Semua ayam makan kotoran
Semua manusia makan ayam
Semua manusia makan kotoran
Itulah falasi. Meski terdengar indah dan modis, ia bukankah nama seorang selebritis. Falasi berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.
Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur falasi, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memadu saat berpikir. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bias mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar. Karena itu, al-Qur’an sering kali mencela dengan mengatakan bahwa ‘sebagian besar manusia tidak berakal.’
Para logikawan menyebutkan tiga kategori falasi yang sering dilakukan manusia; Pertama, falasi formal (kengawuran bentuk), yaitu kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penalaran yang benar. Ia dapat diidentifikasi dalam kasus dan kondisi sebagai berikut: 1. Apabila dalam sebuah deduksi terdapat empat terma, maka deduksi tersebut tidak valid. 2. Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi. 3. Apabila terma tengah tidak terdistribusi, padahal untuk memperoleh konklusi yang benar terma sekurang-kurangnya satu kali terdistribusi. 4. Apabila konklusi dihasilkan dari dua premis negatif, padahal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar.
Kedua, falasi material (kengawuran isi), yaitu kerancuan karena kekeliruan dalam menyusun isi atau materi penalaran, bukan pada bahasa atau tampilan (forma)-nya. Falasi material terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut; 1. Apabila argumentasi yang diajukan tidak tetuju persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi yang menjadi lawan bicara. Ini disebut dengan argumen terhadap lawan bicara (agumentum ad hominem). 2. Apabila argumentasi diajukan untuk memojokkan atau mempermalukan lawan bicara. Perhatikan contoh berikut ini: “Jika anda memang seorang pembela kebenaran, maka anda pasti membenarkan pandangan saya”. “Hanya orang berakallah yang menerima pendapat kami.” Ini disebut dengan argumentum ad verecundiam. 3. Apabila argumentasi yang diajukan berdasarkan kewibawaan atau pengaruh besar seseorang, bukan berdasarkan penalaran. Perhatikan contoh berikut ini: “Saya yakin apa yang dikatakannya, karena ia pemimpin partai besar”. Ini disebut dengan argumentum auctoritatis. 4. Apabila argumen yag diajukan berupa ancaman dan desakan lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak, akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ini disebut dengan argumentum ad misericordiam. 5. Apabila argumentasi yang diajukan demi memperoleh rasa iba dan kasihan dari lawan bicara agar diampuni. Ini disebut dengan argumentum ad populum. 6. Apabila argumentasi diajukan untuk meprovokasi dan membangkitkan emosi massa atau sekelompok orang, dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri, agar pemkirannya diterima. Ini dikenal dengan argumentum ad misericordiam. 7. Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya, maka itulah sesat pikir. Ini disebut dengan argumentum ad ignorantiam.
Ketiga, falasi diksional, yaitu kerancuan yang terjadi karena ke
Semua manusia makan ayam
Semua manusia makan kotoran
Itulah falasi. Meski terdengar indah dan modis, ia bukankah nama seorang selebritis. Falasi berasal dari bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.
Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur falasi, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memadu saat berpikir. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bias mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar. Karena itu, al-Qur’an sering kali mencela dengan mengatakan bahwa ‘sebagian besar manusia tidak berakal.’
Para logikawan menyebutkan tiga kategori falasi yang sering dilakukan manusia; Pertama, falasi formal (kengawuran bentuk), yaitu kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam penalaran yang benar. Ia dapat diidentifikasi dalam kasus dan kondisi sebagai berikut: 1. Apabila dalam sebuah deduksi terdapat empat terma, maka deduksi tersebut tidak valid. 2. Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi. 3. Apabila terma tengah tidak terdistribusi, padahal untuk memperoleh konklusi yang benar terma sekurang-kurangnya satu kali terdistribusi. 4. Apabila konklusi dihasilkan dari dua premis negatif, padahal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar.
Kedua, falasi material (kengawuran isi), yaitu kerancuan karena kekeliruan dalam menyusun isi atau materi penalaran, bukan pada bahasa atau tampilan (forma)-nya. Falasi material terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut; 1. Apabila argumentasi yang diajukan tidak tetuju persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi yang menjadi lawan bicara. Ini disebut dengan argumen terhadap lawan bicara (agumentum ad hominem). 2. Apabila argumentasi diajukan untuk memojokkan atau mempermalukan lawan bicara. Perhatikan contoh berikut ini: “Jika anda memang seorang pembela kebenaran, maka anda pasti membenarkan pandangan saya”. “Hanya orang berakallah yang menerima pendapat kami.” Ini disebut dengan argumentum ad verecundiam. 3. Apabila argumentasi yang diajukan berdasarkan kewibawaan atau pengaruh besar seseorang, bukan berdasarkan penalaran. Perhatikan contoh berikut ini: “Saya yakin apa yang dikatakannya, karena ia pemimpin partai besar”. Ini disebut dengan argumentum auctoritatis. 4. Apabila argumen yag diajukan berupa ancaman dan desakan lawan bicara agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak, akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ini disebut dengan argumentum ad misericordiam. 5. Apabila argumentasi yang diajukan demi memperoleh rasa iba dan kasihan dari lawan bicara agar diampuni. Ini disebut dengan argumentum ad populum. 6. Apabila argumentasi diajukan untuk meprovokasi dan membangkitkan emosi massa atau sekelompok orang, dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri, agar pemkirannya diterima. Ini dikenal dengan argumentum ad misericordiam. 7. Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum menemukannya, maka itulah sesat pikir. Ini disebut dengan argumentum ad ignorantiam.
Ketiga, falasi diksional, yaitu kerancuan yang terjadi karena ke