Pedagogy ini konsep yang biasanya dipakai di dalam pendidikan yakni bahwa Pendidikan itu menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di set up oleh sistem pendidikan, di set up oleh gurunya/pengajarnya apa-apa saja yang harus dipelajari, materi-materi apa saja yang akan diterima, yang akan disampaikan, metode panyampaiannya,dll, itu semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Dari konsep ini kemudian muncullah konsep pendidikan fundamentalis, intelektual dan konservatif.
O'neil menjelaskan tentang Fundamentalisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada dasarnya anti-intelektual dalam arti bahwa mereka ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan atau intelektual, serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan yang relatif tanpa kritik terhadap Kebenaran yang diwahyukan atau konsensus sosial yang sudah mapan."
Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang condong dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik. Pendidikan yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan, maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan. Bisa kita pahami, mengapa ketika Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada adalah anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya.
Kebenaran yang diajarkan di dalam pendidikan adalah kebenaran yang condong dikatakan mutlak benar, bersifat wahyu, relatif tanpa kritik. Pendidikan yang seperti ini banyak di pakai di abad pertengahan oleh pihak agamawan, maupun sampai sekarang juga dipakai oleh pihak agamawan, tanpa memberi kesempatan kadang untuk siswa berpikir yang berbeda, atau meminimkan perkembangan intelektual dari siswanya. Perbedaan bukan dianggap sebagai hal yang biasa, melainkan sudah dianggap sebagai perselisihan yang kadang dianggap sebagai sebuah perlawanan atau pemberontakan. Bisa kita pahami, mengapa ketika Galileo berbeda dari pihak gereja tentang pusat tatasurya, maka yang ada adalah anggapan pemberontakan yang berakhir di ujung kematiannya.
O'neil juga menjelaskan tentang Intelektualisme pendidikan sebagai berikut :
"...pada dasarnya otoritarian, demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan dan tidak bervariasi."
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid sebagai obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan. Kita bisa memaklumi jika sekarang ini di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia, buku-buku teknik yang dipakai adalah buku keluaran tahun 1950. Bisa kita bayangkan, teknologi 1950, meski dengan alasan sebagai pondasi keilmuan, itulah yang diajarkan kepada siswanya. Intelektualisme pendidikan dilakukan, tetapi kebenaran masa lalu, nilai-nilai masa lalu itu yang diajarkan. Kalau sekarang sudah teknologi tahun 2006, sedangkan yang kita pelajari baru referensi tahun 1950, lalu bagaimana cara kita bisa mengejar ketinggalan kita yang 56 tahun itu?
O'neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
Di dalam konsep intelektualisme pendidikan ini, tetap saja sifat murid sebagai obyek itu yang dipakai sebagai landasan, sistem dan guru tetap bersifat otoriter, intelektual dipakai dengan tidak bertentangan kepada nilai-nilai kebenaran yang sudah ada, yang sudah mapan. Kita bisa memaklumi jika sekarang ini di salah satu perguruan tinggi terkenal di Indonesia, buku-buku teknik yang dipakai adalah buku keluaran tahun 1950. Bisa kita bayangkan, teknologi 1950, meski dengan alasan sebagai pondasi keilmuan, itulah yang diajarkan kepada siswanya. Intelektualisme pendidikan dilakukan, tetapi kebenaran masa lalu, nilai-nilai masa lalu itu yang diajarkan. Kalau sekarang sudah teknologi tahun 2006, sedangkan yang kita pelajari baru referensi tahun 1950, lalu bagaimana cara kita bisa mengejar ketinggalan kita yang 56 tahun itu?
O'neil juga menjelaskan tentang Konservatisme pendidikan sebagai berikut :
"Konservatisme pada dasarnya adalah posisi yang mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu (sudah cukup tua atau dan mapan), didampingi dengan rasa hormat mendalam terhadap hukum dan tatanan, sebagai landasn perubahan sosial yang konstruktif"
Pendidikan yang konservatif beranggapan bahwa sasaran utama sekolah adalah pelestarian dan penerusan pola sosial serta tradisi-tradisi yang sudah mapan.
Saya tidak mengatakan bahwa sistem konservatif ini jelek, harus dirubah atau mesti diganti tidak, tapi marilah kita melihat kenyataan bahwa sistem yang menggunana Pedagogy ini mengandung beberapa kelemahan meski juga mengandung beberapa kelebihan. Kelemahannya adalah, bahwa dengan penerapan sistem pedagogy ini, manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki ke unikan sendiri, yang memiliki talenta sendiri, memiliki minat sendiri, memiliki kelebihan sendiri, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplor dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan.
Tetapi Pedagogy memiliki kelebihan tersendiri, yakni didalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.Seperti sisi mata uang yang berbeda dari satu keping, kalau di satu sisi adalah Pedagogy, maka di sisi yang lain adalah Andragogy, yakni konsep pendidikan yang meletakkan siswa sebagai subyek dari pendidikan. Bukan lagi sebagai obyek, tetapi sebagai subyek dari pendidikan. Inilah yang sekarang ini mau diterapkan di Indonesia dengan istilah konsep pendidikan yang berdasarkan pada "kompetensi". Siswa yang mesti lebih aktif dari gurunya, kadang ada yang berkata, keaktifan siswa adalah 70% di dalam proses belajar mengajar sementara guru keaktifannya cukup 30 % saja. Sebelum ini sebenarnya sudah dikenal CBSA, cara belajar siswa aktif, atau di tahun 70 an ada sebuah proyek yang disebut dengan PPSP (Proyek perintis Sekolah Pembangunan) dimana pada waktu itu, siswa dibebaskan menentukan seberapa cepat dia bisa menyelesaikan masa studinya. Sudah disiapkan Lembaran Kegiatan Siswa (LKS) yang berisikan tentang teori-teori materi yang dipelajari, kalau siswa beranggapan sudah menguasai, maka diberi tersendiri lembar latihan dari LKS tadi dan kalau sudah merasa siap, maka siswa bisa mengambil sendiri Lembar Test Formatif yang sudah siap. Fungsi Guru pada waktu itu cuman menjelaskan apabila bertanya dan menilai hasil test formatif tersebut. Di PPSP ini, murid kelas 1 SMP (waktu itu disebut kelas 6), itu bisa saja menempuh pelajaran kelas 2 SMP (kelas 7) maupun menempuh kelas 8 (3 SMP), sehingga pada waktu itu, cukup banyak yang mampu menempuh level SMP hanya dalam waktu 2 tahun. PPSP mencanangkan program SD cuman 5 tahun, SMP bisa ditempuh 2 tahun dan SMA juga bisa ditempuh 2 tahun juga, tergantung kepada kemampuan dari siswa. Sayang banget, di Indonesia sudah sama-sama kita ketahui, ganti mentri ganti sistem pendidikan, jadilah Proyek yang sudah dijalankan tidak dilihat hasilnya bagaimana yang penting langsung diganti saja..
Dari konsep pendidikan Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberal, Liberasionis dan Anarkis.
William F. O'Neil menyebutnya dengan pendidikan Liberal yang oleh O'Neil dibagi menjadi tiga macam yaitu Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan.
O'Neil menjelaskan Liberalisme pendidikan sebagai berikut:
"...tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif."
"...tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif."
O'Neil menjelaskan Liberasionisme pendidikan sebagai berikut :
"Liberasionisme adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin"
Sebagai contoh, Tahun 1950 atas ide dari Robert Mayard Hutchins, sistem absesnsi buat siswa sudah ditiadakan di sebagian Amerika dan juga sistem SKS sudah ditiadakan juga. Murid/siswa dibebaskan atas apa yang ingin mereka pelajari, sesuai minat dan bakat mereka masing-masing.
Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari "yang obyektif" , melalui pengamatan atas kenyataan.
O'neil menjelaskan Anarkisme pendidikan sebagai berikut :
" ...seperti pendidik liberal dan liberasionis, pada umumnya (anarkisme pendidikan) menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah)."
Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga.. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
Sekali lagi..sistem Andragogy pun memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Beberapa kelebihan memang memberikan sarana, wadah dan sistem bagi talenta masing-masing orang untuk berkembang sesuai minat dan bakat masing-masing.
Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapakah dulu kita memilih jurusan tertentu ketika kuliah ?
Maka kalau kita jujur, sebagian besar dari kita tidaklah memahami alasan yang ada pada diri sendiri, mengapa kita memilih jurusan tersebut?
Kita tidak mengetahui sebelumnya dan menjadi sebuah ironi setelah kita selesai lulus katakanlah selama 5 tahun, barulah kita menyadari bahwa jurusan itu tidak kita sukai. Tetapi sistem di kita belum memungkinkan adanya pindah jurusan seperti itu, yang disesuaikan dengan bakat dan minat dari siswanya. Tetapi sistem Andragogy ini memiliki kelemahan pula. Salah satunya adalah bahwa bagaimana mungkin seorang siswa yang tidak terlalu memahami tentang luasnya ilmu kemudian dibebaskan memilih apa yang mereka sukai? Seolah sistem Andragogy hanya sebagai suatu sistem yang mengembirakan siswanya saja dan melupakan untuk tujuan apa sebenarnya sebuah pendidikan itu dilakukan?
Dan bagaimana pula bisa dilakukan -penjagaan terhadap ilmu-ilmu yang sudah ada? jika sebuah ilmu tersebut tidak diminati oleh siswa, tentu saja satu waktu ilmu tersebut akan hilang. Dan bagaimana siswa dibiarkan memilih jika ada persyaratan kemampuan yang memang mesti dimiliki seandainya siswa mau belajar ilmu tertentu. Tak mungkinlah siswa SD dibiarkan memilih mata pelaharan Integral Diferensial sebelum mereka menguasai dulu perkalian, jumlah, kurang bagi, dll.
Lalu bagaimanakah sebenarnya yang mesti kita terapkan kepada sistem pendidikan kita di Indonesia ini? Pedagogy kah? Andragogy kah? gabungan keduanyakah? atau ada alternatif lain?
Kira-kira..bisakah kita membayangkan sekarang? Setelah melihat bahwa Pendidikan bukan soalan yang mudah dan tidak sesederhana itu, Bagaimanakah menurut anda ? Jika di lingkungan Instansi pendidikan tidak diisi dengan orang-orang yang kompeten dengan pendidikan???!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar