Welcome to My Blog

Saran dan kritikan dari anda sangat dibutuhkan demi perbaikan mutu blog ini

17 Januari, 2012

Sesat

Semua ayam makan kotoran

Semua manusia makan ayam

Semua manusia makan kotoran

 Itulah falasi. Meski terdengar indah dan modis, ia bukankah nama seorang selebritis. Falasi berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang  berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.

 Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur falasi, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memadu saat berpikir. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bias mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar. Karena itu, al-Qur’an sering kali mencela dengan mengatakan bahwa ‘sebagian besar manusia tidak berakal.’


Para logikawan menyebutkan tiga kategori falasi yang sering dilakukan manusia; Pertama, falasi formal (kengawuran bentuk), yaitu kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penalaran yang benar. Ia dapat diidentifikasi dalam kasus dan kondisi sebagai berikut: 1. Apabila dalam sebuah deduksi terdapat empat terma, maka deduksi tersebut tidak valid. 2. Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi. 3. Apabila terma tengah tidak terdistribusi, padahal untuk memperoleh konklusi yang benar terma sekurang-kurangnya satu kali terdistribusi. 4. Apabila konklusi dihasilkan dari dua premis negatif, padahal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar.


Kedua, falasi material (kengawuran isi), yaitu kerancuan karena kekeliruan dalam menyusun isi atau materi penalaran, bukan pada bahasa atau tampilan (forma)-nya. Falasi material terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut; 1. Apabila argumentasi yang diajukan tidak tetuju persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi yang menjadi lawan bicara. Ini disebut dengan argumen terhadap lawan bicara (agumentum ad hominem). 2. Apabila argumentasi diajukan untuk memojokkan atau mempermalukan lawan bicara. Perhatikan contoh berikut ini: “Jika anda memang seorang pembela kebenaran, maka anda pasti membenarkan pandangan saya”. “Hanya orang berakallah yang menerima pendapat kami.” Ini disebut dengan argumentum ad verecundiam. 3. Apabila argumentasi yang diajukan berdasarkan kewibawaan atau pengaruh besar seseorang, bukan berdasarkan penalaran. Perhatikan contoh berikut ini: “Saya yakin apa yang dikatakannya, karena ia pemimpin partai besar”. Ini disebut dengan argumentum auctoritatis. 4. Apabila argumen yag diajukan berupa ancaman dan desakan lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak, akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ini disebut dengan argumentum ad misericordiam. 5. Apabila argumentasi yang diajukan demi memperoleh rasa iba dan kasihan dari lawan bicara agar diampuni. Ini disebut dengan argumentum ad populum. 6. Apabila argumentasi diajukan untuk meprovokasi dan membangkitkan emosi massa atau sekelompok orang, dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri, agar pemkirannya diterima. Ini dikenal dengan argumentum ad misericordiam. 7. Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya, maka itulah sesat pikir. Ini disebut dengan argumentum ad ignorantiam.

Ketiga, falasi diksional, yaitu kerancuan yang terjadi karena ke
keliruan dan kesalahan bahasa (baik disengaja maupun tidak). Falasi diksional terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Apabila menggunakan terma bermakna ganda (ekuivokal). 2. Apabila menggunakan terma metaforis (kata yang tidak digunakan untuk arti asalnya), seperti kata atau gelar “ujung tombak” yang diberikan kepada pemain sepakbola yang berposisi sebagai penyerang. 3. Apabila menggunakan kata yang bermakna ganda karena aksen dan mimik, seperti kata “apel” yang bila diujarkan dengan vokal tertentu berarti buah, dan bila diucapkan dengan vokal tertentu lainnya berarti “pertemuan”. 4. Apabila menggunakan kata amfibolik (yang mengundang penafsiran beragam), seperti “Ali mencintai isterinya, demikian pula saya”. Kalimat itu bisa ditafsirkan dengan dua cara: Pertama, “Ali mencintai isterinya, saya juga mencintai isterinya”. Kedua, Ali mencintai isterinya. Saya juga mencintai isteri saya”.


Sesat-pikir biasanya menimbulkan kesalahan logis. Kesalahan logis yang terpenting adalah sebagai berikut: 1. Generalisasi, yaitu pemberlakuan secara umum suatu atau beberapa hal atas semua hal tanpa bukti yang cukup, seperti pernyataan “semua orang batak bertabiat keras” “semua orang yang bertubuh pendek licik”. 2. Penggunaan slogan atau semboyan yang memuat sikap emosional yang tidak objektif, seperti “pokoknya, siapapun yang menentang kebijaksanaan Presiden adalah pelaku makar!” 3. Apabila menolak suatu ide hanya karena tidak dimengerti, seperti pernyataan orang yang tidak mengerti tentang antariksa “mencapai bulan adalah mustahil” atau dengan cara bertanya, “mana mungkin manusia mencapai bulan’!!.


Ada dua pelaku falasi, yaitu pelaku yang sengaja ber-falasi, dan pelaku yang tidak sadar berfalasi. Umumnya yang sengaja berfalasi adalah orang menyimpan tendensi pribadi dan lainnya. Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya.

Falasi sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi amoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.

“Semua aliran dan golongan yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah sesat” adalah contoh paling sempurna sebuah falasi, karena pengujar menganggap siapa saja yang tidak sama dalam menafsirkan teks ‘al-Qur’an dan teks Sunnah dengan model penafsirannya atau golongannya sama dengan tidak mengikuti al-Qur’an dan Sunnah.


Fallasi bisa terjadi karena kebodohan, bisa juga terjadi karena direncanakan seperti pembodohan publik, menipulasi opini, pengalihan isu, pengaburan fakta melalui rekayasa istilah-istilah khusus yang telah direduksi dan diisi dengan muatan2 tendensius yang jauh dari makna dan signifikasinya yang primer. Karena itu, falasi jenis kedua ini erat kaitan "fulusi"... (Resume Kajian ICC "Funny Logic" Setiap Kamis pukul 16.30)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia
Science is My Way of Life