarikan kepentingan. Salah satu contoh menarik adalah beberapa kali perubahan posisi Sri Mulyani yang awalnya sebagai menteri keuangan (akhirnya sebagai Kepala Bappenas), termasuk posisi Mari Pangestu. Belum lagi isu soal kebimbangan SBY oleh desakan PKS yang kurang suka kedua wanita tangguh itu berkutat dengan posisi-posisi berbau keuangan karena dianggap pro-IMF. Profesionalisme akhirnya jadi di bawah kepentingan (politik) partai.
Banyak lagi kebimbangan dan ketidaktegasan dalam mengambil keputusan di seputar struktur dan susunan kabinet sehingga "janji" pengumuman susunan itu tertunda-tunda beberapa kali. Tampaknya, juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng sekarang mesti berpikir dua kali untuk tidak seoptimistis dan semanis seperti sebelumnya dalam menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah SBY, khususnya soal "janji-janji".
SECARA psikologis, pesona pada seseorang itu ada dua jenis:
(1) pesona internal-yang bersifat bawaan, given, artinya pesona itu murni karunia Tuhan yang inheren pada seorang manusia sejak ia dilahirkan. Contoh konkretnya adalah Bung Karno; dan
(2) pesona eskternal- bersifat rekayasa, kemasan, atau dipengaruhi faktor lingkungan. SBY tampaknya termasuk yang kedua ini. Ada proses psikologis yang menjelaskan bahwa pesona SBY bersifat eksternal.
Pesona SBY mencuat pertama kali sejak ia diuntungkan oleh dinamika "psikologi orang kalah" . Garis besarnya, sejak momentum "perseteruannya" dengan Megawati, lalu mundur dari kabinet, dan terjadi blessing in disquise lewat ucapan Taufik Kiemas (waktu itu) tentang SBY yang disebut seperti "anak kecil saja". Lahirlah klarifikasi psikologis dari rakyat, SBY sebagai sosok orang teraniaya, tersingkirkan, dan seterusnya. Dan, rakyat yang selama ini memang hidup dalam dinamika (psikologi) sebagai orang-orang kalah melakukan proses identifikasi pada sosok SBY, merasa senasib dan simpati, dan lahirlah popularitas SBY secara luar biasa.
Pesona eksternal dan popularitas ini ditangkap dengan jitu oleh SBY beserta tim suksesnya, dan semakin muluslah proses rekayasa pesonanya. Ini bisa dilihat dari segenap body language, penampilan, pemanfaatan momen sosial (selama kampanye), yang semuanya bermuara pada sosok sebagai the celebrity leader. Jadi jelas, SBY dan timnya hanya mengandalkan modal pesona ini, dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek manajerial penting, seperti misalnya "persiapan kerja" yang memadai. Ini tampak pada ketidaksiapannya menggunakan "hak prerogratifnya" secara decisive dalam menentukan struktur dan susunan kabinet. Mestinya, sambil bersibuk-ria dengan urusan pesona (dan popularitas), secara paralel-simultan dia sudah melakukan berbagai persiapan pembentukan kabinet meski mungkin tidak secara terbuka. Ingat "pepatah manajemen": persiapan yang baik sudah merupakan lima puluh persen kesuksesan!
SAYANGNYA, pesona bersifat eksternal ini lebih gampang "luntur" dibandingkan dengan pesona internal. Logikanya sederhana, pesona internal itu ibarat gula yang sudah larut dalam air, meski tumpah ke tanah pun ia tetap manis, dan contoh itu, sekali lagi, mengejawantah pada sosok Bung Karno. Sedangkan pesona eksternal, ibarat bedak yang melekat di wajah seseorang (yang mungkin wajahnya biasa-biasa saja), ketika bedaknya hilang, kecantikan memudar dengan sendirinya.
Dalam konteks pesona SBY dan kaitannya dengan kapabilitas dirinya sebagai presiden (pemimpin)-khususnya sebagai indecisive leader-ada beberapa hal yang perlu diwaspadai: pertama, jika "bedak" pesonanya mulai luntur dan yang tersisa "wajah asli" (baca: indecisive leader) belaka, legitimasi dari rakyat dalam bentuk dukungan, simpati, dan seterusnya sebagai modal sosial mau tak mau juga akan ikut meluntur.
Kedua, jika itu yang terjadi, akan sangat berat baginya untuk bisa berkinerja prima. Secara psikologis, modal sosial dari rakyat itu sesungguhnya modal terbesar baginya sebagai faktor motivator luar biasa hebat yang mampu membuatnya bekerja dan berkinerja bahkan di luar batas-batas kapasitas dan kemampuan normalnya. Namun, jika kelunturan benar terjadi dan berekses pada motivasinya, apalagi sampai terjadi demotivasi dan demoralisasi pribadi, bisa dibayangkan seperti apa output dan outcome pemerintahannya.
Ketiga, tantangan bangsa yang sedang ditimpa krisis multidimensi ini luar biasa berat. Tantangan itu tidak bisa diselesaikan oleh pemimpin yang indecisive. Kondisi ini, plus perubahan global dunia yang serba tak menentu, sangat memerlukan pemimpin yang punya kapasitas survival of the fastest sebab kapasitas survival of the fittest sudah tak mencukupi lagi. Kelambanan dan ketidakpastian soal penentuan susunan kabinet adalah contoh aktual kurangnya kapasitas survival of the fastest, padahal di kantongnya sudah tersedia hak prerogatif sebagai presiden.
Keempat, last but not least-perlu dipertimbangkan sebuah pertanyaan reflektif; bisakah SBY mengubah diri, mentransformasi diri, untuk jauh lebih decisive dalam menunjang profesionalisme pribadinya-khususnya dalam masa evaluasi 100 hari ini? Itulah yang membuat sebagian kalangan mulai pesimistis dan skeptis. Sebab secara psikologis, kita bisa mengadaptasi konsep William James yang pernah mengisyaratkan tentang hal ini. Umumnya manusia, apalagi para pemimpin, pada batas-batas usia lima tahunan ke atas akan cenderung mempunyai karakter seperti gips, yang sulit untuk melunak lagi (berubah ke arah lebih baik).
Di balik tantangan obyektif permasalahan multidimensi bangsa, SBY mempunyai tantangan subyektif permasalahan pribadi untuk menyelesaikan gaya kepemimpinannya yang cenderung menjadi pemimpin selebritis sekaligus the indecisive leader. Tantangan obyektif tersebut tak mungkin dihadapi dengan kedua gaya kepemimpinannya itu.
Baiklah Presiden, di sela kesibukan luar biasa sebagai presiden baru, semoga masih sempat merenungkan seluk-beluk "psikologi pesona" ini!
Oleh Herry Tjahjono Corp HR Director & Corp Culture Therapist, Jakarta
Sumber: Kompas Cyber Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar